Rabu, 19 Maret 2008

Muncul aliran sesat

Belakangan ini, umat Islam Indonesia seakan-akan terkena
dampak gempa bumi ke-Islaman. Nabi baru bermumculan
di ranah dunia Islam. Pada saat mayoritas Islam sudah meyakini bahwa tidak ada kenabian dan kerasulan pasca Muhammad saw. Munculnya fenomena Nabi baru kini menyentak publik kaum Muslimin. Tidak ada yang aneh dengan kekagetan dalam diri umat Islam, sebab memang lazim untuk Islam Indonesia bahwa kerasulan dan kenabian sudah tidak ada lagi. Bahkan bukan hanya kenabian dan kerasulan, Imam Mahdi saja menjadi persoalan serius di kalangan umat Islam.
Dalam ranah sosial keagamaan, tradisi milenarianisme sesungguhnya sudah lama terdengar dan dipercayai oleh sebagian umat beragama, termasuk umat Islam. Milenarianisme seringkali dinobatkan dengan Sang Ratu Adil, Sang Mesias dan Penyelamat Zaman Akhir.
Tanpa hendak memperpanjang diskusi Milenariansme dalam agama-agama (baca: Islam), sesungguhnya ada agenda yang sangat penting dikerjakan oleh Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam di Indonesia terkait dengan fenomena Nabi Baru dalam aliran-aliran yang “disesatkan” dan “dianggap menyesatkan”.
Inilah yang sebenarnya lebih penting ditengok ke belakang, mengapa tradisi agama-agama senantiasa diramaikan dengan tradisi kemunculan Sang Mesias, dan sejenisnya. Mengapa fenomena tersebut selalu hadir dan berada di tengah masyarakat Islam mayoritas. Adakah yang salah dengan jamaah Islam mayortas, ataukah ada kesalahan di pihak lain sehingga aliran dan Nabi yang dianggap sesat juga mendapatkan pengikut.
Bahkan, menurut penelusuran, para pengikut Nabi Baru dan Aliran sesat ini adalah kaum terpelajar, orang berpendidikan dan kaum birokrat sampai eksekutif. Di samping tentu saja kaum awam dalam masyarakat kita.
Hal tersebut jika benar akan banyak makna yang bisa diperoleh dari munculnya Nabi yang dianggap sesat itu. Tentu saja harus dicarikan sebuah kajian yang komprehensif dan mendetail soal munculnya Nabi Baru dari aliran-aliran tersebut.
Kemunculan Nabi dan aliran-aliran baru dalam Islam harus dikaji secara serius dan direspon oleh ormas Islam seperti Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki tanggung jawab sosial yang tidak kecil terkait dengan kondisi masyarakat Islam Indonesia saat ini. Tanggung jawab sosial Muhammadiyah tentu saja bukan hanya mutlak menjadi “milik” Muhammadiyah, tetapi juga ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, Al Wasliyah, DDII dan setersunya.
Dengan tanggung jawab sosial yang demikian tinggi pada pundak Muhammadiyah, NU, Persis, DDII kita tidak bisa memberikan seluruh tugas dakwah sosial keagamaan pada mereka sendiri. Memang organisasi-organisasi seperti ini menjadi tulang punggung dakwah Islam, tetapi ingat organisasi dakwah saat ini juga tidak pernah bisa imun dari serangan organisasi-organisasi politik yang menyatakan dirinya organisasi dakwah.
Saya bahkan mempersoalkan secara agak serius tatkala ada organsiasi politik yang kemudian menyatakan diri sebagai organisasi dakwah sekaligus. Jangan-jangan ini adalah salah satu penyebab munculnya Nabi Baru dan aliran-aliran aneh-aneh di dalam Islam, sebab sudah kehilangan tauladan dari umat Islam sendiri.
Menjadi persoalan serius tatkala organisasi politik kemudian melakukan metamorfose untuk menjadi organsiasi sosial dakwah Islam, sebab muatan-muatan politik dalam dakwah tentu tidak mungkin bisa ditinggalkan, sekalipun dengan pelbagai macam dalih dan dalil yang diusungnya untuk menjelaskan bahwa apa yang disampaikan tidak ada hubungannya dengan kekuasaan dan politik.
Inilah problem serius dari organisasi dakwah Islam yang kemudian bertubrukan dengan organisasi politik bersayap dakwah. Dakwah Islam tidak akan banyak membantu masyarakat menyelesaikan masalah-masalah konkret di masyarakat, sebab segala sesuatu akan diukur apakah akan ada dampak positif dengan pengembangan politik di masa mendatang ataukah tidak, bukan apakah masyarakat akan menerima manfaat dari dakwah ataukah tidak.
Dengan problem organisasi dakwah Islam bersayap politik semacam itu, munculnya fenomena Nabi Baru dan aliran-aliran dalam Islam menjadi penting untuk dilihat sebagai salah satu bahan refleksi oleh Muhammadiyah, NU, Persis, DDII, dan organisasi-organisai Islam yang bergerak dalam bidang dakwah Islam di masyarakat. Jangan-jangan munculnya Nabi Baru dan aliran-aliran sesat adalah harga yang harus dibayar oleh masyarakat Islam sendiri yang belakangan juga susah menempatkan secara proporsional mana sebenarnya urusan politik kenegaraan, dengan urusan amaliah keseharian yang tidak ada sangkut pautnya dengan politik sebuah negara.
Tentu siapa saja orang Islam akan menolak jika ada perubahan kalimat syahadat dan perubahan keyakinan tentang Rasul Muhammad saw, tetapi umat Islam akan senantiasa diperhadapkan dengan fenomena Mesias yang akan muncul di tengah masyarakat tatkala kondisi masyarakat galau, tidak menentu, tanpa arah yang jelas untuk perubahan ke arah yang lebih baik, dan jangan lupa metode dakwah yang kurang mencerahkan dan memberdayakan.
Di sini jelas kiranya bahwa metode dakwah yang mencampurkan urusan politik dan ibadah harus dikoreksi secara mendasar, sebab hanya akan menumbuhkan ke-Islaman yang bersifat semu, pemula dan bahkan fanatisme yang buta (sempit), tidak bisa berdialektika dengan zaman dan kenyataan sosi

Tidak ada komentar: