Kamis, 28 Mei 2009

DAFTAR ISI ....................................................................................
INSTRUMEN PORTOFOLIO YANG TELAH DIISI ..................................
1. Halaman Identitas dan Pengesahan .............................................
2. Komponen Portofolio ..................................................................
BUKTI FISIK (DOKUMEN PORTOFOLIO) ...........................................
1. Kualifikasi Akademik ..................................................................
2. Pendidikan dan Pelatihan ...........................................................
3. Pengalaman Mengajar ...............................................................
4. Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran ..............................
5. Penilaian dari Atasan dan Pengawas ...........................................
6. Prestasi Akademik .....................................................................
7. Karya Pengembangan Profesi .....................................................
8. Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah .............................................
9. Pengalaman Menjadi Pengurus Organisasi di Bidang Kependidikan dan Sosial ..................................................................................
10. Penghargaan yang Relevan dengan Bidang Pendidikan ...............
Penilaian
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
oleh Penilai (Asesor)
IDENTITAS PESERTA


1. Nama (lengkap dengan gelar akademik :
2. NUPTK :
3. Nomor Peserta :
4. NIP/NIK :
5. Pangkat/Golongan :
6. Jenis Kelamin :
7. Tempat, tgl lahir :
8. Pendidikan Terakhir :
9. Akta Mengajar :
10. Sekolah Tempat Tugas
1) Nama :
2) Alamat Sekolah :

3) Kecamatan :
4) Kabupaten/Kota :
5) Provinsi :
6) No. Telp. Sekolah :
7) Alamat e-mail :
8) Nomor Statistik Sekolah :
11. Mata Pelajaran /Guru Kelas SD :
12. Beban Mengajar per Minggu :

*)Coret yang tidak perlu






LEMBAR PENILAIAN



Petunjuk
Berilah skor pada butir-butir perencanaan pembelajaran dengan cara melingkari angka pada kolom skor (1, 2, 3, 4, 5) sesuai dengan kriteria sebagai berikut.
1 = sangat tidak baik
2 = tidak baik
3 = kurang baik
4 = baik
5 = sangat baik

No. Aspek yang dinilai Skor
1. Kejelasan perumusan tujuan pembelajaran (tidak menimbul kan penafsiran ganda dan mengandung perilaku hasil belajar) 1 2 3 4 5
2. Pemilihan materi ajar (sesuai dengan tujuan dan karakteristik peserta didik) 1 2 3 4 5
3. Pengorganisasian materi ajar (keruntutan, sistematika materi dan kesesuaian dengan alokasi waktu) 1 2 3 4 5
4. Pemilihan sumber/media pemblajaran (sesuai dengan tujuan, materi, dan karakteristik peserta didik) 1 2 3 4 5
5. Kejelasan skenario pembelajaran (langkah-langkah kegiatan pembelajaran : awal, inti, dan penutup) 1 2 3 4 5
6. Kerincian skenario pembelajaran (setiap langkah tercermin strategi/metode dan alokasi waktu pada setiap tahap) 1 2 3 4 5
7. Kesesuaian teknik dengan tujuan pembelajaran 1 2 3 4 5
8. Kekengkapan instrumen (soal, kunci, pedoman penskoran) 1 2 3 4 5
Skor Total .......

Kendal ,
Penilai,



(....................................)
NIP

Contoh Sertifikasi

IDENTITAS PESERTA


1. Nama (lengkap dengan gelar akademik) : Akhmad Asikin,S.Ag
2. Nomor Peserta : ‘
3. NIP/NIK : 150329956
4. Pangkat/Golongan : Pembina / IV/a
5. Jenis Kelamin : Laki-laki
6. Tempat, tgl lahir : Kendal ,10 Mei 1974
7. Pendidikan Terakhir : Sarjana PAI
8. Akta Mengajar : Memiliki
9. Sekolah Tempat Tugas
1) Nama : SMA Negeri 1 Kendal
2) Alamat Sekolah : Jln Soekarno-Hatta Kendal

3) Kecamatan : Patebon
4) Kabupaten/Kota : Kendal
5) Provinsi : Jawa Tengah
6) No. Telp. Sekolah : ( 0294 ) 381136
7) Alamat e-mail : Aakin74@yahoo.com
8) Nomor Statistik Sekolah : 30.103.2415001
10. Mata Pelajaran : PAI
11. Beban Mengajar per Minggu : 30 Jam



Kendal, 15 Mei 2010

Mengetahui: Penyusun,
Pengawas Pendidikan,
PAI SMA Kab Kendal






(........................................)
NIP Kepala Sekolah,
SMA Negeri 1 Kendal






Drs.Sutopo,M.Pd
NIP 131694578








Akhmad Asikin,S.Ag
NIP 150329956

KOMPONEN PORTOFOLIO
1. Kualifikasi akademik
NO. JENJANG PERG. TINGGI FAKULTAS JURUSAN/ PRODI TAHUN LULUS SKOR
(diisi penilai)
a. S1 IAIN Walisongo Semarang TARBIYAH Pendidikan Agama Islam 1998
b.
c.
d.
e.

2. Pendidikan dan Pelatihan
NO. NAMA / JENIS DIKLAT TEMPAT WAKTU PELAKSANAAN
(...... jam) PENYELENG¬-GARA SKOR
(diisi penilai)
a. Workshop KBK Semarang 32 Jam BALI DIKLAT
b. KTSP Semarang 32 jam Ungaran
c. Sosialisasi KBK Semarang 32 Jam Semarang
d. Kaligrafi Kendal 8 jam Kendal
e. Sosilaisasi Sertifikasi Semarang 8 Jam Semarang
f. Pelatihan KTSP Ungaran 32 jam Semarang
g. Pengembangan Kurikulum Kendal 32 jam PUSKUR Jkt
h. Pelatihan TI untuk sekolah Kendal 32 jam Puskur Jkt
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
3. Pengalaman Mengajar
Tuliskan pengalaman mengajar Bapak/Ibu pada tabel berikut ini.
NO. NAMA SEKOLAH BIDANG STUDI LAMA MENGAJAR
(mulai tahun ...... s.d. tahun ........)
a. SMA N I cepiring PAI
1999-2001
b. SMA N 1 Gemuh Kendal PAI
2001-2004
c. STIP FARMING Semarang PAI
2006-2009
d. SMA Negeri 1 Kendal PAI
2004-2010
e. MTs 08 Gemuh Kendal PAI 2002-2003
f.
g.
h.

Kumulatif lama mengajar: 24 tahun; skor: .......... (diisi penilai)

4. Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran
a. Perencanaan Pembelajaran
NO MATA PELAJARAN MATERI/KOMPETENSI SEMESTER TAHUN SKOR
(diisi penilai)
1) PAI Prilaku Terpuji 2 2005
2) PAI Memahami ayat ttg Demokrasi 1 2006
3) PAI Prilaku tercela 2 2007
4) PAI Sejarah nabi Pereode makah 1 2008
5) PAI Sejarah nabi pereode madinah 2 2009
Rata-rata skor ........

b. Pelaksanaan Pembelajaran
Bukti fisik yang dilampirkan berupa dokumen hasil penilaian oleh kepala sekolah dan/atau pengawas tentang kinerja Bapak/Ibu dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas (instrumen penilaian terlampir).

Lampirkan hasil penilaian kepala sekolah dan/atau pengawas tentang kinerja pelaksanaan pembelajaran Bapak/Ibu sebagaimana dimaksud di atas dalam amplop tertutup.

Skor pelaksanaan pembelajaran (diambil dari amplop tertutup): ..................... (diisi penilai)

5. Penilaian dari atasan dan pengawas
Bukti fisik yang dilampirkan berupa dokumen hasil penilaian dari atasan dan pengawas tentang kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial Bapak/Ibu dengan menggunalan Format Penilaian Atasan (format terlampir). Lampirkan hasil penilaian dari atasan sebagaimana dimaksud di atas dalam amplop tertutup.
Skor penilaian atasan dan pengawas (diambil dari amplop tertutup): ............... (diisi penilai)

6. Prestasi Akademik
a. Lomba dan karya akademik


NO NAMA LOMBA/
KEJU¬A¬RA¬AN WAKTU PELAKSANAAN TINGKAT PENYE-LENGGARA SKOR
(diisi penilai)
1)
2)
3)
b. Pembimbingan teman sejawat
Pengalaman menjadi Instruktur/Guru inti/Tutor/Pemandu
NO. MATA PELAJARAN/
BIDANG STUDI INSTRUKTUR/GURU INTI/TUTOR /PEMANDU TEMPAT SKOR
(diisi penilai)
1) PAI Pemandu Workshop MGMP PAI Kendal
2) KTSP Pemandu sekolah Mandiri SMA I Kaliwungu
3)
4)


c. Pembimbingan siswa
1) Membimbing siswa sampai mendapatkan penghargaan
NO. NAMA KEJUARAAN TINGKAT TEMPAT DAN WAKTU SKOR
(diisi penilai)
a) MTQ pelajar Kabupaten Kendal
b) MTQ Pelajar Kabupaten Kendal
c) MTQ Pelajar Propinsi Semarang
d) MTQ TK Propinsi Propinsi IAIN Semarang
e) MTQ Pelajar Tk Propinsi Jawa tengah IKIP PGRI Semarang
f) MTQ Pelajar Tk Propinsi Propinsi STM Pembangunan
g) MTQ Pelajar Tk Propinsi Propinsi Kendal
h) MTQ Pelajar Propinsi Jateng IAIN Walisongo Semarang
i) Siswa Teladan 2004 Kabupaten Kendal
j) Siswa Teladan 2005 Kabupaten Kendal
k) Siswa Teladan 2006 Kabupaten Kendal
k) Siswa Teladan 2007 Kabupaten Kendal







2) Membimbing siswa (tidak mencapai juara) dalam kegiatan akademik dan/atau prestasi.
NO. NAMA KEGIATAN TEMPAT LAMA (WAKTU PEMBIMBINGAN) SKOR
(diisi penilai)
a) SMA 1 Kendal 2004 s.d 2007
b) Widya Wisata Bali 5 Hari
c)
d)
e)


7. Karya Pengembangan Profesi
a. Karya Tulis
NO. JUDUL JENIS *) PENERBIT TAHUN TERBIT SKOR
(diisi penilai)
1) Pendidikan Islam menatap Masa depan Artikel Majalah Ganesa
2) Ada Apa dengan Istighotsah Artikel Majah Ganesa
3) Senyum adalah Ibadah Artikel





b. Penelitian
NO. JUDUL TAHUN SUMBER DANA STATUS (KETUA/ANGGOTA) SKOR
(diisi penilai)
1)
2)
3)
4)

c. Reviewer buku dan/atau penulis soal EBTANAS/UN
NO. NAMA KEGIATAN TAHUN SKOR
(diisi penilai)
1) Penulis soal Ujian sekolah 2004
2) Penulis soal Ujian sekolah 2005
3) Penulis soal Ujian sekolah 2006
4) Penulis soal Ujian sekolah 2007


d. Media dan Alat Pembelajaran
NO. JENIS MEDIA/ALAT TAHUN SUMBER DANA STATUS (KETUA/ANGGOTA) SKOR
(diisi penilai)
1)
2)
3)
4)
5)



e. Karya teknologi/seni (TTG, patung, rupa, tari, lukis, sastra, dll)
NO. SKOR
(diisi penilai)
1)

8. Keikutsertaan dalam forum ilmiah
Jika Sdr/i pernah mengikuti forum ilmiah tuliskan judul dan keterangan lainnya pada tabel berikut ini
NO. JENIS KEGIATAN TAHUN PERAN *) TINGKAT
(Inter/Nas/Lokal) SKOR
(diisi penilai)
a. NARKOBA 2008 Pemandu Jawa tengah
b. Penyuluhan remja 2006 Pemateri Jawa tengah
c.
d.

9. Pengalaman menjadi pengurus organisasi di bidang kependidikan dan sosial
a. Pengalaman Organisasi
NO. NAMA ORGANISASI TAHUN JABATAN TINGKAT *) SKOR
(diisi penilai)
1) MGMP Agama Sekretaris Kabupaten
2) Pengurus Lakpesdam NU Cabang 2008 Ketua komisi Kabupaten
3) Pengurus IPNU 2 Ketua Desa
4) Pengurus IPNU WK Ketua RT RT
5) Pengurus KNPI 2006 Ketua Komisi Budaya Kabupaten
6) Panitia PORSENI Sie Lomba Kabupaten
7) Pengurus Pembina STP2K SMA I Kendal Ketua bidang kerohanian Sekolah
8) Panitia POPDA Sie Lomba Kabupaten





b. Pengalaman Mendapat Tugas Tambahan
NO. JABATAN TH ---- S/D TH ----- NAMA SEKOLAH SKOR
(diisi penilai)
1)
2)
3)
4)


10. Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan
a. Penghargaan
NO. JENIS PENGHARGAAN PEMBERI PENGHARGAAN TINGKAT *) TAHUN SKOR
(diisi penilai)
1)
2)

b. Penugasan Di Daerah Khusus

NO. LOKASI JENIS DAERAH KHUSUS LAMA BERTUGAS
(MULAI TH ..... s/d TH .....) SKOR
(diisi penilai)
1)

Dengan ini saya menyatakan bahwa pernyataan dan dokumen di dalam portofolio ini benar-benar hasil karya saya sendiri, dan jika di kemudian hari ternyata pernyataan dan dokumen saya tidak benar, saya bersedia menerima sanksi dan dampak hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kendal ,
Peserta sertifikasi,




(Akhmad Asikin,S.Ag )
NIP 150329956

Selasa, 05 Mei 2009

UNSUR UNSUR NABI TERAKIR

Definisi Nabi Terakhir mengandung unsur-unsur yang harus diimani, yaitu:
1. (ناَسِخُ الرِّسَالَةِ) Menghapus Risalah sebelumnya
Risalah sebelumnya adalah semua kitab dan hukum yang pernah diturunkan oleh Allah swt. kepada para nabi dan dikabarkan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an maupun di dalam As-Sunnah yang shahih, yaitu Shuhuf (lembaran) yang diturunkan kepada Ibrahim a.s. [lihat QS. Al-A'laa (87): 14-19 dan An-Najm (53): 36-42], Shuhuf yang diturunkan kepada Musa a.s. [lihat QS. Al-A'laa (87): 14-19 dan An-Najm (53): 36-42], Taurat yang diturunkan kepada Musa a.s. (lihat QS. Al-Baqarah (2): 53, Ali Imran (3): 3, Al-Maidah (5): 44, dan Al-An’am (6): 91], Zabur yang diturunkan kepada Daud a.s. [lihat QS. An-Nisa' (4): 164, Al-Kahfi (18): 55, dan Al-Anbiya' (21): 105], dan Injil yang diturunkan kepada Isa a.s. [lihat QS. Ali Imran (3): 3 dan Al-Mai'dah (5): 46].
Semua kitab-kitab tersebut hukumnya telah di-nasakh (dihapuskan) oleh Al-Qur’an, kecuali beberapa hukum dan kisah. Dan semua yang belum di-nasakh tersebut disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an ataupun Al-Hadits
2. (مُصَدِّقُ اْلأَنْبِيَاءِ) Membenarkan Para Nabi Sebelumnya
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).” [QS. Al-Baqarah (2): 101]
Membenarkan para nabi sebelumnya, maksudnya bahwa Islam melalui kitabnya, yaitu Al-Qur’an, membenarkan keberadaan para nabi yang ada sebelum Nabi Muhammad saw. dan meyakini bahwa Allah swt. menurunkan kitab-kitab kepada para nabi tersebut. Kita pun membenarkan seluruh berita yang ada dalam semua Kitab-kitab tersebut adalah dari Allah swt., selain yang telah diselewengkan dan diubah oleh para ahli kitab; serta mengerjakan semua hukumnya kalau ada yang belum di-nasakh (dihapuskan) oleh Al-Qur’an.
Katakanlah: “Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. [QS. Al-Baqarah (2): 97]
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
3. (مُكَمِّلُ الرِّسَالَةِ) Penyempurna Risalah Sebelumnya.
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” [QS. Al-Maidah (5): 3]
Bahwa Islam adalah agama terakhir, maka nabinya pun adalah nabi penutup, sehingga kitabnya, yaitu Al-Qur’an ini, diturunkan oleh Allah swt. untuk menyempurnakan semua risalah sebelumnya. Oleh karena semua risalah sebelum Nabi Muhammad saw. tersebut telah mengalami perubahan dan penyimpangan dari masa ke masa yang dilakukan oleh generasi setelahnya. Berbagai penyimpangan itu diantaranya: mengubah arti dari lafazh (kata-kata) yang ada [lihat QS. Ali Imran (3): 75, 181, 182; An-Nisa' (4): 160-161; Al-Maidah (5): 64], mengubah atau menambah baik kata, kisah, maupun hukum [lihat QS. Al-Baqarah (2): 79, Ali Imran (3): 79-80; Al-Maidah (5): 116-117], menyembunyikan dan menghilangkan berita-berita tentang Nabi Muhammad saw. dan kebenaran lainnya [lihat QS. Al-Baqarah (2): 89-90, 109, 146; Ali Imran (3): 71-72; Ash-Shaff (61): 6].
4. (كاَفَّةٌ لِلنَّاسِ) Berlaku untuk Semua Manusia.
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” [QS. Saba' (34): 28]
Perbedaan syariat Nabi Muhammad saw. dibandingkan para nabi sebelumnya adalah bahwa syariat beliau berlaku untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman. Hal ini berbeda dengan syariat para nabi yang lainnya yang hanya terbatas untuk umatnya saja.
Hal ini mengandung dua pelajaran bagi kita, yaitu: pertama, mengetahui hikmah Allah swt. dalam penetapan hukum bagi setiap umat, sehingga Allah swt. selalu menetapkan hukum yang sesuai bagi setiap umat. Kedua, oleh sebab itu hal ini meyakinkan kita bahwa Islam merupakan syari’at yang paling sempurna, paling lengkap, dan paling baik karena merupakan penutup dan penyempurna dari risalah semua nabi dan rasul.
5. (رَحْمَةٌ لِلْعاَلمَِيْنَ) Menjadi Rahmat bagi Seluruh Alam.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. Al-Anbiya' (21): 107]
Hal lain yang juga memperkuat kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah dampak dari dakwahnya. Dakwahnya yang telah dapat mengubah sebuah peradaban yang terbelakang, buta aksara, dan kejam, menjadi memimpin dan menguasai peradaban dunia serta mengisinya dengan gabungan antara ketinggian ilmu pengetahuan dan akhlak yang belum dapat ditandingi oleh peradaban modern saat ini sekalipun. Di antara hasil karya besar Nabi Muhammad saw. sebagai rahmat bagi alam semesta ini adalah sebagai berikut.
1. Memusnahkan segala jenis syirik, baik yang besar (menyembah berhala, sihir, ramal, dan sebagainya) maupun kecil (sumpah bukan dengan nama Allah, riya’, dan sebagainya); dan menggantinya dengan keimanan yang total kepada Allah swt.
2. Memusnahkan segala adat tradisi jahiliyyah yang menyimpang, seperti membuka aurat, ber-khalwat dengan lawan jenis, campur baur lelaki dan wanita (ikhtilath), dan sebagainya; dan menggantinya dengan akhlak yang mulia dan tuntunan moral yang luhur.
3. Menegakkan sebuah sistem kehidupan yang seluruhnya berdiri di atas tauhid, baik ekonomi, politik, sosial, kemasyarakatan, seni, olahraga, dan lain-lain.
4. Melakukan sebuah revolusi total terhadap hati sanubari, pemikiran, dan peraturan hidup umat manusia.
5. Mempersatukan semua ras, semua suku, semua golongan manusia di bawah sebuah sistem yang berlandaskan tauhid, berhukumkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan bertujuankan kebaikan dunia dan akhirat
Ketika kita beriman kepada Nabi Muhammad saw., maka kita akan mengetahui bahwa risalah beliau adalah risalah yang paling lengkap dan paling sempurna yang pernah diturunkan oleh Sang Pencipta kepada hamba-Nya. Akidah semua nabi adalah satu, yakni tauhid, tetapi syariah mereka berbeda-beda. Karena Nabi Muhammad saw. adalah nabi penutup, maka risalahnya adalah risalah yang terakhir dan syariatnya akan berlaku hingga akhir zaman. Tiada agama yang diridhai di sisi Allah swt. kecuali Islam, dan tidak ada nabi yang membawa syariat lain setelah Nabi Muhammad saw.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا.
“Dan Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang lelaki di antara kalian, tetapi ia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir; dan adalah Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.” [QS. Al-Ahzab (33): 40]
Imam At-Thabari saat menafsirkan ayat ini berkata, “Muhammad saw. itu bukanlah ayah dari salah seorang lelaki diantara kalian (Zaid bin Haritsah r.a., yaitu anak angkat Nabi saw.) melainkan beliau adalah Nabi terakhir, maka tiada lagi Nabi setelah beliau sampai hari kiamat; dan adalah Allah swt. terhadap segala perbuatan dan perkataan kalian Maha Mengetahui.” (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Imam At-Thabari, XX/278)
Imam Al-Qurthubi berkata, ayat ini mengandung 3 hukum Fiqh. “Pertama, saat Nabi saw. menikah dengan Zainab (mantan istri Zaid bin Haritsah r.a.) orang-orang munafik berkata: Dia (Muhammad) menikahi mantan istri anaknya sendiri, maka ayat ini turun untuk membantah hal tersebut. Kedua, bahwa Muhammad saw. adalah Nabi terakhir, tiada Nabi sesudahnya yang membawa syariat baru. Ketiga, syariat beliau menyempurnakan syariat sebelumnya, sebagaimana sabdanya: Aku diutus untuk ‘menyempurnakan’ akhlak yang mulia, atau sabdanya yang lain: Perumpamaanku dengan nabi sebelumku seperti perumpamaan seorang yang membuat bangunan yang amat indah, tinggal sebuah lubang batu bata yang belum dipasang, maka akulah batu bata tersebut dan akulah nabi yang terakhir.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Imam Al-Qurthubi, I/4484)
Berkata Sayyid Quthb rahimahullah dalam tafsirnya, “Bahwa setelah menjelaskan tentang beliau saw. bukanlah ayah dari Zaid bin Haritsah r.a., sehingga halal beliau menikahi Zainab r.a., ayat ini juga menggariskan tentang pemenuhan hukum syariat yang masih tersisa yang harus diketahui dan disampaikan kepada umat manusia, sebagai realisasi dari penutup risalah langit untuk di bumi ini, tidak boleh ada pengurangan dan tidak boleh ada perubahan, semuanya harus disampaikan.” (Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb, VI/89)
Lebih lanjut beliau menambahkan saat menafsirkan akhir ayat tersebut (yang berbunyi “Dan adalah Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu“), “Sungguh Dia-lah yang paling mengetahui apa yang paling baik dan paling tepat bagi para hamba-Nya, maka Ia memfardhukan kepada Nabi-Nya apa yang seharusnya dan memilihkan bagi beliau apa yang terbaik. Ia menetapkan hukum-Nya ini sesuai dengan pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu dan ilmu-Nya tentang mana yang terbaik tentang hukum, aturan dan undang-undang serta sesuai dengan kasih-sayang-Nya kepada semua hamba-Nya yang beriman.”
Demikianlah telah ijma’ (konsensus) di antara para ulama bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir, sehingga jika ada orang yang datang setelah beliau menyatakan ada nabi setelah beliau, maka perkataan tersebut batil dan tertolak berdasarkan ijma’; dan pelakunya harus bertobat kepada Allah swt.

PENDIDIK DALAM ISLAM

Para pendidik muslim (murobbiy) adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Ucapan yang keluar dari mulutnya adalah ucapan terbaik yang sangat bernilai tinggi. Firman Allah,

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk, orang-orang yang berserah diri". (QS. 41 : 33).

Rasulullah SAW menjanjikan kepada para pembimbing kebajikan, dengan janji-janji indah dan membanggakan. Dari Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr al Anzhany RA. Rasulullah bersabda,
"Barang siapa yang menuntun kepada kebajikan maka ia memperoleh pahala sebesar pahala yang melakukannya". (HR Muslim)
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda,

“Barang siapa yang menyeru kepada kebenaran maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang itu sedikitpun. Dan barang siapa mengajak kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa orang itu sedikitpun". (HR. Muslim)

Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib

"Jika kamu berhasil menunjuki satu orang ke jalan kebajikan, maka itu lebih baik bagimu daripada onta merah".

Para pendidik muslim, penerus risalah Nabi, adalah orang yang rizkinya ditanggung.oleh Allah, karena ia sedang melaksanakan tugas dari Allah. Ia tidak mengharapkan balasan jerih payahnya kecuali hanya berharap kepada anugerah dan karunia Allah semata. Beginilah yang pernah dicontohkan Nabi Nuh AS.
“Jika kamu berpaling dari peringatanku, aku tidak menerima upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri” (QS. 10 : 72)

Begitu juga dilakukan oleh Habib an Najjar yang dikenal pula shahibu Yaasin, ketika ia membela Rasul yang sedang dianiaya kaumnya.

"Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. 36:21).
Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh sistem pendidikan tapi juga pendidiknya. Untuk itu perlu disikapi tentang bagaimana sebenarnya pendidik cemerlang tersebut.

Pertama, menyadari keagungan tarbiyah (mendidik). Pendidik harus menyadari keagungan, ketinggian dan kemuliaan jalan tarbiyah (mendidik). ?Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata, ?sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri?. (Fushilat:33). Yang memahami pentingnya tarbiyah/pendidikan dalam menghubungkan cahaya kebenaran kedalam hati sehingga seseorang mendapat hidayah kearah jalan yang lurus, jalan iman dan islam. Serta menyadari bahwa jalan tarbiyah menyediakan balasan yang tinggi, pahala yang besar disisi Allah.

Kedua, beroerientasi yang benar. Seorang pendidik harus mengerti bahwa faktor terpenting yang menolongnya dalam menjalankan tugas mentarbiyah/mendidik adalah ikhlas semata-mata mengharap ridha-Nya. Ia harus mengosongkan hatinya dari segala sesuatu yang bisa mengotori keikhlasan, seperti ghurur (bangga diri), riya ingin diketahui orang (popularitas dan sebagainya. Khususnya bagi seorang pendidik yang memiliki Quwwatut Ta?tsiir (memikat, kharismatik) sangat memungkinkan mendapat fitnah.?Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengnan memurnikan keta?atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.., (Qs.Al Bayyinah: 5). Pendidik juga harus menghidupkan hatinya dengan apa yang diucapkan oleh lisannya, hatinya harus berinteraksi dengan nilai rabani (qolbun salim). Inilah yang menjadikan perkataan lebih berbobot dan berpengaruh dalam jiwa para mustami?, karena apa yang membias dari hati akan tersambung kehati pula dan apa yang keluar dari mulut tidak lebih akan sampai ke telinga saja.

Ketiga, menguasai metode dan mengenali ruang lingkup pendidikan. Pengubahan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Interaksi-interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain. Menyingkirkan hambatan yang menghalangi proses belajar alamiah dengan secara sengaja menggunakan instrukmen, mewarnai lingkungan sekeliling, menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara efektif penyajian dan ?keterlibatan aktif?. (Quantum Teaching, Bobbi DePotter dkk, 1999).

Keempat, senantiasa menambah ilmu. Senantiasa menambah ilmu dan mendalaminya, terutama biang ilmu yang hendak diajarkannya, ilmu apa saja. Sangat berbahaya jika seorang pendidik mengajarkan ilmu tanpa menguasainya. Sering terjadi kesalahan pada pendidik akan menghilangkan kepercayaan siswa kepada pendidiknya, jika sudah demikian akan terjadi ketidak serasian proses belajar, sehingga ilmu yang ditranformasikan tidak banyak memberikan pengaruh kepada siswa. (Muhith Muhammad Ishaq,2002).
?Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajrkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.? ( QS.Ali Imran : 79 ). Pendidik cemerlang harus memiliki argumen yang kuat untuk mendukung makna yang diutarakan dan harus memperhatikan kesesuaian argumen dengan makna tersebut. Ia memiliki keluasan dalam memilih argumen, sebab ayat-ayat Al Quran, hadist-hadist Rasul, sirah nabawiyah dan dalil ilimiah adalah argumen kuat yang dapat digunakan untuk memperkuat pembicaraan. Karenanya pendidik harus selalu bersemangat membekali diri dengan ilmu, menghafalkan ayat-ayat Al Quran dan hadits Rasul semampunya, selalu mentelaah sirah Nabawiyah dan perkembangan sain dan ilmu modern. Disitu akan mendapatkan bekal bagus yang dapat membantu tugasnya. Ia harus mengaitkan antara apa yang disampaikan dan aktivitasnya dalam pembicaraannya. Tidak boleh ada pemisahan antara tarbiyah/mendidik dan perjuangan yang diwajibkan , sehingga setiap pendidik muslim dapat merasakan (menyadari) kewajiban yang dituntut islam, yaitu ikut serta ambil bagian dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang diinginkan.

Kelima, keteladanan. ?Siswa sering mencari-cari alasan untuk tidak tertarik: lubang-lubang dalam cerita kita, kontradiksi, ketidaksesuaian antara kata-kata dan tindakan kita. Tetapi semakin banyak kita memberi teladan, semakin mereka tertarik dan mulai mencontoh kita. Mengapa mereka tertarik? Karena mereka merasakan kesebangunan, kecocokan antara keyakinan dan perkataan kita dengan perbuatan kita. Jadi memberi teladan adalah salah satu cara ampuh untuk membangun hubungan memahami orang lain. Ini juga berarti anda tak usah terlalu bersusah payah, tetapi dampak untuk murid tetap lebih kuat. Plus keteladanan akan menambahkan kekuatan ke dalam pengajaran anda.? (Quantum Teaching, Bobbi DePotter dkk, 1999)

Keenam, bukan eksekutor. Penelitian menunjukan bahwa ketidakberhasilan anak didik dalam berimfrovisasi dan berprestasi lebih didominasi oleh karena perlakuan lingkungnan yang melingkupi kehidupannya Ia harus menghindari klaim dan mengeksekusi anak didik dengan mendeskriditkan atau membebani mereka dengan sesuatu yang sulit untuk diwujudkan mereka, bila tidak ada keterpaksaan yang menyebabkan hal itu, itupun harus disertai dengan pendekatan yang mempertimbangkan segala aspeknya, itu pun masih dalam kerangka mendidik.

