Rabu, 19 Maret 2008

Membangun kepribadian bangsa

Dari hari ke hari kita menyaksikan betapa melorotnya harga diri bangsa ini karena mengalami krisis. Di mata dunia internasional bangsa Indonesia sering dicap buruk sebagai teroris, yang membuat pandangan orang luar begitu negatif. Indonesia juga dikenal gudang TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang mengandung konotasi pabrik pekerja rendahan. Negeri ini juga berkali-kali dikategorisasikan sebagai negara pa-ling korup dalam urutan antara peringkat satu hingga tiga. Banyak hal buruk yang melekat di tubuh bangsa ini, hingga orang luar melihat dengan sebelah mata, kadang merendahkan. Kasus yang menimpa pelatih karate Indonesia oleh polisi Malaysia termasuk bukti mutakhir dari perlakuan orang luar terhadap warga negara Indonesia yang bersifat merendahkan itu.
Alih-alih harus menegakkan kepala ke pihak luar, sebenarnya kita juga makin prihatin terhadap karakter sebagian (mudah-mudahan bukan cerminan seutuhnya) orang Indonesia. Para elitenya, termasuk pucuk pemerintahan dan politisi, selain di institusi-institusi negara lainnya, terkesan lemah karakter, dan ternyata juga bebal. Apa-apa seperti berlalu begitu saja di negeri ini. Semakin banyak elite atau orang terkena kasus korupsi, seperti tak menimbulkan efek jera, bahkan mereka yang terlibat seperti biasa saja seolah bukan aib dan kejahatan. Sementara elite lainnya semakin mudah melakukan apa pun demi meraih tujuan dan ambisi hidupnya. Para wakil rakyat juga terkesan gampang saja melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak disukai dan dikritik keras masyarakat. Apa pun hal menjadi serba gampang, yang menggambarkan perilaku menerabas dan membolehkan segala cara.
Bagaimana dengan anggota masyarakat? Kita juga prihatin, mentalitas menerabas juga mengidap bangsa ini. Hanya karena ingin memenuhi keperluan hidup dengan mudah, muncul berbagai kasus kejahatan, kekerasan, penculikan, perdagangan manusia, narkoba, dan sebagainya. Aib menjadi dagangan publik di media elektronik melalui berbagai tayangan infotainment. Sementara tayangan pornoaksi dan pornografi bukan kian surut, malahan kian menjadi-jadi di tengah ketidakpastian RUU Antipornoaksi dan Pornografi yang menjadi korban tak seriusnya para anggota legislatif di Senayan. Mengurus urusan moral dan hajat hidup publik rupanya tak begitu menjadi prioritas utama, dikalahkan oleh kegemaran “studi banding” dan melancong ke luar negeri.
Bangsa ini seolah telah kehilangan banyak hal yang mulia dalam kehidupannya. Menjadi bangsa yang lembek. Gampang membolehkan apa pun. Gemar terhadap hal-hal yang menggiurkan. Menerabas. Buta-tuli terhadap suara moral dan kepentingan publik. Suka dengan pesona, sambil melipur-lara dengan hal-hal yang sumir. Tak jelas ketika harus bersikap dalam memilih hal-hal yang benar, baik, dan pantas. Lebih kuat tarikannya untuk prestise, kekuasaan, dan ambisi-ambisi yang kadang diperjuangkan dengan segala cara. Kata tak sejalan dengan tindakan. Bahkan atasnama agama pun sarat ambisi, menerabas, dan membolehkan segala cara, sambil menebar sikap “semuci” dan “bersih” diri. Lahirlah berbagai ambivalensi sikap dan tindakan.
Di sinilah pentingnya Muhammadiyah sebagai gerakan Islam untuk membangun kembali kepribadian bangsa yang terkoyak selama ini. Orang-orang Muhammadiyah pun dituntut menjadi contoh yang baik bagi bangsa ini, bukan malah setali mata uang. Muhammadiyah yang telah lahir sebelum Republik Indonesia terbentuk, sungguh memiliki hak sejarah dan hak moral untuk mengarahkan dan membentuk kepribadian bangsa ini. Jangan biarkan bangsa yang mayoritas muslim ini terperosok menjadi bangsa yang kehilangan kehormatan dan martabat diri.

Tidak ada komentar: