Rabu, 19 Maret 2008

Diam apa maknanya

Diam bisa berarti tidak berbicara atau bersuara atau tidak berbuat atau bergerak. Dalam tulisan ini, diam yang dimaksud adalah dalam pengertian pertama, yakni tidak berbicara atau tidak mengemukakan pernyataan dalam bentuk bahasa lisan. Padanannya adalah ash-shumt dalam bahasa Arab atau silence dalam bahasa Inggris.

Diam adalah gejala fisik atau jasmaniah. Namun ia didorong atau dimotivasi oleh, dan bahkan, merupakan manifestasi dari gejala kejiwaan orang yang bersangkutan. Karena itu, untuk mengetahui motif-motif maupun maknanya perlu ditelusuri dan diteliti faktor-faktor kejiwaan yang melatarbelakanginya. Dengan perkataan lain, penelusuran dan penelitian itu dimaksudkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, “Mengapa orang yang bersangkutan diam?”
Namun penelitian-penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan tersebut, ternyata tidak selamanya dapat memberikan jawaban yang akurat terhadap pertanyaan di atas. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh adanya kecenderungan setiap individu untuk merahasiakan atau menutup-nutupi hal-hal yang sebenarnya, karena alasan-alasan atau kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat sangat pribadi. Karena itu, berbeda dengan penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan yang mendorong seseorang untuk berbicara atau mengemukakan pernyataan, di sini diperlukan kecermatan yang relatif lebih tinggi.
Selain itu, faktor-faktor non-kejiwaan pun sering ikut berperan, terutama yang berkaitan dengan pemuasan atau pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisik-material ataupun sosial, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Itulah sebabnya sering kita dapati orang yang tidak mengemukakan pendapat atau diam karena dia merasa bahwa tindakan atau sikapnya itu ada kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.

Bahasa Isyarat
Di lihat dari satu sisi, diam bisa dimasukkan dalam kategori bahasa isyarat (gesture) atau alat komunikasi, sehingga karenanya ia memiliki makna. Namun berbeda dengan bahasa lisan maupun tulisan, makna diam ini tidak jelas dan cenderung berbeda-beda. Sekedar contoh dapat dikemukakan tentang diamnya seorang gadis di zaman Nabi Muhammad saw. ketika ditanya oleh ayah atau walinya, apakah dia setuju dinikahkan dengan seseorang calon suami tertentu. Berdasarkan hadis yang dituturkan oleh Jama‘ah selain Bukhari dari Ibnu ‘Abbas, Nabi Muhammad bersabda: “Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis dapat memberi persetujuan atas dirinya, dan persetujuan itu adalah diamnya” (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah, jilid 6: 14-15).
Dari Hadits tersebut jelas bahwa diamnya seorang gadis itu berarti persetujuannya. Yang menjadi masalah adalah, apakah makna diam yang berlaku di kalangan bangsa Arab pada masa Nabi itu masih dianggap valid dan berlaku dalam masyarakat dan bagi gadis-gadis sekarang, di Indonesia misalnya, yang relatif lebih “berani” mengemukakan pendapat. Dalam kaitan ini, barangkali kita bisa berbeda pendapat dan bahkan berdebat berkepanjangan. Namun yang jelas, begitulah makna diamnya gadis di zaman Rasul ketika ditanya oleh ayah atau walinya mengenai calon suami pilihan ayah atau walinya itu.
Menurut pendapat saya, diam di luar konteks hadits tersebut di atas tidak selalu berarti setuju. Sebab diamnya seseorang mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan orang yang bersangkutan dan mungkin juga oleh faktor-faktor kejiwaan yang memberatkan orang tersebut untuk berbicara, seperti perasaan takut, merasa terpaksa, cemas, frustrasi dan sebagainya. Karena itu, untuk mengetahui makna sebenarnya dari diamnya orang tersebut perlu dilakukan penelusuran dan penelitian secara cermat terhadap faktor-faktor kejiwaannya. Bila ternyata diamnya seseorang itu disebabkan oleh ketidaktahuannya, berarti diam itu bermakna netral: bukan setuju dan juga bukan tidak setuju.
Sebaliknya, bila diamnya itu disebabkan oleh perasaan takut, terancam, tertekan, terpaksa dan sebagainya, berarti diam itu bermakna penolakan atau ketidaksetujuan secara tidak terang-terangan. Bila kesimpulan ini dapat dibenarkan, maka konsep ijma‘ sukuti dalam agama Islam yang diartikan sebagai kesepakatan atau persetujuan terhadap kondisi atau pendapat yang ditawarkan perlu dipertanyakan.
Menurut saya, hal itu tidak ada bedanya seperti silent public opinion dalam masyarakat yang sebenarnya sarat dengan perbedaan-perbedaan pendapat tetapi, tidak muncul ke permukaan karena adanya kendala-kendala kejiwaan yang memaksa orang-orang untuk diam atau tidak bersuara. Opsi tidak tahu dalam jajak pendapat atau polling dan abstain dalam voting atau pemungutan suara pun, saya kira, tidak berbeda dengannya. Karenanya tidak bijaksana bila hal itu diartikan sebagai tidak setuju atau menolak.
Dari sisi lain, apakah sikap diam dalam konteks ijma’ sukuti, silent public opinion, dan sebagainya itu bisa diartikan sebagai ketidakjujuran atau bahkan kebohongan terselubung, barangkali perlu ditelaah lebih lanjut. Setidak-tidaknya upaya tersebut dapat dilakukan melalui wawancara individual atau, lebih baik lagi, melalui tatap muka empat mata, yang relatif lebih jujur dan tidak bersifat memaksa atau menyudutkan.

Diam dalam Islam
Islam memang tidak secara eksplisit mewajibkan atau mengharamkan orang untuk berbicara ataupun diam. Yang jelas Islam melarang orang untuk berkata bohong atau mengatakan sesuatu yang tidak bermanfaat, walaupun hanya sekedar bercanda atau untuk memancing tawa orang. Menurut Nabi Muhammad, berkata bohong adalah salah satu tanda kemunafikan. Karenanya Nabi Muhammad saw menyuruh umatnya untuk berbicara yang baik dan jujur atau diam saja.
Namun, demikian dalam konteks yang berbeda Nabi Muhammad saw “agak mencela” sikap diam umatnya, terutama dalam dua hal: (1) dalam menghadapi penguasa yang lalim; dan (2) dalam menghadapi kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat. Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa berbicara jujur di depan penguasa yang lalim adalah jihad paling berat, karenanya dalam hal ini kaum Muslim tidak boleh diam saja. Sedangkan sikap diam umat terhadap kemungkaran beliau nilai sebagai indikasi bahwa iman mereka paling lemah.
Hasan Muhammad asy-Syarqawi, salah seorang pakar psikologi agama, dalam bukunya Nahwa ‘Ilmin-Nafsil-Islami (1979: 190) menyatakan bahwa, ucapan dapat menjerumuskan orang ke dalam neraka, tetapi, bila ucapannya baik justru akan mengantarkannya ke surga. Hal itu tergantung pada baik-buruknya hati orang yang mengucapkannya itu. Bila hatinya baik, maka ucapannya pun akan baik, sebaliknya, bila hatinya buruk maka kata-kata yang diucapkannya pun akan buruk.
Karenanya, menurut asy-Syarqawi, diam itu sarat dengan hikmah, terutama dalam tiga hal: (1) sebagai jalan menuju kesehatan jiwa; (2) kesempurnaan akhlak; dan (3) kesempurnaan kemanusiaan. Melalui diam, orang dapat membersihkan batinnya dari berbagai nafsu dan penyakit kejiwaan, dan menghiasinya dengan berbagai hakikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan menyempurnakan sopan-santun dalam peribadatannya.
Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa berbicara dalam Islam tidak dilarang bahkan, dalam kasus-kasus tertentu justeru dianjurkan. Namun, pembicaraan yang diperbolehkan oleh Islam hanyalah pembicaraan yang baik-baik saja, bermanfaat dan tidak mengandung kebohongan. Setiap Muslim wajib menjaga lidahnya agar tidak terjerumus dalam ucapan-ucapan yang tidak baik, dan salah satu upaya untuk menjaga lidah adalah diam, meskipun dalam beberapa hal tertentu diam itu kurang disenangi oleh Islam.

1 komentar:

Tuti A mengatakan...

Seperti kata orang bijak

"Barangsiapa yang sempurna akalnya, maka akan sedikit perkataanya dan barangsiapa yang banyak bicaranya maka akan pula celanya"

Wallahu 'alam bi showab