Ketujuh, menghargai waktu. Pendidik teladan harus bertanggung jawab atas waktu mendidiknya. karenanya ia harus membiasakan diri hadir tepat waktu dan berusaha sekuat tenaga memberikan bekal yang baik, sesuai dengan waktu yang tersedia. Ia tidak boleh bakhil dalam mengutarakan materi tatkala yang hadir Cuma sedikit, karena boleh jadi manfaat penjelasannya bagus dan para pendengar terkesan dengannya, maka hendaknya ia mengembalikan keutamaan kepada Allah, bukan kepada kehebatan diri sendiri.

Kedelapan, tidak mengabaikan pesan moral. ?Sungguh aku diutus Allah dalam rangka menyempurnakan alhklaq? (Al Hadits). Pendidik harus memberikan perhatian serius terhadap masalah keimanan dan kualitas pelaksanaan ibadah, dari segi kebenaran hukum-hukumnya dan penghayatan rahasia-rahasianya atau suasana hati dalam melaksanakannya, sehingga dapat membuahkan ketaqwaan dan ketinggian rohani. Ia harus memberikan perhatian khusus pada aspek akhlaq. Karena upaya meninggalkan akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak mulia itu butuh waktu, tenaga, kesabaran, pemeliharaan, pemantauan dari dekat dan pengawasan.

Dengan demikian kredibelitas seorang pendidik yang hanya membanggakan diri dengan sekedar memfokuskan terhadap proses trasformasi semata adalah tidak pada tempatnya lagi-bahkan telah menyalahi standarisasi keilmiahan ilmu pendidikan itu sendiri. Sungguh tidak sehat sekiranya kita (para pendidik) mengajarkan kepada semua orang bahwa alam raya merupakan sumber belajar yang dapat memberikan segudang informasi, sementara siapa dibalik penciptaan alam raya itu kemudian dinafikan (disembunyikan) dengan dalih agar tetap mempertahankan standarisasi keilmiahan sebuah cabang ilmu. Oleh karenanya kepiawaian kita berbicara selamanya akan tetap berbeda dengan realitas dan nilai kebenaran yang hakiki. Inilah yang kemudian menghancurkan peradaban dan mengharubirukan sejarah kelam manusia sepanjang sejarahnya.

BERBAKTI PADA ORANG TUA

Sebagaimana kita maklumi bahwa setiap manusia mengharapkan dan mengidamkan kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat, memperoleh kemudahan dan keluasan pintu rizki, dan keberkahan di dalamnya. Untuk itu, kita harus mengenal rambu-rambu yang dapat mengantarkan kita padanya. Juga akibat-akibat durhaka pada mereka, agar kita terhindar dari hambatan dan penghalang untuk meraih harapan dan cita-cita.
Karena profesionalisme sangat tidak cukup untuk mengantarkan kita pada cita-cita. Bahkan limpahan rizki dan materi pasti juga tidak cukup untuk mengantarkan manusia pada kebahagiaan dan kesuksesan yang sejati di dunia dan akhirat. Bahkan justru sebaliknya, materi yang melempah sering menghantam kehidupan manusia. Sehingga ia terjatuh ke dalam kesengsaan batin, dan penderitaan yang abadi di akhirat. Untuk itu, kita sangatlah butuh pada bantuan dari Allah dan Rasul-Nya serta Ahlul baitnya untuk mengenal secara baik rambu-rambu tersebut.
Allah swt menegaskan dalam firman-Nya:
“Rendahkan dirimu terhadap mereka dengan penuh kasih saying, dan ucapkan: “Duhai Tuhanku, sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka telah mendidikku di waktu kecil.” (Al-Isra’: 24).
Rasulullah saw bersabda:

“Berbaktilah kamu pada orang tuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti padamu. Jagalah kesucian isteri orang lain, niscaya kesucian isterimu akan terjaga.” (Al-Wasail 20: 356)
Berbakti tidak cukup hanya saat mereka hidup
Rasulullah saw pernah ditanyai: “Siapakah yang paling besar haknya terhadap seseorang?” Beliau menjawab: “Kedua orang tuanya.” Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya ada orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya ketika mereka hidup, jika ia tidak memohonkan ampunan untuk mereka setelah meninggal, maka ia dicatat sebagai anak yang durhaka kepada keduanya. Dan sungguh ada orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya ketika mereka hidup, tapi sesudah mereka meninggal ia memperbanyak istighfar untuk keduanya, maka ia dicatat sebagai anak yang berbakti.” (Mustadrak Al-Wasâil 2: 112)
Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Sungguh ada seorang hamba yang berbakti kepada kedua orang tuanya ketika mereka hidup; tetapi setelah mereka meninggal, ia tidak menunaikan hutangnya, tidak memohonkan ampunan untuk mereka, maka Allah mencatat ia sebagai anak yang durhaka. Sungguh ada seorang hamba yang durhaka kepada kedua orang tuanya; tetapi setelah mereka meninggal ia menunaikan hutangnya dan memohonkan ampunan untuk mereka, maka Allah mencatat ia sebagai anak yang berbakti kepada mereka.”
Tingkat kewajiban berbakti pada orang tua
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban yang paling besar.” (Mustadrak Al-Wasâil 15: 178)
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Ada tiga hal yang wajib dilaksanakan: Menunaikan amanat kepada orang yang baik atau yang zalim, memenuhi janji kepada orang yang baik atau yang zalim, dan berbakti kepada kedua orang tua yang baik atau yang zalim.” (Mustadrak Al-Wasâil 15: 179)
Akibat-Akibat berbakti kepada Orang Tua
Sebagaimana durhaka pada mereka berdampak ke dalam kehidupan, juga berbakti kepada mereka memiliki dampak dan akibat positif ke dalam kehidupan kita. Akibat-akibat itu antara lain:
Diridhai oleh Allah Azza wa Jalla
Dalam hadis Qudsi Allah swt berfirman: “Sesungguhnya yang pertama kali dicatat oleh Allah di Lawhil mahfuzh adalah kalimat: ‘Aku adalah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku, barangsiapa yang diridhai oleh kedua orang tuanya, maka Aku meri¬dhainya; dan barangsiapa yang dimurkai oleh keduanya, maka Aku murka kepadanya.” (Jâmi’us Sa’adât, penghimpun kebahagiaan, 2: 263).
Disayangi oleh Allah swt
Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib (sa): “…Wahai Ali, Allah menyayangi kedua orang tua yang melahirkan anak karena keberbaktiannya kepada mereka. Wahai Ali, barangsiapa yang membuat sedih kedua orang tuanya, maka ia telah durhaka kepada mereka.” (Al-Faqîh 4: 371)
Ya Allah
Indahkan kepada mereka ucapanku
Haluskan kepada mereka tabiatku
Lembutkan kepada mereka hatiku
Jadikan aku orang yang sangat mencintai mereka
Ya Allah
Jangan biarkan daku lupa untuk menyebut nama mereka sesudah shalatku
pada saat-saat malamku, pada saat-saat siangku
Ya Allah
Jika ampunan-Mu lebih dahulu datang kepada mereka,
izinkan mereka untuk memberi pertolongan kepadaku
Jika ampunan-Mu lebih dahulu sampai kepadaku,
izinkan aku untuk memberi pertolongan kepada mereka
Sehingga dengan kasih sayang-Mu kami berkumpul di rumah-Mu yang mulia
di tempat ampunan dan kasih-Mu
Sungguh Engkau Pemilik karunia yang besar dan anugerah yang abadi
Engkaulah Yang maha Pengasih dari semua yang mengasihi
Kebahagiaan dan Sakinah dalam rumah tangga
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang percaya kepadaku tentang berbakti kepada kedua orang tua dan menjalin silaturrahmi, maka aku akan menjaminnya dalam hal penambahan harta, penambahan umur, dan sakinah dalam rumah tangganya.” (Mustadrak Al-Wasâil 15: 176)
Diridhai oleh Allah swt
Imam Ja’far Ash-Shaqiq (sa) berkata: “Takutlah kamu kepada Allah, dan janganlah durhaka kepada kedua orang tuamu, karena ridha mereka adalah ridha Allah dan murka mereka adalah murka Allah.” (Al-Kafi 2: 349)
Menambah umur dan Rizki
Imam Ja’far (sa) berkata: “Jika kamu ingin ditambah umurmu oleh Allah, maka bahagiakan kedua orang tuamu. Berbakti kepada mereka dapat menambah rizki.” (Al-Wasâil 18: 371).
Kemudahan saat sakaratul maut
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang ingin memperoleh kemudahan saat sakaratul maut, maka hendaknya ia menjalin silarurrahim dengan karabatnya, dan berbakti kepada kedua orang tuanya.” (Bihârul Anwâr 74: 66)
Kemudahan perhitungan amal pada hari kiamat
Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Berbakti kepada orang tua dan menjalin silaturrahmi akan dimudahkan hisab amalnya…” (Mustadrak Al-Wasâil 15: 177)

CARA BERBAKTI PADA ORANG TUA

1. Berbicaralah kamu kepada kedua orang tuamu dengan adab dan janganlah mengucapkan “Ah” kepada mereka, jangan hardik mereka, berucaplah kepada mereka dengan ucapan yang mulia.

2. Selalu taati mereka berdua di dalam perkara selain maksiat, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada sang Khalik.
3. Lemah lembutlah kepada kedua orangtuamu, janganlah bermuka masam serta memandang mereka dengan pandangan yang sinis.

4. Jagalah nama baik, kemuliaan, serta harta mereka. Janganlah engkau mengambil sesuatu tanpa seizin mereka.

5. Kerjakanlah perkara-perkara yang dapat meringankan beban mereka meskipun tanpa diperintah. Seperti melayani mereka, belanja ke warung, dan pekerjaan rumah lainnya, serta bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu.

6. Bermusyawarahlah dengan mereka berdua dalam seluruh kegiatanmu. Dan berikanlah alasan jika engkau terpaksa menyelisihi pendapat mereka.

