Rabu, 19 Maret 2008

Politik membela umat

Ulama berpolitik mempunyai sejarah yang panjang. Pada jaman Nabi Musa mereka adalah bagian dari pilar kekuatan firaun untuk melegitimasi pemerintahan dan melawan ajakan untuk menyembah Allah yang esa. Di Jaman Pertengahan Eropa, para ulama, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut clergy, menikmati posisi sangat tinggi dengan berbagai hak khusus (privilese) seperti tidak dikenai pajak. Bahkan patih salah satu raja Perancis adalah seorang kardinal, yaitu Kardinal Richeliu.

Agak lebih awal dari era Perancis para
rohaniwan-lah yang berkuasa dengan
negara teokrasi sampai kemudian mereka disingkirkan dari pemerintahan sebagai konsekuensi dianutnya sekularisme.
Di Indonesia peran ulama adalah krusial bagi perlawanan terhadap penjajah Belanda meski setelah merdeka peran itu secara sistematis dihapus oleh Soeharto. Para ulama hanya diberi peran kecil-kecilan misalnya melegitimasi kebijakan keluarga berencana. Namun, peran politik ulama benar-benar ditiadakan pada masa Orde Baru. Setelah Presiden Soeharto lengser barulah para ulama berupaya kembali ke tengah pusaran politik. Sayangnya masyarakat sudah terpengaruh pendidikan politik Orde Baru sehingga masyarakat tidak mengijinkan ulama berpolitik. Ketika Kiai Haji Zainuddin MZ berpolitik, maka “da’i sejuta umat” (lebih tepat da’i tiga juta umat karena yang mencoblos partai beliau sekitar 3 juta) segera melorot popularitasnya dan sulit untuk populer kembali sampai sekarang. Bukan salah umat kalau mereka banyak berharap bahwa seorang ulama, kiai, dan sejenisnya tidak terlibat politik. Rakyat sudah cerdas bahwa berpolitik itu mesti punya pamrih, terutama jabatan. Padahal, jabatan adalah jembatan untuk kekayaan. Ini yang dianggap tidak tepat karena seorang ulama itu diharapkan sebagai pribadi yang ikhlas, pamrihnya hanya ridha Allah SwT. Ulama juga harus zuhud, lebih cinta akhirat. Kekayaan hanya sarana, bukan tujuan. Beda dengan politisi yang sebagian, besar, menjadikan kekayaan sebagai sarana sekaligus tujuan.

Politik Lebih Menjanjikan
Namun, anjuran agar ulama tidak berpolitik sering kalah oleh daya tarik yang ditawarkan oleh dunia politik era reformasi. Ini lebih karena pertimbangan rasional bahwa dunia politik memberi akses lebih luas dan mudah kepada berbagai hal. Bahkan, dalam pandangan umum politik adalah jalur cepat untuk memenuhi kecukupan materi. Akibatnya, banyak di antara ulama yang memilih jalur ini dan ingin, ada yang kesampaian dan ada yang tidak, menjadi pejabat eksekutif atau legislatif. Ada yang tertarik menjadi bupati, wakil bupati, dan seterusnya. Atau melalui jalur partai untuk menjadi anggota legislatif, syukur di pusat, kalau tidak ya, di propinsi atau kabupaten dan kota. Lalu ulama pun terbagi ke dalam beberapa kelompok.
Yang pertama adalah sekedar menjadi vote getter alias jurkam untuk tokoh politik atau partai politik tertentu. Jenis ini sudah ada sejak jaman Orde Baru. Yang kedua sudah meningkat, dimanfaatkan partai tidak hanya sekedar menjadi jurkam melainkan sekaligus dijadikan calon anggota legislatif. Jenis ini terjadi mulai era reformasi. Sebagian pengamat politik memang mengatakan bahwa tahun 1999 adalah tahun “kecelakaan politik” karena yang menjadi wakil rakyat adalah orang yang tidak mewakili rakyat karena jadi tidaknya mereka itu ditentukan oleh partai dengan nomor urut sesuka partai. Akibatnya, banyak orang yang tidak kapabel menjadi pembuat kebijakan. Tidak menguasai teknik penyusunan undang-undang tetapi tugas pokoknya membuat undang-undang. Berikutnya adalah ulama, dalam pengertian ahli agama, yang mirip mata uang dua sisi: sisi yang satu adalah politisi tetapi sisi yang lain adalah ulama. Orang awam tidak bisa membedakan mereka ini berangkat dari mana, dari kepentingan politik atau kepentingan agama karena agama adalah politik dan politik adalah agama. Inilah yang bisa disebut ulama-politikus, alias ulamalitikus. Generasi terakhir yang muncul adalah ulama yang secara pribadi mempunyai syahwat politik untuk menjadi eksekutif lokal, bupati-wakil bupati, atau walikota-wakil walikota, masih jarang yang berani mencalonkan diri menjadi gubernur atau wakilnya.

Menyatukan Agama dan Politik
Memang idealnya politik itu tidak dipisahkan dari agama dan sebaliknya. Namun, sejarah membuktikan ketika kedua otoritas itu digabung, Rasulullah saw plus empat sahabat sebagai perkecualian, maka yang terjadi adalah otoritas yang terlalu kuat. Politik, khususnya demokrasi, masih membuka ruang dialog, tetapi otoritas agama—yang sebenarnya juga mempunyai wilayah dialog—lebih sering dipraktikkan secara hirarkis-dogmatis dan sangat otoritatif. Mereka yang berani mempertanyakan kebijakan pimpinan akan disamakan dengan kaum Yahudi, banyak bertanya sehingga malah menyusahkan mereka sendiri. Dalil ini kalau digunakan secara tidak semestinya akan menjadikan anggota dan simpatisan parpol partai agama bagaikan kerbau dicocok hidungnya karena tidak berani atau tidak bisa memanfaatkan ruang dialog mengingat ruang itu disekat. Sikap kritis tidak dihidupkan. Konsekuensinya adalah absolutisme partai karena meski yang sebenarnya terjadi adalah absolutisme pemimpin partai, tetapi mereka menggunakan partai sebagai justifikasi. Absolutisme partai pernah dijalankan oleh Partai Komunis Soviet. Jadi, kecenderungan yang sering terjadi adalah politik lebih banyak memanfaatkan agama.

Partai itu Membelah
Jelas adalah baik-baik saja, bahkan harus, apabila seorang politikus itu shalih. Sayang apabila keshalihan itu merupakan perasaan yang memunculkan arogansi bahwa politikus di luar “partai kami” tidak shalih, tidak peduli rakyat, dan selalu berorientasi pada materi. Akan ada kecenderungan bahwa dalam berdakwah ulama-politikus tidak membedakan dengan indoktrinasi politik. Sebaliknya, ketika yang disampaikan adalah kampanye politik, ia lebih mirip indoktrinasi agama. Dalam praktik kita lihat, pengajian-pengajian mestinya mengajarkan agama dan nilai-nilai yang menyertainya misalnya toleransi, tidak diskriminatif, tidak curiga, dan yang penting inklusif alias ditujukan untuk semua. Namun kalau itu, diselenggarakan oleh partai politik, masih bernama pengajian, sering sangat ekslusif bahkan tidak bisa diakses oleh umat lain. Ada semacam sentimen “kami-kalian.” Bahkan mereka yang sudah berada di dalam kelompok tersebut kalau keluar diminta dengan sangat—untuk tidak mengatakan diancam—agar tidak bercerita kepada siapapun mengenai materi pengajian. Ini bertentangan dengan semangat syiar Islam yang sangat terbuka bagi siapa pun. Kadang-kadang saking eksklusifnya, kepada sesama Islam pun tidak bersahabat. Mungkin lupa bahwa hakekat dakwah dan kampanye adalah sama, yaitu mengajak, agar mereka yang belum tahu menjadi tahu, agar mereka yang tersesat kembali ke jalan yang benar, mereka yang bodoh menjadi tercerahkan.
Penggunaan masjid untuk kegiatan kader partai politik berdampak membelah umat. Ini karena umat Islam secara internal heterogen dan karenanya secara arif ingin masjid tidak terkooptasi oleh politik supaya tidak konflik. Kalau di Iran hal itu tidak bermasalah karena umat lebih homogen. Selain itu, akibat dari tidak dibedakannya jenis dan tahapan dakwah, dan antara dakwah dengan kampanye politik, maka perpecahan di kalangan umat menjadi semakin tajam. Muncul pertanyaan, bagaimana partai politik itu akan menjadi sebuah partai politik yang modern, yang bersifat catch-all party, yang pluralis, baik secara agama maupun plural secara sosial (etnis, ras, status, dan lainnya) kalau kepada sesama umat Islam saja kurang bersahabat? Akibatnya, memang partai-partai berlabelkan agama sekedar terjebak pada “pasar” mereka sendiri (captive market). Tidak heran kalau partai-partai seperti PDI Perjuangan dan Partai Golkar dianggap lebih inklusif. Kita ikut prihatin kalau agama sekedar partai karena agama jauh lebih luas dan agung daripada partai. Partai politik itu sekedar temuan modern, sengaja dibentuk untuk menjadi alat berkompetisi demi jabatan politik nasional. Untuk diketahui saja bahwa semangat kompetisi itu adalah meniadakan alias memusnahkan yang lain. Politik, yang identik dengan kekuasaan itu, selalu berprinsip zero-sum game alias permainan kalah menang. Beruntunglah Muhammadiyah yang menjaga posisi dan jarak yang sama kepada semua partai. Dan kalau kita ingin Muhammadiyah beruntung maka kita harus ikut menjaga agar organisasi kita ini menjaga jarak yang sama kepada semua partai. Kalau perlu meniru prinsip perusahaan katering: “melayani partai besar maupun partai kecil.”

Tidak ada komentar: