Rabu, 19 Maret 2008

Ijtihad ibadah

Adanya kekhawatiran itu dapat dipahami agar dalam melakukan pembaruan atau tajdid, kita tidak terperosok dalam langkah liberal. Perlu dicermati dalam Qarar Tarjih bahwa, ibadah itu ada dua, ialah “khusus” dan “umum.” Ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan rinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu. Kalau boleh dicontohkan di sini seperti caranya shalat, puasa, dan haji yang pelaksanaannya telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tidak boleh ijtihad untuk mengubah cara shalat, sebagaimana telah dibicarakan pada uraian yang lalu. Kita tidak dapat menerima pelaksanaan Shalat Hari Raya dengan dimulai khutbah lebih dulu baru kemudian dilakukan shalat, seperti pelaksanaan Shalat Jum’at. Kita tidak boleh puasa wishal, terus-menerus tanpa berbuka, apa lagi sampai tiga hari atau 7 hari siang-malam, karena hal itu tidak ada dalilnya, tidak ada tuntunan dari Rasul.
Kedua contoh di atas adalah ibadah mahdlah yang bertalian dengan “cara” (kayfiyyah) yang jelas tuntunannya. Namun dalam Qarar Tarjih disebutkan pula adanya ibadah ‘ammah (bersifat umum), yakni segala amalan yang dianjurkan Allah. Melihat rumusan itu, ibadah khusus yang juga ibadah mahdlah masuk pada kategori ibadah umum, hanya saja Qarar Tarjih tidak menjelaskan hal itu.

Ibadah Menurut Ibnu Taymiyyah
Kalau saja kita kaji ulang pengertian ibadah ini menurut pendapat para ulama, akan kita dapati rumusan dari Ibnu Taymiyyah yang awalnya termasuk pada aliran Hanabilah (Hanbaliyyah). Menurut Ibnu Taymiyyah, seorang pembaru yang menentang khurafat dan bid’ah, menyatakan bahwa, ibadah adalah ketaatan dan ketertundukan yang sempurna berdasarkan kecintaan terhadap apa yang disembah (tentu saja Allah). Selanjutnya diterangkan bahwa, ibadah mencakup semua aktivitas yang dilakukan manusia yang disenangi dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Oleh karena itu, shalat, zakat, puasa, haji, berkata jujur dan benar, melaksanakan amanat berbakti kepada orangtua, menghubungkan kekeluargaan (silaturrahim), menepati janji, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, bahkan berbuat baik kepada binatang, adalah bagian dari ibadah.
Ulama Manhaj (Ushul Fiqih) membagi ibadah dalam tiga macam:
1. Ibadah yang tidak dapat diketahui maksud dan tujuannya, seperti bilangan rakaat, kayfiyyah shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud. Ulama Fiqih menamakan ibadah mahdlah, yakni semata-mata menuntun pada hubungan hamba dengan Khaliq (Penciptanya). Ibadah seperti ini disebut ghairu ma’quli al-ma’na, yang tidak dapat dilakukan ijtihad.
2. Ibadah yang ghairu mahdlah, memberi tuntunan bagaimana hubungan sesama makhluk, baik manusia dengan sesamanya maupun manusia dengan makhluk lainnya, yang kesemuanya itu ditentukan oleh agama untuk kemaslahatan hidup manusia. Ibadah ini disebut ma’qulu al-ma’na. Seperti menjauhi minuman khamr, karena dapat memabukkan dan mabuk akan membawa kerusakan, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam masalah ini dapat dilakukan ijtihad, seperti apa maksud kata khamr itu dan apa saja yang dapat dimasukkan dalam kriteria khamr yang wajib dijauhi.
3. Ibadah syibhu ma’quli al-ma’na. Yakni sebagian dari illah hukumnya dapat diketahui dan dapat diketahui pula maksud dan tujuan disyariatkannya, tetapi sebagian lainnya tidak. Seperti ibadah zakat. Zakat sendiri adalah ibadah mahdlah, tetapi maksudnya di samping bersyukur, juga sebagai santunan terhadap orang yang lemah (dhu’afa). Ibadah seperti ini dalam konsep fiqih disebut dzu al-wajhain dan yang menyangkut kemaslahatan orang lain atau masyarakat disebut ibadah ijtima’iyyah, yang dapat dilakukan ijtihad di dalam sebagian aspeknya. Seperti telah dibicarakan pada uraian yang lalu tentang Zakat Fitrah dapat dengan menggunakan beras, juga Zakat Profesi yang tidak ditegaskan oleh Hadits Nabi, tetapi dapat dilihat dengan ijtihad mengenai pengertian kasb (hasil usaha) pada surat Al-Baqarah ayat 267.

Ijtihad dalam Syarat Ibadah
Memang agak sulit untuk mengklasifikasikan mana ibadah mahdlah yang dapat diijtihadi, seperti dalam ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji. Dalam masalah shalat selama bukan pada kayfiyyah, ternyata dalam prakteknya ulama melakukan ijtihad. Hal ini dapat dicontohkan dalam menghadap kiblat. Menghadap kiblat termasuk syarat sahnya shalat, dan hal ini termasuk kesepakatan Ulama Fiqih berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 144.
Dalam tafsir diterangkan maksudnya, “…dan di mana saja kamu berada, baik dalam keadaan bepergian atau tidak dan kamu melakukan shalat, maka hadapkan wajahmu ke arahnya (Masjid Al-Haram)” (Qs. Al-Baqarah [2]:144).
Ulama sepakat bahwa, bagi orang yang dapat melihat langsung ke Ka’bah, maka wajib menghadapkan diri di kala shalat pada Ka’bah. Bagi orang yang tidak dapat secara langsung menghadap Ka’bah, maka wajib mengarahkan dirinya ke arahnya berdasarkan Hadits Nabi. Arah kiblat (bagi penduduk Madinah) adalah di antara Timur dan Barat. Hadits ini perlu pemahaman kontekstual bagi orang di luar Madinah. Seperti bagi Muslimin di Indonesia diartikan arah kiblat itu bukan antara Barat dan Timur, tetapi antara Barat dan Utara.
Mengenai kebolehan ijtihad itu ditunjukkan oleh Hadits riwayat At-Tirmidzi dari Ibnu Majah dari Amr bin Rabi’ah dan riwayat Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ad-Daraquthni, bahwa para Sahabat bersama Rasulullah di malam yang gelap mereka tak tahu arah kiblat. Mereka shalat dengan menghadap kiblat menurut persepsi masing-masing. Maka, setelah pagi dilaporkan hal itu kepada Nabi, maka turunlah surat Al-Baqarah ayat 115.
Terhadap Hadits itu, ada yang memandang dha’if, tetapi juga ada yang menganggap hasan li ghairihi.
Masalah ijtihad dalam ibadah ini terdapat pada syarat sahnya, bukan pada pelaksanaan shalat atau rukunnya. Sama halnya dengan ijtihad ulama dalam penentuan syarat lainnya, seperti suci tempat, pakaian, serta badan. Mengenai tempat ini, juga perlu dibedakan antara tempat shalat dan haji, demikian antara waktu shalat dan haji. Mengenai tempat shalat adanya ketentuan Hadits bahwa, di mana saja itu bumi Allah, dibolehkan untuk tempat sujud, artinya tempat shalat. Ulama berijtihad dan berpendapat bahwa, tempat bersuci, baik untuk wudlu maupun untuk mandi yang sekarang juga tempat untuk berhajat besar yang terkenal dengan WC, tidak boleh untuk tempat shalat. Dalam kitab fiqih kita kenal ketentuan bahwa, kalau kita meletakkan tikar suci dari najis di atas tanah yang kena najis dan shalat di atas tempat itu boleh, artinya memenuhi syarat sahnya shalat pada tempat. Ketidakbolehan tanah yang kena najis itu hukumnya najis dan harus dibersihkan didasarkan pada Hadits Nabi yang intinya seorang A’rabi (orang kampung) datang di masjid dan kencing atau buang air kecil di tempat itu, maka Nabi memerintahkan agar dituangkan air pada tanah di masjid itu, dalam arti membersihkan najis air kencing itu. Menutup tanah yang kena najis dengan tikar atau sajadah itu dengan menggunakan qiyas, yang berarti ijtihad.