7. Penuhi panggilan mereka dengan segera dan disertai wajah yang berseri dan menjawab, “Ya ibu, ya ayah”. Janganlah memanggil dengan, “Ya papa, ya mama”, karena itu panggilan orang asing (orang-orang barat maksudnya –pent.).

8. Muliakan teman serta kerabat mereka ketika kedua orang tuamu masih hidup, begitu pula setelah mereka telah wafat.

9. Janganlah engkau bantah dan engkau salahkan mereka berdua. Santun dan beradablah ketika menjelaskan yang benar kepada mereka.

10. Janganlah berbuat kasar kepada mereka berdua, jangan pula engkau angkat suaramu kepada mereka. Diamlah ketika mereka sedang berbicara, beradablah ketika bersama mereka. Janganlah engkau berteriak kepada salah seorang saudaramu sebagai bentuk penghormatan kepada mereka berdua.

11. Bersegeralah menemui keduanya jika mereka mengunjungimu, dan ciumlah kepala mereka.

12. Bantulah ibumu di rumah. Dan jangan pula engkau menunda membantu pekerjaan ibumu.

13. Janganlah engkau pergi jika mereka berdua tidak mengizinkan meskipun itu untuk perkara yang penting. Apabila kondisinya darurat maka berikanlah alasan ini kepada mereka dan janganlah putus komunikasi dengan mereka.

14. Janganlah masuk menemui mereka tanpa izin terlebih dahulu, apalagi di waktu tidur dan istirahat mereka.

15. Jika engkau kecanduan merokok, maka janganlah merokok di hadapan mereka.

16. Jangan makan dulu sebelum mereka makan, muliakanlah mereka dalam (menyajikan) makanan dan minuman.

17. Janganlah engkau berdusta kepada mereka dan jangan mencela mereka jika mereka mengerjakan perbuatan yang tidak engkau sukai.

18. Jangan engkau utamakan istri dan anakmu di atas mereka. Mintalah keridhaan mereka berdua sebelum melakukan sesuatu karena ridha Allah tergantung ridha orang tua. Begitu juga kemurkaan Allah tergantung kemurkaan mereka berdua.

19. Jangan engkau duduk di tempat yang lebih tinggi dari mereka. Jangan engkau julurkan kakimu di hadapan mereka karena sombong.

20. Jangan engkau menyombongkan kedudukanmu di hadapan bapakmu meskipun engkau seorang pejabat besar. Hati-hati, jangan sampai engkau mengingkari kebaikan-kebaikan mereka berdua atau menyakiti mereka walaupun dengan hanya satu kalimat.

21. Jangan pelit dalam memberikan nafkah kepada kedua orang tua sampai mereka mengeluh. Ini merupakan aib bagimu. Engkau juga akan melihat ini terjadi pada anakmu. Sebagaimana engkau memperlakukan orang tuamu, begitu pula engkau akan diperlakukan sebagai orang tua.

22. Banyaklah berkunjung kepada kedua orang tua, dan persembahkan hadiah bagi mereka. Berterimakasihlah atas perawatan mereka serta atas kesulitan yang mereka hadapi. Hendaknya engkau mengambil pelajaran dari kesulitanmu serta deritamu ketika mendidik anak-anakmu.

23. Orang yang paling berhak untuk dimuliakan adalah ibumu, kemudian bapakmu. Dan ketahuilah bahwa surga itu di telapak kaki ibu-ibu kalian.

24. Berhati-hati dari durhaka kepada kedua orang tua serta dari kemurkaan mereka. Engkau akan celaka dunia akhirat. Anak-anakmu nanti akan memperlakukanmu sama seperti engkau memperlakukan kedua orangtuamu.

25. Jika engkau meminta sesuatu kepada kedua orang tuamu, mintalah dengan lembut dan berterima kasihlah jika mereka memberikannya. Dan maafkanlah mereka jika mereka tidak memberimu. Janganlah banyak meminta kepada mereka karena hal itu akan memberatkan mereka berdua.

26. Jika engkau mampu mencukupi rezeki mereka maka cukupilah, dan bahagiakanlah kedua orangtuamu.

27. Sesungguhnya orang tuamu punya hak atas dirimu. Begitu pula pasanganmu (suami/istri) memiliki hak atas dirimu. Maka penuhilah haknya masing-masing. Berusahalah untuk menyatukan hak tersebut apabila saling berbenturan. Berikanlah hadiah bagi tiap-tiap pihak secara diam-diam.

28. Jika kedua orang tuamu bermusuhan dengan istrimu maka jadilah engkau sebagai penengah. Dan pahamkan kepada istrimu bahwa engkau berada di pihaknya jika dia benar, namun engkau terpaksa melakukannya karena menginginkan ridha kedua orang tuamu.

29. Jika engkau berselisih dengan kedua orang tuamu di dalam masalah pernikahan atau perceraian, maka hendaknya kalian berhukum kepada syari’at karena syari’atlah sebaik-baiknya pertolongan bagi kalian.

30. Doa kedua orang itu mustajab baik dalam kebaikan maupun doa kejelekan. Maka berhati-hatilah dari doa kejelekan mereka atas dirimu.

31. Beradablah yang baik kepada orang-orang. Siapa yang mencela orang lain maka orang tersebut akan kembali mencelanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya dengan cara dia mencela bapaknya orang lain, maka orang tersebut balas mencela bapaknya. Dia mencela ibu seseorang, maka orang tersebut balas mencela ibunya.” (Muttafaqun ‘alaihi).

32. Kunjungilah mereka disaat mereka hidup dan ziarahilah ketika mereka telah wafat. Bershadaqahlah atas nama mereka dan banyaklah berdoa bagi mereka berdua dengan mengucapkan, “Wahai Rabb-ku ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Waha Rabb-ku, rahmatilah mereka berdua sebagaimana mereka telah merawatku ketika kecil”.

CIRI KHUSUS RISALAH NABI MUHAMMAD SAW

Risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw. mempunyai ciri-ciri yang khusus dibandingkan dengan para rasul sebelumnya. Ciri-ciri khusus itu adalah sebagai nabi penutup, penghapus risalah sebelumnya, membenarkan nabi sebelumnya, menyempurnakan risalah, diperuntukkan bagi manusia seluruh alam, dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Ciri-ciri ini dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. dan tidak dimiliki oleh para rasul sebelumnya.
Rasulullah tampil sebagai pembawa risalah Islam yang mencakupi huda (petunjuk) dan dienul haq (agama yang benar). Selain itu hadirnya Rasulullah saw. di tengah umat akhir zaman adalah sebagai saksi, pembawa berita gembira dan peringatan, menyeru ke jalan Allah, dan sebagai pelita yang menerangi.
Khatamu Al-Anbiya (Penutup Para Nabi)
Allah swt. telah mengutus nabi dan rasul pada setiap kaum. Namun yang disebutkan di dalam Al-Qur’an hanya sebanyak 25 orang. Perhatikan Al-Qur’an surat Al-Mu’min (40): 78, An-Nisa’ (4): 163-164, dan Al-An’am (6): 84-86. Sedangkan penutup bagi semua rasul dan nabi itu adalah Nabi Muhammad saw.
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; Maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil. [QS. Al-Mu'min (40): 78]
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. [QS. An-Nisa' (4): 163-164]
Muhammad itu bukan bapak salah seorang lelaki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [QS. Al-Ahzab (33): 40]
Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh), yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dan Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas; semuanya termasuk orang-orang yang shalih.
Dan Ismail, Alyasa’, Yunus, dan Luth; masing-masing kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya). [Q.S. Al-An'am (6): 84-86]
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah bersabda, “Sesungguhnnya risalah dan kenabian sudah terputus, maka tidak ada rasul dan nabi setelah aku.”
Nasikhu Ar-Risalah (Penghapus Risalah)
Risalah nabi-nabi terdahulu hanya untuk kaum tertentu saja, sehingga hanya sesuai untuk kaum tersebut. Selain itu risalah terdahulu mengikuti keadaan dan situasi serta keperluan semasa waktu itu sehingga hanya sesuai pada saat tersebut saja.
Sementara, risalah Nabi Muhammad saw. adalah untuk umat manusia dan berlaku hingga hari kiamat.
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. [QS. Saba' (34): 28]
Allah swt. juga menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah penutup para nabi. Sehingga tidak ada nabi setelahnya.
Muhammad itu bukan bapak salah seorang lelaki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [QS. Al-Ahzab (33): 40]
Sebagai penutup para nabi, maka risalah yang dibawa Nabi Muhamamd saw. menjadi penghapus risalah para rasul sebelumnya. Hal ini pernah ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw. saat Umar bin Khattab membaca Taurat. Beliau berkata kepada Umar bahwa jika Nabi Musa a.s. ada di antara mereka, pasti Nabi Musa akan mengikuti risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Mushaddiqu Al-Anbiya (Membenarkan Para Nabi).
Risalah yang dibawa Nabi Muhammad adalah sebagai pelengkap bagi risalah yang dibawa para rasul sebelumnya dan sekaligus memansukhkan risalah sebelumnya. Risalah Nabi Muhammad saw. sesuai dan dapat digunakan oleh semua manusia dan dapat diamalkan hingga hari kiamat.
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. [QS. Saba' (34): 28]
Nabi Isa a.s. sebagai nabi setelah Nabi Musa, membenarkan kenabian Nabi Musa. Bahkan, Nabi Isa a.s. mengabarkan kepada umatnya akan datang seorang rasul setelahnya yang bernama Ahmad (Nabi Muhammad saw.).
Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata, “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” [QS. Ash-Shaff (61): 6]
Meski kedatangan Nabi Muhammad saw. sudah dikabarkan oleh para nabi dan rasul sebelumnya, tetap saja ada usaha untuk mendustakannya. Banyak tantangan dan usaha yang dicoba untuk menghapuskan agama Allah, namun demikian Allah swt. senantiasa menjaga dan memeliharanya dari serangan kaum kafir. Di antaranya dengan memenangkan Islam atas agama lainnya atau dengan menurunkan para Rasul dan Nabi untuk kembali meluruskan penyimpangan dan kejahiliyahan umat. Nabi Muhammad saw. sebagai nabi akhir melengkapi risalah nabi-nabi sebelumnya dan dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam.
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.
Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci. [QS. Ash-Shaff (61): 8-9]
Mukammilu Ar-Risalah (Penyempurna Risalah)
Selain membenarkan para rasul dan nabi sebelumnya yang membawa risalah Islam, kehadiran Nabi Muhammad saw. juga diperuntukkan guna menyempurnakan risalah sebelumnya. Risalah sebelumnya cenderung diperuntukkan bagi suatu kaum tertentu saja dan untuk saat tertentu. Berbeda dengan Nabi Muhammad saw. yang diutus untuk semua manusia dan berlaku hingga kiamat.
ُ
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi dari Rasulullah saw., Beliau bersabda, “Perumpamaan aku dan para nabi yang lain seperti seorang laki-laki yang membangun rumah, ia sempurnakan dan memperindahnya kecuali satu sisi dari bangunan itu, maka setiap orang yang masuk ke dalamnya setelah ia melihatnya ia berkata: alangkah indahnya rumah ini kecuali sisi ini, maka aku menyempurnakan sisi itu , dengan itu aku penutup para nabi.”
Kaafatan Linnaas (Untuk Seluruh Manusia)
Rasul Muhammad saw. berbeda dengan para rasul dan nabi sebelumnya, dimana Nabi Muhammad saw. diutus bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan dengan tidak membedakan suku, bangsa, warna kulit, bahasa, dan sebagainya. Sehingga dapat dilihat perkembangan Islam pada masa ini di mana kaum muslimin tersebar di seluruh pelosok dunia.
Dan Kami tidak mengutus engkau, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. [QS. Saba' (34): 28]
Rahmatul Alamin (Rahmat Bagi Alam Semesta)
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiyaa' (21): 107].
Kehadiran Nabi Muhammad saw. di muka bumi ini adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam yang tidak saja manusia, tetapi juga alam, hewan, pohon, dan sebagainya. Manusia, dengan kehadiran Nabi Muhammad, mendapatkan rahmat dan kebaikan. Begitu juga manusia kafir dan jahiliyah, mendapatkan rahmat dari kedatangan Islam. Dengan demikian Islam dan Nabi Muhammad tidak hanya untuk umat Islam, tetapi kebaikannya juga dirasakan oleh manusia lainnya. Islam adalah membawa agama fitrah yang sesuai dengan penciptaan manusia. Jadi, ketika Islam disampaikan, akan dirasakan sesuai oleh manusia.
Alam, hewan, dan tumbuhan pun dilindungi dan dipelihara dengan kedatangan Islam. Umat Islam sebagai khalifah di muka bumi melaksanakan pemeliharaan dan penjagaan alam. Dengan demikian kestabilan terwujud, dan alam serta isinya menjadi damai.
Risalatul Islam
Risalah Nabi Muhammad saw. adalah risalah Islam, yang dibawanya adalah sesuatu yang benar. Hal ini tercermin dari akhlak, kepribadian, dan sifat-sifat Nabi yang mulia.
Inti dari risalah Nabi Muhammad saw. adalah huda (petunjuk) dan dienul haq (agama yang benar). Risalah membawa huda karena Islam itu sendiri sebagai panduan bagi manusia.
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak (benar) dan agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. [QS. Al-Fath (48): 28]
Ad-Dakwah
Rasul menggunakan Islam sebagai petunjuk dan juga Allah menangkan Islam sebagai dienul haq atas agama-agama lainnya. Usaha ini tidak akan tercapai apabila tidak dilaksanakan dakwah.
Rasul dalam menjalankan dakwahnya mempunyai peranan sebagai saksi atas umatnya, memberi penyampaian nilai-nilai Islam yang bersifat kabar gembira ataupun kabar peringatan.
Allah swt. sekali lagi menegaskan bahwa Rasul berdakwah dengan menyeru manusia agar kembali kepada Allah dan kemudian Rasul sebagai pelita yang menerangi.
Peranan Nabi yang digambarkan di dalam surat Al-Ahzab (33) ayat 45-46 adalah sebagai dai. Nabi berdakwah dengan mengajak manusia dan bersifat sebagai pelita yang senantiasa dijadikan rujukan bagi manusia.
Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. [QS. Al-Ahzab (33): 45-46]
Nabi Muhammad saw. telah berhasil menegakkan Islam dengan dakwahnya selama 23 tahun. Kini risalah yang diajarkannya telah menyingkirkan kegelapan jahiliyah yang membelenggu dunia, dan menempatkan kita ke dalam cahaya hidayah yang terang benderang. Dengan begitu kita tahu mana jalan yang menyesatkan dan mana jalan yang benar menuju pintu keridhaan Allah swt.

MEMBACA KASIH SAYANG ALLLAH

Dan Dia (Allah) Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim lagi sangat mengingkari (kufur nikmat)“. (Ibrahim: 34)
Membaca merupakan perintah pertama Allah dalam Al-Qur’an yang ditujukan langsung kepada manusia pilihan-Nya, Rasulullah saw. melalui wahyu pertama ‘Iqra’ (bacalah) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan’ (Al-Alaq: 1). Membaca di sini harus difahami dalam arti yang luas karena memang objek membaca dalam wahyu pertama tersebut tidak dibatasi dan tidak ditentukan; Bacalah! Berarti beragam yang layak dan harus dibaca. Salah satu objek terbesar yang harus dibaca adalah kasih sayang Allah swt. yang terhampar di seluruh jagat raya ini tanpa terkecuali. Semuanya adalah bukti dan tanda kasih sayang Allah swt. untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Untuk itu, ayat di atas hadir untuk mengingatkan manusia akan kasih sayang Allah swt. yang memberikan segala yang dibutuhkan, sekaligus merupakan perintah untuk senantiasa membaca karunia tersebut agar tidak termasuk orang yang zalim, apalagi kufur nikmat seperti yang disebutkan di kalimat terakhir ayat tersebut di atas ‘Sesungguhnya manusia itu sangat zalim lagi sangat ingkar nikmat.’
Tentu, ayat ini tidak berdiri sendiri seperti juga seluruh ayat-ayat Al-Quran. Setiap ayat memiliki keterkaitan dan korelasi dengan ayat sebelum atau sesudahnya yang menunjukkan ‘wahdatul Qur’an’ kesatuan dan kesepaduan ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk ayat di atas ini harus dibaca dengan mengkorelasikannya dengan dua ayat sebelumnya yang menggambarkan sekian banyak dari nikmat Allah swt. yang harus dibaca dengan penuh kesadaran:
“Allahlah Yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air hujan dari langit, Kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia pula telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendakNya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (Ibrahim: 32-33).
Ayat yang senada dengan ayat di atas dalam bentuk tantangan Allah kepada seluruh makhlukNya sekaligus perintahNya untuk membaca hamparan karunia nikmatNya yang tiada terhingga adalah surah An-Nahl: 18:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dalam penutup ayat ini Allah swt. hadir dengan dua sifat yang merupakan puncak dari kasih sayang-Nya, yaitu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.
Ibnu Katsir mengungkapkan penafsirannya dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim bahwa selain dari perintah Allah untuk membaca nikmat Allah, pada masa yang sama merupakan sebuah pernyataan akan ketidak berdayaan hamba Allah swt. dalam menghitung nikmat-Nya, apalagi menjalankan kesyukuran karenanya, seperti yang dinyatakan oleh Thalq bin Habib:
“Sesungguhnya hak Allah sangat berat untuk dipenuhi oleh hamba-Nya. Demikian juga nikmat Allah begitu banyak untuk disyukuri oleh hamba-Nya. Karenanya mereka harus bertaubat siang dan malam.”
Membaca kasih sayang Allah swt. merupakan langkah awal mensyukuri nikmat-Nya. Untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan syukur nikmat, paling tidak terdapat empat langkah yang harus dipenuhinya: pertama, Mengekpresikan kegembiraan dengan kehadiran nikmat tersebut. Kedua, Mengapresiasikan rasa syukur atas nikmat tersebut dengan ungkapan lisan dalam bentuk pujian. Ketiga, membangun komitmen dengan memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Sang Pemberi nikmat. Keempat, Mengembangkan dan memberdayakannya agar melahirkan kenikmatan yang lebih besar di masa yang akan datang sesuai dengan janji Allah swt. dalam firman-Nya:
“Jika kalian bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepadamu.” (Ibrahim: 7) Di sini kesyukuran justru diuji apakah dapat membuahkan kenikmatan yang lain atau malah sebaliknya, menghalangi hadirnya nikmat Allah swt. dalam bentuk yang lainnya.
Ternyata memang mega proyek Iblis terhadap manusia adalah bagaimana menjauhkannya dari kasih sayang Allah swt. sehingga mereka senantiasa hanya membaca ujian dan cobaan yang menimpanya agar mereka tidak termasuk kedalam golongan yang mensyukuri nikmat-Nya. Padahal secara jujur, kasih sayang Allah swt. dalam bentuk anugerah nikmatNya pasti jauh lebih besar daripada ujian maupun sanksi-Nya. Di sini, kelemahan manusia membaca nikmat merupakan keberhasilan proyek iblis menyesatkan manusia. Allah menceritakan tentang proyek
Iblis dalam firman-Nya:
“Iblis menjawab: “Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.“ (Al-A’raf: 16-17)
Dalam konteks ini, sungguh usaha dan kerja Iblis tidak main-main. Ia akan memperdaya manusia dari seluruh segmentasi dan celah kehidupannya tanpa terkecuali. Dalam bahasa Prof. Mutawalli Sya’rowi, “Syaitan akan datang kepada manusia dari titik lemahnya (ya’tisy Syaithan min nuqthah dha’f lil insan).” Jika manusia kuat dari aspek harta, maka ia akan datang melalui pintu wanita. Jika ia kuat pada pintu wanita, ia akan datang dari pintu jabatan dan begitu seterusnya tanpa henti. Sehingga akhirnya hanya segelintir manusia yang akan selamat dari bujuk rayu syetan dan menjadi pribadi yang bersyukur. Allah swt. pernah berpesan kepada Nabi Daud dan keluarga-Nya agar mewaspadai hal tersebut dalam firman-Nya: “Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih (bersyukur).“ (Saba’: 13).
Memang hanya sedikit sekali yang cerdas dan bijak membaca kasih sayang Allah swt. Selebihnya adalah manusia yang suka berkeluh kesah, mengeluh dan tidak bersyukur atas karunia nikmat yang ada. Bahkan kerap menyalahkan orang lain, su’ud dzan dan berperasangka buruk kepada Allah swt. Padahal kebaikan dan pahala sikap syukur itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain. Karenanya ujian kesyukuran itu akan terus menyertai manusia sampai Allah benar-benar tahu siapa yang bersyukur diantara hamba-Nya dan siapa di antara mereka yang kufur. ‘Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan yang sedikit.‘ Allahu a’lam

CARA MENYEMBUHKAN VIRUS CINTA

Virus hati yang bernama cinta ternyata telah banyak memakan korban. Mungkin anda pernah mendengar seorang remaja yang nekat bunuh diri disebabkan putus cinta, atau tertolak cintanya. Atau anda pernah mendengar kisah Qeis yang tergila-gila kepada Laila. Kisah cinta yang bermula sejak mereka bersama mengembala domba ketika kecil hingga dewasa. Akhirnya sungguh tragis, Qeis benar-benar menjadi gila ketika laila dipersunting oleh pria lain. Apakah anda pernah mengalami problema seperti ini atau sedang mengalaminya? mau tau terapinya? Mari sama-sama kita simak terapi mujarab yang disampaikan Ibnu Qoyyim dalam karya besarnya Zadul Ma'ad.
Beliau berkata : Gejolak cinta adalah jenis penyakit hati yang memerlukan penanganan khusus disebabkan perbedaannya dengan jenis penyakit lain dari segi bentuk, sebab maupun terapinya. Jika telah menggerogoti kesucian hati manusia dan mengakar di dalam hati, sulit bagi para dokter mencarikan obat penawarnya dan penderitanya sulit disembuhkan.
Allah mengkisahkan penyakit ini di dalam Al-Quran tentang dua tipe manusia, pertama wanita dan kedua kaum homoseks yang cinta kepada mardan (anak laki-laki yang rupawan). Allah mengkisahkan bagaimana penyakit ini telah menyerang istri Al-Aziz gubernur Mesir yang mencintai Nabi Yusuf, dan menimpa Kaum Luth. Allah mengkisahkan kedatangan para malaikat ke negeri Luth
Dan datanglah penduduk kota itu (ke rumah Luth) dengan gembira (karena) kedatangan tamu-tamu itu. Luth berkata: "Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku), dan bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina ".Mereka berkata: "Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia?" Luth berkata: "Inilah puteri-puteri (negeri) ku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)". (Allah berfirman): "Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)". [Al-Hijr: 68-72]
KEBOHONGAN KISAH CINTA NABI DENGAN ZAINAB BINTI JAHSY
Ada sekelompok orang yang tidak tahu menempatkan kedudukan Rasul sebagaimana layaknya, beranggapan bahwa Rasulullah tak luput dari penyakit ini sebabnya yaitu tatkala beliau melihat Zaenab binti Jahsy sambil berkata kagum: Maha Suci Rabb yang membolak-balik hati, sejak itu Zaenab mendapat tempat khusus di dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karena itu Beliau berkata kepada Zaid bin Haritsah: Tahanlah ia di sisimu hingga Allah menurunkan ayat:
“Artinya : Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya : "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” [Al-Ahzab :37] [1]
Sebagain orang beranggapan ayat ini turun berkenaan kisah kasmaran Nabi, bahkan sebagian penulis mengarang buku khusus mengenai kisah kasmaran para Nabi dan meyebutkan kisah Nabi ini di dalamnya. Hal ini terjadi akibat kejahilannya terhadap Al-Quran dan kedudukan para Rasul, hingga ia memaksakan kandungan ayat apa-apa yang tidak layak dikandungnya dan menisbatkan kepada Rasulullah suatu perbuatan yang Allah menjauhkannya dari diri Beliau .
Kisah sebenarnya, bahwa Zainab binti Jahsy adalah istri Zaid ibn Harisah .--bekas budak Rasulullah-- yang diangkatnya sebagai anak dan dipanggil dengan Zaid ibn Muhammad. Zainab merasa lebih tinggi dibandingkan Zaid. Oleh Sebab itu Zaid ingin menceraikannya. Zaid datang menemui Rasulullah minta saran untuk menceraikannya, maka Rasulullah menasehatinya agar tetap memegang Zainab, sementara Beliau tahu bahwa Zainab akan dinikahinya jika dicerai Zaid. Beliau takut akan cemoohan orang jika mengawini wanita bekas istri anak angkatnya. Inilah yang disembunyikan Nabi dalam dirinya, dan rasa takut inilah yang tejadi dalam dirinya. Oleh karena itu di dalam ayat Allah menyebutkan karunia yang dilimpahkanNya kepada Beliau dan tidak mencelanya karena hal tersebut sambil menasehatinya agar tidak perlu takut kepada manusia dalam hal-hal yang memang Allah halalkan baginya sebab Allah-lah yang seharusnya ditakutinya. Jangan Sampai beliau takut berbuat sesuatu hal yang Allah halalkan karena takut gunjingan manusia, setelah itu Allah memberitahukannya bahwa Allah langsung yang akan menikahkannya setelah Zaid menceraikan istrinya agar Beliau menjadi contoh bagi umatnya mengenai kebolehan menikahi bekas istri anak angkat, adapun menikahi bekas istri anak kandung maka hal ini terlarang.sebagaimana firman Allah:
"Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu" [Al-Ahzab: 40]
Allah berfirman di pangkal surat ini:
"Artinya : Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja" [Al-Ahzab : 4]
Perhatikanlah bagaiamana pembelaan terhadap Rasulullah ini, dan bantahan terhadap orang-orang yang mencelanya. Wabillahi at-Taufiq.
Tidak dipungkiri bahwa Rasulullah sangat mencintai istri-istrinya. Aisyah adalah istri yang paling dicintainya, namun kecintaannya kepada Aisyah dan kepada lainnya tidak dapat menyamai cintanya tertinggi, yakni cinta kepada Rabbnya. Dalam hadis shahih:
"Artinya : Andaikata aku dibolehkan mengambil seorang kekasih dari salah seorang penduduk bumi maka aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih"[2]
KRITERIA MANUSIA YANG BERPOTENSI TERJANGKIT PENYAKIT AL-ISYQ
Penyakit al-isyq akan menimpa orang-orang yang hatinya kosong dari rasa mahbbah (cinta) kepada Allah, selalu berpaling dariNya dan dipenuhi kecintaan kepada selainNya. Hati yang penuh cinta kepada Allah dan rindu bertemu dengaanNya pasti akan kebal terhadap serangan virus ini, sebagaimana yang terjadi dengan Yusuf alaihis salam:
"Artinya ; Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih" [Yusuf : 24]
Nyatalah bahwa Ikhlas merupakan immunisasi manjur yang dapat menolak virus ini dengan berbagai dampak negatifnya berupa perbuatan jelek dan keji.Artinya memalingkan seseorang dari kemaksiatan harus dengan menjauhkan berbagai sarana yang menjurus ke arah itu .
Berkata ulama Salaf: penyakit cinta adalah getaran hati yang kosong dari segala sesuatu selain apa yang dicinta dan dipujanya. Allah berfirman mengenai Ibu Nabi Musa:
"Artinya ; Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya" [Al-Qasas :11]
Yakni kosong dari segala sesuatu kecuali Musa karena sangat cintanya kepadaMusa dan bergantungnya hatinya kepada Musa.
BAGAIMANA VIRUS INI BISA BERJANGKIT ?
Penyakit al-isyq terjadi dengan dua sebab, Pertama : Karena mengganggap indah apa-apa yang dicintainya. Kedua: perasaan ingin memiliki apa yang dicintainya. Jika salah satu dari dua faktor ini tiada niscaya virus tidak akan berjangkit. Walaupun Penyakit kronis ini telah membingungkan banyak orang dan sebagian pakar berupaya memberikan terapinya, namun solusi yang diberikan belum mengena.
MAKHLUK DICIPTAKAN SALING MENCARI YANG SESUAI DENGANNYA
Berkata Ibn al-Qayyim: ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menciptakan makhlukNya dalam kondisi saling mencari yang sesuai dengannya, secara fitrrah saling tertarik dengan jenisnya, sebaliknya akan menjauh dari yang berbeda dengannya.
Rahasia adanya percampuran dan kesesuaian di alam ruh akan mengakibatkan adanya keserasian serta kesamaan, sebagaimana adanya perbedaan di alam ruh akan berakibat tidak adanya keserasian dan kesesuaian. Dengan cara inilahtegaknya urusan manusia. Allah befirman:
"Artinya : Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya” [Al-A'raf :189]
Dalam ayat ini Allah menjadikan sebab perasaan tentram dan senang seorang lelaki terhadap pasangannya karena berasal dari jenis dan bentuknya. Jelaslah faktor pendorong cinta tidak bergantung dengan kecantikan rupa, dan tidak pula karena adanya kesamaan dalam tujuan dan keingginan, kesamaan bentuk dan dalam mendapat petunjuk, walaupun tidak dipungkiri

MAKANLAH YANG HALAL BEN BERKAH

Allah swt. mewajibkan umat Islam untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib (baik), baik yang bersumber dari jenis makanan hewani maupun jenis lainnya.
“Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 168)
“(yaitu) orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Al-A`raf: 157).
“Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (Al-Maidah: 4)
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (An-Nahl: 114)
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Al-Maidah: 88)
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Maidah: 96)
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 29)
Rasulullah saw. juga berpesan tentang keharusan memperhatikan halal dan haram makanan yang kita konsumsi demi menjaga kesucian diri dan keterkabulan jiwa.
“Wahai umat manusia, sesungguhnya Allah adalah thayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang thayyib (baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia perintahkan kepada para rasul. Ia berfirman, ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (Al-Mu’minun: 51), dan berfiman pula, ‘Hai orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.’” (Al-Baqarah: 172)
Kemudian Nabi menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berdebu. Sambil menengadahkan tangan ke langit ia berdoa, “Ya Tuhan, ya Tuhan….’ –Berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah– Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. Nabi memberikan komentar, “Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya?” (Muslim dari Abu Hurairah)
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barangsiapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya.” (Muslim)
Dalam konteks status hukum, mengkonsumsi suatu makanan, selama tidak ditemukan dalil yang akurat ataupun indikasi kuat yang dapat dikategorisasikan ke dalam salah satu jenis yang diharamkan Allah, maka seharusnya kita kembali kepada hukum asal, yakni halal atau mubah.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram fil Islam menulis, hukum asal segala sesuatu adalah boleh (al-Ashlu fil asya’ al-ibahah). Menurut beliau, hukum asal segala sesuatu yang Allah ciptakan dan manfaatnya adalah halal dalan boleh, kecuali apa yang ditentukan hukum keharamannya secara pasti oleh nash-nash yang shahih dan sharih (accurate texts and clear statements). Maka, jika tidak ada nash seperti itu, hukumnya kembali kepada asalnya, yakni boleh (istishab hukmil ashl). Prinsip inilah yang dipakai Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menentukan hukum segala sesuatu selain ibadah dan akidah (Qawa’id Nuraniyah Fiqhiyah, hal. 112-113).
Kaidah hukum itu berdasarkan ayat-ayat yang jelas (sharih). Firman Allah, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Al-Baqarah:29). Demikian pula dalam surat Al-Jatsiyah: 13 dan Luqman: 20. Inilah bentuk rahmat Allah kepada umat manusia dengan berlakunya syariat yang memperluas wilayah halal dan mempersempit wilayah haram, seperti ditegaskan oleh Nabi saw., “Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka ia adalah halal (hukumnya) dan apa yang Dia haramkan, maka (hukumnya) haram. Sedang apa yang Dia diamkan, maka ia adalah suatu yang dimaafkan. Maka terimalah pemaafan-Nya, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu.” (Hakim dan Bazzar)
Ketika ditanya tentang hukum mentega, keju, dan keledai liar, Rasulullah saw. enggan menjawab satu per satu masalah parsial ini. Namun beliau mengalihkannya kepada kaidah dasar hukum agar mereka dapat cerdas menyimpulkan segala persoalan. Kata beliau, “Sesuatu yang halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya; dan sesuatu yang haram itu adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya; dan apa yang Allah diamkan (tidak sebutkan) berarti termasuk apa yang dimaafkan (dibolehkan) untuk kamu.” (Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Bahkan Rasulullah saw. melarang kita mencari-cari alasan untuk mempersoalkan sesuatu yang Allah sengaja diamkan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa hal fardhu, maka jangan kamu abaikan; dan telah menggariskan beberapa batasan, maka jangan kamu langgar; dan telah mengharamkan beberapa hal, maka jangan kamu terjang; serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu tanpa unsur kelupaan, maka jangan kamu permasalahkan.” (Dar Quthni)
Bila kita telusuri berbagai macam kitab fiqh dalam masalah makanan, niscaya akan kita temukan suatu kesimpulan bahwa hukum asal makanan adalah halal dan tidak dapat diharamkan, kecuali berdasarkan dalil khas yang spesifik (lihat Mausu’ah Fiqhiyah, Kuwait, vol. V hal. 123).
Allah telah menjelaskan secara jelas dan tuntas semua yang halal maupun yang haram (lihat Al-A’raf: 157, An-Nisa’: 29, Al-Maidah: 4, Al-An’am: 119, 145). Dari sini para ulama menyimpulkan kaidah bahwa prinsip dasar makanan adalah halal, kecuali bila terdapat larangan dari nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Di antara faktor-faktor dan unsur-unsur kandungan yang dapat mengharamkan makanan di antaranya:
Dipastikan dapat menimbulkan dharar (bahaya) bagi fisik manusia. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)
Rasulullah saw bersabda, “Tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain (dhirar).” (Ibnu Majah dan Ahmad.). Beliu juga bersabda, “Barangsiapa yang mereguk racun lalu membunuh dirinya sendiri, maka racunnya akan tetap berada di tangannya seraya ia mereguknya di neraka Jahannam selama-lamanya.” (Bukhari)
Memabukkan, melalaikan, atau menghilangkan ingatan. Yang termasuk kategori ini adalah segala jenis minuman keras, obat-obatan terlarang, candu, narkotika, dan zat adiktif lainnya.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)
Rasulullah saw. bersabda, “Segala sesuatu jika banyaknya memabukkan, maka yang sedikitnyapun haram.” (Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Najis atau terkontaminasi najis. Contohnya babi, darah, anjing, bangkai (selain ikan dan belalang). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Kuwait, vol. V/125)
Allah berfirman, “Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena semua itu najis, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (Al-An’am: 145)
Selain itu, di dalam madzhab Syafi’i kita temukan larangan untuk mengkonsumsi makanan berasal dari binatang yang hidup di dua alam (air dan darat).
Bila kita dapati larangan Nabi saw. atas beberapa jenis makanan atau binatang di luar konteks yang dinashkan oleh Al-Qur’an, maka ulama fiqih dan ushul –seperti Imam Asy-Syaukani– mengkategorikan larangan tersebut sebagai larangan makruh, bukan haram. Atau, bila terdapat kesesuaian ‘illat (sebab) hukum pengharaman dalam Al-Qur’an –seperti najis atau indikasi najis, rijs atau fisq yang semuanya digolongkan khabaits kebalikan halal yang identik dengan thoyyibat secara umum– maka hal itu termasuk kategori qiyas (analogi) terhadap larangan Al-Qur’an.
As-Syaukani melihat tidak ada relevansinya pengharaman binatang yang diperintahkan oleh Nabi untuk dibunuh maupun yang dilarang Nabi untuk dibunuh, yang merupakan konsekuensi logis dan kultural, untuk menjadi dalil pengharaman memakannya. Maka, hal itu tidak dapat dijadikan dasar pengharaman. Namun bila binatang yang diperintahkan Nabi untuk membunuhnya maupun yang dilarang untuk membunuhnya termasuk kategori khabaits (najis), maka pengharamannya berdasarkan ayat di atas. Jika tidak mengandung unsur khabaits yang manshus (ditegaskan oleh nash ayat), maka hukumnya kembali kepada hukum asal, yakni halal berdasarkan dalil dan kaidah umum (lihat Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, V/14).

WAAMMA BINIKMATI ROBIKA FAHADITS

WA AMMA BI NIKMATI ROBIKKA FAHADIST

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu (Muhammad) siarkan“. (Ad-Dhuhaa: 11)
Tahadduts bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. Namun, perintah dalam ayat ini tetap berlaku umum berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan memuji sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas pemberiannya. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi nikmat.
Berdasarkan makna ayat di atas, mayoritas ulama salaf menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah riya’, ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh seseorang.
Namun, jika dikhawatirkan akan menimbulkan rasa dengki, dan untuk menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat orang lain, maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur nikmat. Lebih tegas Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa tahadduts bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga) maupun takabbur yang sangat dibenci oleh Allah swt. seperti dalam firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Luqman: 18)
Tahadduts bin ni’mah dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya atas kenikmatan materi yang diterima seseorang. Atas kesungguhan beribadah dan taufiq untuk menjalankan amal shalih juga layak dan tidak ada salahnya untuk diceritakan dan diberitahukan kepada orang lain. Ini sebagai sebuah ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru serta dijadikan contoh. Namun, tentu kepada mereka yang diharapkan mengikuti kebaikan dan amal shalih tersebut.
Al-Hasan bin Ali mengemukakan pernyataannya tentang hal itu, “Jika engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan kebaikan, maka sebutlah dan ceritakanlah di depan saudaramu yang kamu percayai bahwa ia akan mengikuti jejak yang baik tersebut.” Kebiasaan seperti ini pernah dilakukan oleh Abu Firas, Abdullah bin Ghalib, seperti yang dituturkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Setiap kali aku bangun pagi, aku biasa menyebut amal yang aku lakukan di malam hari; aku sholat sekian, berdzikir sekian, membaca Al-Qur’an sekian dan sebagainya.” Ketika para sahabatnya mempertanyakan yang dilakukan oleh Abu Firas termasuk dalam kategori riya’, dengan tenang ia menjawab, “Allah memerintahkan dalam ayat-Nya untuk menceritakan kenikmatan, sedangkan kalian melarang untuk menyebut kenikmatan?”
Di sini sangat jelas bahwa tahadduts bin ni’mah merupakan salah satu kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dikecam oleh Allah karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya serta tidak mengakui anugerah tersebut berasal dari Allah swt. Allah berfirman, “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An-Nahl: 83).
Tentang penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan enggan mensyukuri nikmat, Allah menggambarkan akhir kehidupan mereka yang mendapat azab. “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba’: 15-17)
Dalam beberapa hadits Rasulullah dinyatakan bahwa Tahadduts dengan kenikmatan yang diraih merupakan salah satu dari impelemtasi syukur seorang hamba kepada Sang Pemberi nikmat, yaitu Allah. Dalam hal ini, At-Tirmidzi menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang diberi kebaikan (kenikmatan), hendaklah ia membalasnya; Jika ia tidak punya sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia memuji pemberinya. Karena sesungguhnya apabila ia memuji berarti ia telah mensyukuri dan berterima kasih kepadanya. Akantetapi, jika ia menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkari kebaikannya.” Dalam hadits lain dijelaskan masing-masing bentuk implementasi syukur secara lebih terperinci:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Dari An-Nu’man bin Basyir berkata, “Rasulullah saw. berkhutbah di atas mimbar menyampaikan sabdanya: ‘Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang banyak. Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah. Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur dan meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa rahmat dan bercerai-berai akan mendatangkan adzab’.” (Musnad Imam Ahmad, no. 17721)
Adalah anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk senantiasa mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah berpesan, “Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena sesungguhnya menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya.” Memang memperlihatkan kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh Allah karena Allah sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat lantas ia menampakkan atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap atau penampilan.
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Mudah-mudahan kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai kehidupan kita, mampu kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan memperbaiki semangat pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal sholeh yang diridhoiNya. Tahadduts bin ni’mah yang kita lakukan semata untuk mendapatkan perhatian Allah, bukan perhatian dan pujian dari manusia. Namun begitu, harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut semoga akan bisa membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini.