Selasa, 18 Maret 2008

Cinta yang sehat

Ada kisah menarik tentang Fathimah dan Ali, dua remaja yang tumbuh di bawah asuhan kenabian. Kisah itu berbentuk sebuah dialog. “Suamiku…,” kata Fathimah, “Sebelum menikah denganmu, aku pernah sangat menyukai seorang laki-laki dan aku sangat ingin menikah dengannya”. Berubah rona wajah Ali mendengar kalimat ini. Cemburu, marah, penasaran campur aduk jadi satu. Tapi tetap dengan kelembutan dan perasaannya yang halus dia berkata, “Apakah engkau menyesal menikah denganku?” Fathimah tersenum geli melihat ekspresi sang suami. “Tidak”, ucapnya pelan. “Karena lelaki itu adalah…, engkau.”

Ehm, ehm, jangan membayang-bayangkan jadi Fathimah dan Ali dulu ya! Cinta, boleh jadi ada. Tapi Fathimah tahu kapan saatnya mengungkapkan agar ianya tak menjadi penyakit di hati masing-masing. Bandingkan jika kau ungkap cintamu sekarang, tapi Allah tak hendak menikahkanmu dengannya. Bukankah hanya sakit yang kau rasa? Bukankah ia merusak kesucian jiwa?

Saudaraku, sahabatku. Cinta yang sehat belum menuntut apa-apa, jika belum ada ikrar halal atasnya. Boleh jadi engkau merahasiakan rasa simpati dan ketertarikan. Tetapi tetap saja penyakit namanya kalau orientasi kedepanmu hanya si dia. Maksudnya, kalau engkau mendikte Allah bahwa dialah yang pasti jadi jodohmu. Lalu engkau bukannya meminta yang terbaik dalah istikharahmu, tetapi benar-benar mendikte Allah: “Pokoknya harus dia Ya Allah… Pokoknya harus dia!

Kalau begitu caranya, seolah engkau menentukan segalanya. Karena engkau meminta dia ‘dengan paksa’, lalu Allah memberikannya padamu, kiranya kau bisa menebak itukah yang terbaik untukmu? Tak selalu. Bisa jadi Allah tak mengulurkannya dengan kelembutan, tapi Ia melemparnya dengan marah karena niat yang terkotori. Maka bersiaplah menggigit jari dalam kekecewaan abadi:

“Kecelakaan besarlah bagiku. Kiranya dulu aku tidak menjadikan si Fulan menjadi kekasihku!” (Al Furqan: 28)

Aku mengajakmu bicara tentang cinta yang sehat. Betapa jibril ‘Alaihissalam mengajarkan esensi luar biasa pada kita melalui lisan Rasulullah tentang hakikat hidup, amal dan cinta yang sehat:

“Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu tapi kau pasti akan mati. Berbuatlah sekehendakmu tapi kau pasti dibalas. Dan cintailah siapapun yang kau mau tapi engkau pasti berpisah dengannya.” (HR. Ath Thabrani)

Cintailah siapapun, tapi kau pasti berpisah dengannya. Kalimat ini menyentakkan sebuah kesadaran, bahwa sehatnya cinta mutlak agar tiada penyesalan, kecewa, dan nelangsa dalam hidup yang singkat ini.

Kalau nasehat ini tak cukup, bukankah Allah sendiri telah mengajakmu bicara:

“…Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah Maha Mengetahui sedang kalian tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216)

1 komentar:

Tuti A mengatakan...

Cintailah orang yg kamu cintai dengan sewajarnya, krn boleh jadi suatu saat ia menjadi orang yg kamu benci, dan bencilah orang yg kamu benci dg sewajarnya, krn boleh jadi suatu saat ia menjadi orang yg kamu cintai.