Ijtihad mengenai tempat ini tidak boleh sembarangan waktu dan tempat, seperti dalam masalah Haji. Orang tidak dapat melakukan Ibadah Haji tidak di Masjid Al-Haram dan sekitarnya, sebagaimana tidak dapat dilakukan Ibadah Haji di luar hari-hari di bulan yang telah ditentukan. Haji tidak boleh dilakukan di Indonesia dan di luar Bulan Dzulhijjah pelaksanaannya. Memang niat awalnya boleh di Bulan Syawwal, namun pelaksanaannya hanya pada tanggal 9 (sembilan) Dzulhijjah wuquf di Arafah, dan selanjutnya di Muzdalifah dilanjutkan melempar jumrah pada tanggal 10, 11, 12 atau sampai tanggal 13 di Mina pada Bulan Dzulhijjah itu.
Mengenai tempat melempar jumrah di Mina bertalian dengan perkembangan zaman dengan banyaknya hujjaj, adanya usaha perluasan tempat, baik perluasan Kota Mina maupun tempat pelemparan jumrah. Sesudah tahun 1970-an, artinya setelah tahun 1973, penulis mengamati ada perubahan, di antaranya tempat melempar Jumrah Aqabah. Kalau pada tahun tersebut, bahkan sebelumnya, Jamaah Haji hanya dapat melempar Jumrah Aqabah dari satu sisi, karena sisi yang lain masih berwujud gunung kecil. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya gunung kecil itu diratakan sehingga, tempat itu menjadi luas, karena, tempat melempar jumrah itu melingkar seperti tempat melempar Jumrah Ula dan Wushtha.
Di kala itu ada yang menganjurkan tidak melempar dari arah yang tadinya gunung kecil, karena Nabi tidak melempar jumrah dari arah tersebut. Mufti Kerajaan Saudi tidak mempermasalahkan hal itu, termasuk pelemparan Jumrah Ula, Wushtha, dan Aqabah, setelah dijadikan bertingkat.
Akhir-akhir ini ada berita akan diperluas lagi Kota Mina, menjadi “Mina Jadid,” meluas masuk dan terus-menerus dilebarkan mendekati Muzdalifah. Pada tahun 1984, Pemerintah Saudi telah menetapkan Harratul Lisan sebagai tempat mabit di Mina. Permasalahannya, bagaimana Jamaah Haji yang menginapnya di daerah Mina yang dahulu daerah itu termasuk luar Mina. Orang yang tidak mabit di Mina dahulu dikenai dam sebagai pelanggaran wajib haji atau tidak, karena menginap (mabit) di daerah yang di kala Nabi belum termasuk Mina, sekarang dinamai Mina.
Dalam menghadapi masalah perluasan Kota Mina yang memerlukan antisipasi banyaknya jamaah haji masa kini dan mendatang, ada yang berpaham tidak masalah mabit di Mina Baru itu. Artinya, tidak dikenai dam karena Kota Mina itu terbentuk secara ‘urfi, pengakuan masyarakat di zaman Nabi sempit dan sekarang menjadi luas. Sebagaimana pengertian Masjid Nabawi itu dahulu sempit dan sekarang menjadi luas sehingga, kalau ada orang yang shalat di masjid Madinah sekarang tetap mendapat pahala yang banyak sebagaimana yang disabdakan Nabi.
Namun sebagian ada yang memahami kalau menginapnya di luar daerah Mina dahulu, Jama’ah Haji itu haruslah membayar dam atau fidyah, karena dipandang melanggar wajib haji. Kenyataannya sekarang telah disediakan oleh Pemerintah Saudi Arabia untuk mabit di Mina dalam rangka melempar jumrah itu, berbasis daerah Mina Lama yang diperluas. Perluasan tempat itu berdasarkan kebutuhan sekarang dan menurut fatwa Mufti Kerajaan Saudi, mabit di daerah perluasan itu boleh dan tidak perlu membayar

Tidak ada komentar: