Kamis, 28 Februari 2008

Anti Stress Terapi Islami

Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang

melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak

akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

(QS. Ath-Thalaaq [65]: 7)

Kali ini saya ingin menceritakan kisah jenaka untuk Anda. Siapa tak kenal Nasrudin Hoja? Tokoh sufi khayalan yang satu ini sangat masyhur karena tingkahnya yang jenaka. Pernah suatu hari, ia terlihat duduk termenung. Pandangannya sesekali kosong. Dan jangankan lagi santai, sedang bekerja pun ia bisa terhanyut dalam kehampaan sesaat. Seseorang lalu menghampirinya. Ia heran, kenapa Nasrudin kelihatan tak bergairah. Ada apa gerangan? “Aku lagi stres. Pusing, tak jelas harus berbuat apa. Padahal, aku sudah serius bekerja,” katanya sembari menarik nafas panjang. Tarikan nafas itu cermin ketertekanan.

Ternyata, Nasrudin stres karena di mata majikannya, tak ada pekerjaannya yang dianggap beres. Ini salah, itu juga salah. Begitu pula di rumah. Istrinya selalu menyalahkannya. Hingga pernah suatu saat ia mengeluh pada istrinya: “Dulu, waktu baru nikah, setiap kali aku pulang ke rumah, kau membawakan sandalku, dan anjing kita menyambut dengan gonggongan. Kini terbalik, anjing kita malah yang membawakan sandal, dan kau yang menggonggong.”

Mendengar kegusaran Nasrudin, istrinya tak kalah tangkas menangkis. Perang mulut pun tak terelakkan. Masalah bertambah runyam karena anaknya ikut-ikutan mengatur. Tak disangka, rumah pun bisa jadi sumber “malapetaka” baginya. Tiada hari tanpa masalah. Nasrudin pun jadi uring-uringan. Karena itu, ia lebih senang menyendiri. Mungkin saja Nasrudin memahami sebuah ungkapan, “Kebenaran itu bukan untuk dipelajari, melainkan ditemukan dalam diam.”

Tidak mau terus-menerus dibebani masalah, Nasrudin pun putar akal. Ketemu obatnya. Ia lalu membeli sepatu nomor 40, kendati kakinya berukuran 42. Anda bisa bayangkan, Nasrudin yang disiksa stres lalu menciptakan stres tandingan dengan memakai sepatu kekecilan. Hasilnya, ia merasa plong kala melepas sepatunya, setelah seharian dirongrong stres. “Uh, leganya,” ujar Nasrudin cerah.

Ada-ada saja kelakuan Nasrudin. Namun, dari cerita ini bisa ditarik garis apa saja. Misalnya, bahwa sebenarnya kehidupan itu intinya ada di hati. Jika “hati itu gelap”, sulit menemukan kebenaran. Jadi, butuh “cahaya” Ilahi. Cahaya inilah yang akan menuntun kita menemukan kebenaran. Akan tetapi, cahaya itu tak selalu menyala terang. Saat angin bertiup sangat kencang, cahaya itu bisa padam dan keadaan menjadi gulita. Saat seperti itu, kita takkan mampu memahami masalah sendiri dengan dalam. Maka yang muncul kemudian adalah stres.

Hidup Tanpa Stres

Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia dilahirkan, manusia sudah mulai belajar mengenal sifat-sifat lingkungannya. Pun bagaimana cara menghadapinya. Proses ini berlangsung terus menerus dalam kehidupannya. Dalam proses itu, ada tuntutan terhadap masalah yang mewarnai kehidupan emosional seseorang. Entah itu emosi positif, seperti cinta, bahagia, dan senang; atau emosi negatif, seperti rasa takut, cemas, marah, tertekan, dan rasa bersalah. Situasi yang menekan tersebut merupakan pemicu timbulnya stres.

Stres merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, stres sudah menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Stres menyerang tidak pandang bulu. Ia datang akibat adanya situasi eksternal atau internal yang menimbulkan tekanan dan gangguan pada keseimbangan hidup seseorang. Stres biasanya menampilkan diri melalui berbagai gejala, seperti meningkatnya kegelisahan, ketegangan, dan kecemasan. Juga dapat tampil dalam perubahan pada perilaku: jadi tidak sabar, lebih cepat marah, atau menarik diri dari lingkungan sosial. Namun begitu, meski cukup sering mengganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif. Dalam hal-hal tertentu, stres memiliki implikasi positif. Istilah psikologisnya, eustress atau stres dalam artian positif, yakni keadaan yang dapat memotivasi dan berdampak menguntungkan. Misalnya, karena merasa tertinggal, seseorang memotivasi diri sendiri sehingga dapat berprestasi gemilang.

Dalam kajian psikologi populer, stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang dirasakan sebagai ancaman terhadap kesehatan fisik maupun psikologisnya. Karena itu, sebagian orang mendefinisikan stres sebagai tekanan, desakan, atau respon emosional. Dengan kata lain, stres merupakan keadaan tertekan di mana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuannya untuk mengatasi beban tersebut. Makanya, jika tidak ingin dirongrong stres terus menerus, kita perlu melakukan usaha-usaha untuk menguasai, mengurangi, menoleransi, dan meminimalkan tekanan-tekanan tersebut.

Lima belas abad silam, Allah ‘azza wa jalla telah memberi pencerahan. Dia yang Maha Pengasih menganjurkan manusia untuk bersabar ketika menghadapi berbagai kenyataan hidup. Kesabaran dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menghayati realitas yang terjadi, menyadari bahwa realitas itu diciptakan oleh Allah, dan kesediaan untuk menerima kenyataan yang boleh jadi tidak menyenangkan secara fisik pun psikis. Istilah ini juga dikenal sebagai kelapangdadaan (al-basith). Ketahuilah, tidak ada anjuran dari Sang Khaliq kecuali secara potensial manusia mampu melakukannya. Tidak ada anjuran untuk bersabar atau berlapangdada tanpa ada potensi untuk memiliki kelapangdadaan atau kesabaran. Karena itu, tidak ada alasan untuk stres. Mahabenar Allah dalam firman-Nya:

“Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu namamu (derajatmu)? Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah [94]: 1-5)

Tahajud sebagai Terapi

Telaah psikoneurologi menyebutkan bahwa masyarakat modern menjalankan aktivitas yang didominasi oleh keterlibatan otak kiri. Konsekuensinya adalah terbentuknya individu-individu yang mengedepankan rasionalitas seraya cenderung menihilkan keterlibatan emosionalitas dalam pelbagai aktivitas mereka. Daya analisisnya canggih, namun empatinya rendah. Retorikanya gegap-gempita, tapi penghayatannya akan masalah sunyi senyap. Sebuah fenomena yang umum sebagai hasil dari digunakannya satu sisi otak saja.

Untuk merekonstruksi masyarakat yang bertindak-tanduk demikian, dibutuhkan wahana yang mampu mengaktifkan kembali kebutuhan setiap individu untuk dapat menjadi lebih cerdas secara emosional dan spiritual. Tanda-tanda munculnya kembali rasa rindu khalayak luas akan kejernihan emosi dan kebeningan spiritual menunjukkan peningkatan belakangan ini. Hal tersebut tampak dari menjamurnya berpuluh-puluh pelatihan serta seminar tentang emosi dan spiritualitas. Juga ramai sekali diselenggarakan majelis dzikir dan doa secara massal.

Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress” yang dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values (2001) menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan di dalam hidup. Kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan atau suatu kekuatan yang lebih tinggi (The Higher Power), merasakan kedamaian, atau merasakan hubungan dengan alam semesta.

Satu anjuran yang kerap digemakan sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan adalah shalat tahajud. Hal yang menggembirakan, shalat malam ternyata bermanfaat untuk kesehatan. Khasiat ini dibuktikan melalui sebuah riset. Adalah Dr. Mohammad Soleh dalam bukunya Terapi Shalat Tahajud mengungkapkan bahwa tahajud bisa mencegah stres dan meningkatkan daya tahan tubuh manusia. Tentu bila itu semua dikerjakan secara teratur dan ikhlas. Saking utamanya shalat di sepertiga malam terakhir ini, Rasulullah SAW bersabda:

“Setan mengikat pada tengkuk tiap orang di antara kamu, ketika ia tidur, dengan tiga ikatan (simpul). Setiap simpulnya ditiupkan ucapannya, ‘Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.’ Maka apabila ia bangun dan menyebut nama Allah, terurailah satu simpul. Bila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan ketika ia shalat, maka terurailah simpul terakhir; lalu di pagi hari, dirinya menjadi segar, bersemangat dan hatinya pun terang. Jika tidak, maka di pagi hari jiwanya dililit kekalutan dan malas untuk beraktivitas.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Agaknya, benar kata orang bijak, “Take time to pray. It is the greatest power on earth.” Jadi, shalatlah tahajud dengan ikhlas jika ingin hidup tenang dan sehat. Ibnu Mubarrak berkata dalam bait syairnya, “Saat malam tiba berselimut gulita// Kala manusia lain lelap dalam tidurnya// Mereka lawan beratnya malam dengan ibadah// untuk merebak cahaya Yang Kuasa// Rasa takut kepada-Nya menerbangkan kantuk mereka// Sedang orang yang merasa aman dari murka-Nya// terbuai dalam mimpi-mimpinya.

Menjemput Rizqi Bisakah?

Dan tidak satu pun makhluk yang bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).”

(QS. Huud [11]: 6).

Setiap manusia sudah ditetapkan rezekinya masing-masing. Jangan takut tidak kebagian rezeki dari Allah. Karena sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, Allah telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk yang bernyawa. Orang yang beriman kepada Allah tentu tidak akan pernah mengeluh tentang apa yang ia peroleh. Sekalipun yang didapatkannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Karena ia yakin bahwa Allah telah menetapkan rezeki baginya.

Sekalipun rezeki itu telah ditetapkan bagi setiap makhluk yang bernyawa, manusia tidak boleh tinggal duduk diam dengan mengharap rezeki datang begitu saja. Manusia juga harus berikhtiar untuk menjemput rezeki yang telah ditetapkan Allah tersebut. Karena rezeki itu bukan seperti hujan yang turun dari langit begitu saja tanpa disertai ikhtiar. Apa yang kita tabur, tentu kelak kitapun akan menuainya. Allah Maha Pengasih. Ia tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya. Apa yang diusahakan manusia tentu ia pun akan mendapatkan imbalan yang setimpal.

Begitu pula dengan rezeki. Orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh tentu akan mendapatkan rezeki yang lebih baik daripada orang yang hanya duduk diam tanpa melakukan apa pun yang dapat mendatangkan rezeki. Perusahaan-perusahaan yang berdiri megah diawali dengan peluh. Manusia biasanya hanya melihat segala sesuatu dari luar saja. Ia tidak melihat bagaimana seorang pengusaha yang sukses mengalami jatuh-bangun sehingga mendapatkan apa yang telah ia usahakan.

Ada cerita menarik dari salah seorang penjual bubur ayam yang pernah saya temui. Pada kaca gerobaknya tertera tulisan ‘MENJEMPUT REZEKI’. Penjual bubur ayam ini tampaknya menyadari bahwa yang dilakukannya bukanlah dalam rangka mencari rezeki. Tetapi yang dilakukannya adalah menjemput rezeki yang telah ditetapkan Allah SWT baginya. Manusia tidak perlu memaksakan diri dalam mengejar rezeki-Nya. Tetapi juga bukan berarti ia tidak berusaha uintuk berikhtiar menjemput rezeki-Nya. Ikhlaskan diri dalam setiap ikhtiar yang dilakukan.

Setiap manusia memiliki cara yang berbeda-beda dalam menjemput rezeki. Tinggal bagaimana cara manusia itu sendiri untuk mengetahui potensinya dan menjemput rezeki yang telah ditetapkan untuknya. Seorang yang ahli dalam meracik makanan tentu sangat baik jika ia menjemput rezekinya dengan cara mendirikan usaha rumah makan. Seorang yang mahir dalam membuat suatu kerajinan tangan, membuat souvenir misalnya, bukan tidak mungkin ia akan menuai sukses dengan usahanya tersebut.

Orang yang merasa bahwa dirinya jauh dari rezeki adalah orang-orang yang pesimis. Keimanan mereka masih perlu dipertanyakan. Allah telah menetapkan rezeki bagi masing-masing hambanya sebelum ia keluar dari rahim ibunya. Bahkan pada saat empat bulan didalam kandungan rezeki seorang hamba sudah ditetapkan Allah SWT. Manusia tidak perlu takut akan rezeki yang telah ditetapkan Allah SWT untuknya. Sesunguhnya Allah SWT Maha Pengasih. Ia tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang berikhtiar menjemput rezekinya dengan mengaharap ridha-Nya.

Selain itu banyak cara yang bisa mengundang rezeki yang bisa dilakukan. Salah satunya dengan cara silaturrahmi. Silaturrahmi merupakan salah satu cara yang sangat mudah dilakukan tapi sangat baik manfaatnya. Semakin banyak relasi yang dimiliki maka peluang untuk memperoleh rezeki semakin terbuka lebar. Hal ini bukan berarti kita berharap menengadahkan tangan kepada orang lain untuk mau memberikan sebagian rezeki mereka kepada kita. Tapi mempermudah jalan kita untuk memperoleh masukan dari mereka yang memiliki pengalaman yang berbeda dalam usahanya masing-masing. Misal seseorang yang sedang mencari pekerjaan mendapatkan kemudahan tentang informasi lowongan pekerjaan karena memiliki banyak kenalan yang bisa membantunya.

Setiap manusia pasti mempunyai keinginan yang terbaik bagi dirinya. Namun keinginan tersebut harus disertai dengan ikhtiar. Dengan adanya ikhtiar, maka Allah SWT akan memudahkan untuk mencapainya. Sebaliknya, kemalasan akan membawa manusia kepada keterbelakangan. Malas bukan merupakan alasan untuk menghindar dari suatu kewajiban. Setiap orang diberikan pilihan, tinggal bagaimana ia memilih yang terbaik bagi kehidupannya. Jika yang dipilih bisa membawa dirinya pada kemelaratan, itu merupakan pilihannya. Tapi manusia yang memiliki akal pikiran tentu akan memilih sesuatu yang dapat merubah hidupnya menjadi lebih baik.

Milikilah rasa optimis, karena optimisme akan mempermudah pencapaian cita-cita dan keinginan. Orang yang optimis tidak pernah mengenal kata putus asa. Karena Allah SWT melarang hambaNya sikap berputus asa (Q.S. Yusuf [12]: 87). Setiap kali ia ditimpa cobaan ia selalu mengevaluasi diri (muhasabah) agar bisa lebih baik lagi di masa mendatang. Orang yang optimis tidak pernah takut akan bagian rezeki yang diperolehnya. Ia percaya bahwa Allah telah menetapkan rezeki baginya. Ia pun yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang berikhtiar untuk menjemput rezeki dari-Nya.

Ikhtiar juga perlu diiringi dengan doa. Dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Memohon kepada Allah SWT agar dimudahkan dalam menjemput rezeki dari-Nya. Namun, sebagian manusia enggan berdoa. Ironisnya mereka berharap memperoleh rezeki yang banyak dari-Nya, padahal Allah berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran” (Q.S. Al Baqarah [2]: 186).

Selain itu, seorang hamba sudah seharusnya untuk menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya agar doa yang kita panjatkan mendapat perhatian dari-Nya. Gunakan waktu-waktu mustajabnya doa dalam berdoa kepada Allah SWT. Seperti pada waktu sepertiga malam terakhir, diantara iqamat dan adzan, dan pada saat sujud dalam sholat. Adukan apa yang menjadi permasalahan hanya kepada Allah SWT. Agungkan Dia dalam setiap doa yang dipanjatkan. Bermohonlah kepada-Nya dengan penuh rasa harap dan cemas (Q.S. Al-Anbiyaa’ [21] : 90)

Manfaatkan sebaik-baiknya apa yang telah dititipkan Allah SWT kepada kita. Jika Dia telah memberikan rezeki kepada hamba-Nya, tunaikanlah kewajiban untuk mengeluarkan sebagiannya bagi saudara-saudara kita yang membutuhkan. Jangan sampai kufur terhadap nikmat-Nya yang telah dikaruniakan. Bersihkanlah harta yang dititipkan itu dengan cara mengeluarkan zakat. Bersedekah kepada orang lain tidak akan mengurangi bagian dari rezeki yang diperoleh. Tetapi justru bisa menjadi tabungan kelak, baik di dunia maupun di akhirat. (Q.S. Al-An’aam [6] : 160).

Rezeki yang telah dititipkan sebaiknya disikapi dengan bijak dalam pengelolaannya. Harta yang hanya disimpan tidak akan pernah beranak pinak menjadi banyak. Untuk itu perlu keahlian dalam mengaturnya. Mempergunakannya dengan memprioritaskan kebutuhan yang paling utama. Orang yang tidak punya pengaturan yang baik terhadap harta yang dimiliki, maka ia akan selalu merasa kurang dengan apa yang telah diperolehnya walaupun ia memiliki harta yang banyak. Tetapi bagi yang mengerti bagaimana mengelola rezeki dengan baik maka ia akan selau merasa cukup dengan apa yang telah diperolehnya. Bahkan mungkin ia merasa lebih.

Yakinlah bahwa bagian rezeki yang telah ditetapkan Allah SWT kepada hambanya tidak akan berkurang sedikitpun. Jemputlah rezeki yang telah ditetapkan Allah SWT dengan hati yang ikhlas. Jangan pernah mengeluh dari apa yang telah diberikan Allah SWT. Berusaha untuk senantiasa merasa cukup dan tetap terus berikhtiar untuk meraih ridhanya.

Mengaktifkan Indera ke enam

an barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya.

(QS. Al-Israa’ [17]: 72)

Mendengar kata ‘indera keenam’ pasti yang terbayang dalam benak kita adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan tinggi, sakti mandraguna, bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat, dan bisa merasakan apa yang orang lain tidak rasakan. Manusia sebenarnya memiliki enam indera. Namun yang kita tahu selama ini hanyalah lima indera saja atau yang biasa disebut ‘panca indera’. Fungsi dan mekanisme kerja indera keenam dan panca indera sangat berbeda.

Panca indera terdiri dari mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Mata, digunakan untuk melihat. Hanya dapat melihat sesuatu apabila ada cahaya. Secara fisika, benda dapat kita lihat karena benda tersebut memantulkan cahaya ke mata kita. Jika tidak ada pantulan cahaya, meskipun di depan kita ada suatu benda, benda tersebut tidak akan bisa kita lihat. Misalnya dalam kegelapan, kita bahkan tidak akan mampu melihat tangan kita sendiri. Maka bersyukurlah kepada Allah SWT karena diberikannya sinar atau cahaya.

Indera penglihatan ini memiliki keterbatasan. Ia hanya mampu melihat jika ada pantulan cahaya pada frekuensi 10 pangkat 14 Hz. Mata tidak bisa melihat benda yang terlalu jauh. Tidak bisa melihat benda yang terlampau kecil seperti sel-sel ataupun bakteri. Tidak bisa melihat benda yang ada dibalik tembok. Bahkan mata kita sering ‘tertipu’ dengan berbagai kejadian. Misalnya pada siang hari yang terik, dari kejauhan terlihat air yang mengeluarkan uap di atas jalan beraspal. Namun apabila kita mendekat ternyata yang kita lihat tidak benar adanya. Ini yang kita sebut fatamorgana. Tipuan lain adalah pembiasan benda lurus dalam air, sehingga benda tersebut kelihatan bengkok. Bintang yang kita lihat di langit sangat kecil ternyata sungguh sangat besar, dan lebih besar dari bumi yang kita tempati.

Penglihatan oleh mata kita sangat kondisional, seringkali tidak ‘menceritakan’ keadaan yang sesungguhnya pada otak kita. Bukti-bukti di atas memberikan gambaran bahwa indera mata kita mengalami distorsi alias penyimpangan yang sangat besar. Namun, mata inilah yang kita gunakan untuk melihat dan memahami dunia nyata yang ada di luar diri kita. Matapun tidak bisa melihat apa yang ada dalam diri kita dan yang ada dalam diri orang lain. Apa yang orang lain pikirkan dan rasakan tidak bisa dilihat oleh mata. Mata sungguh sangat terbatas.

Namun keterbatasan ini harus pula kita syukuri. Bayangkan saja apabila mata kita bisa melihat benda yang ukurannya mikroskopis seperti bakteri ataupun jamur. Maka kita tidak akan bisa makan dengan tenang dan nikmat, sebab semua makanan yang kita makan mengandung bakteri dan jamur yang bentuknya sangat menyeramkan. Satu menit saja kita menyimpan makanan dalam keadaan terbuka maka jamur dan bakteri sudah ada pada makanan tersebut. Atau seandainya mata kita tidak terbatas, maka kita akan bisa melihat setan-setan dan jin-jin yang berkeliaran di sekitar kita, dapat melihat orang di balik tembok, dapat melihat proses pencernaan yang terjadi dalam tubuh kita sendiri sehingga menjadi kotoran. Sungguh kehidupan kita akan sangat menyeramkan.

Indera selanjutnya adalah telinga. Ia merupakan organ tubuh yang digunakan untuk mendengarkan suara. Telinga hanya bisa mendengar suara pada frekuensi 20 s/d 20 ribu Hz. Suara yang memiliki frekuensi tersebut akan menggetarkan gendang telinga kita, untuk kemudian diteruskan ke otak oleh saraf-saraf pendengar. Hasil dari interpretasi otak, suara dapat ditandai dan dikerahui. Apabila suara getarannya dibawah 20 Hz maka suara tidak bisa didengar, dan apabila melebihi 20 ribu Hz maka suarapun tidak akan mampu didengar dan bahkan gendang telinga akan pecah alias rusak.

Pada intinya telinga kitapun memiliki keterbatasan layaknya mata. Allah SWT memberikan batasan pendengaran pada kita sebagai karunia dan rahmat yang harus pula kita syukuri. Bayangkan saja jika pendengaran kita tidak dibatasi, maka kita akan bisa mendengarkan suara-suara binatang malam, juga kita bisa mendengarkan suara jin sedang bercakap-cakap, dan lain sebagainya, maka hidup kitapun tidak akan tenang.

Indera yang ketiga adalah hidung. Indera ini digunakan untuk merasakan bau. Di dalam rongga hidung terdapat saraf-saraf yang akan menerima rangsangan bau yang masuk. Selanjutnya saraf menghantarkannya ke otak untuk diterjemahkan. Sebagaimana mata dan telinga, hidung juga memiliki keterbatasan kemampuan. Misalnya, apabila hidung kita menerima aroma makanan yang terlalu pedas maka kita akan bersin-bersin. Apabila hidung sering merasakan bau busuk maka kepekaannya terhadap bau busuk akan hilang. Misalnya kita tinggal di lingkungan yang banyak sampah berbau busuk. Awalnya kita amat terganggu dan tidak tahan dengan bau tersebut, namun lama kelamaan kita tidak akan merasakan bau busuk tersebut.

Indera keempat dan kelima adalah indera pengecap dan peraba, yakni lidah dan kulit. Lidah digunakan untuk mengecap rasa, sedangkan kulit untuk merasakan kasar, halus, panas, dingin, dan lain-lain. Kedua indera inipun memiliki keterbatasan dalam memahami fakta yang ada di luar dirinya. Kalau kulit kita dibiasakan dengan benda kasar terus dalam kurun waktu yang lama, maka kepekaan kulit kita untuk memahami benda yang halus juga akan berkurang. Begitu juga dengan kemampuan lidah kita. Dalam kondisi tertentu, misalnya kita terbiasa dengan makanan pedas, maka lidah tidak akan merasakan enaknya makanan yang tidak terasa pedas.

Dengan berbagai penjelasan di atas tidak diragukan lagi bahwa lima indera yang kita miliki semuanya serba terbatas, kondisional, dan seringkali tertipu oleh hal-hal yang sebenarnya jelas namun terinterpretasi secara tidak jelas. Sebenarnya manusia memiliki indera yang lebih hebat lagi dibandingkan dengan panca indera. Itulah indera keenam. Setiap orang memiliki indera keenam yang bisa berfungsi melihat, mendengar, merasakan, dan membau sekaligus. Indera tersebut yakni hati kita. Akan tetapi beberapa potensi fungsi hati di atas tidak pernah mampu kita maksimalkan. Kenapa? karena memang kita tidak pernah melatihnya.

Manusia terlahir sudah memiliki indera keenam yang berfungsi dengan baik. Karena itu seorang bayi dapat melihat ‘dunia dalamnya’. Ia menangis dan tertawa sendiri karena melihat ada ‘dunia lain’. Seorang anak pada masa balitanya bisa melihat dunia jin misalnya. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu, kemampuan indera keenam tersebut menurun drastis. Sebabnya adalah orang tua kita tidak melatih indera keenam kita. Mereka lebih melatih panca indera kita untuk memahami dunia luar. Orangtua kita sangat risau apabila kita tidak bisa menggunakan panca indera kita dengan baik. Namun sebenarnya kemampuan penginderaan hati kita jauh lebih dahsyat.

Hati kita bisa merasakan, melihat, dan mendengar apa yang tidak dirasakan, dilihat, dan didengar oleh panca indera. Kita bisa ‘kenalan’ dengan Allah SWT hanya dengan cara mengaktifkan fungsi hati kita dengan baik. Kita bisa melihat Allah hanya dengan hati kita, bukan dengan mata. Kita bisa merasakan adanya Allah bukan dengan kulit kita, namun dengan hati. Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam Alqur’an akan pentingnya menghidupkan hati, dalam Alqur’an surat Al-Israa’ [17] ayat 72 disebutkan:

“dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya”.

Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan pentingnya mengedepankan fungsi hati sebagai raja bagi kehidupan. Apabila kita menjadikan akal kita sebagai raja dan hati menjadi pengawalnya, maka tunggulah kehancuran hidup kita. Hati kita akan tertutup dengan bercak hitam sehingga kita tidak mampu mengenal Allah. Akal menjadi raja untuk diri kita karena kita membiasakan diri menilai kebahagiaan hidup hanya melalui apa yang dirasakan di dunia ini saja. Yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh lidah dan kulit, semuanya diinterpretasikan di otak (akal). Sehingga kitapun lebih memercayai rsio, logika dan nalar kita untuk mengukur kebahagiaan hidup. Pola ini akan membawa kita pada pola hidup yang mengandalkan akal dan mengesampingkan hati nurani. Banyak orang yang pintar dan cerdas dalam menguasai suatu ilmu namun kering akan ruhani ketuhanan. Mereka tidak mampu melihat sesuatu yang metafisik, sesuatu dibalik segala ciptaan yang tak terbatas. Mereka akhirnya juga tidak mampu mereguk nikmatnya ibadah dan tidak mampu merasakan kehadiran Allah SWT.

Berbeda halnya apabila hati kita yang menjadi raja bagi diri kita. Kita akan bisa merasakan kehadiran Allah SWT dalam hidup kita. Dalam kehidupan sosial, kita juga bisa merasakan apa yang orang lain rasakan (peka). Oleh karena itu jadikanlah hati sebagai raja bagi diri kita.

Orang yang tidak melatih hatinya saat hidup di dunia – sehingga hatinya tertutup – maka mereka akan dibangkitkan oleh Allah SWT di akhirat nanti dalam keadaan buta. Dalam surat Thahaa [20] ayat 124 disebutkan:

“Barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.

Lalu, bagaimanakah cara melatih hati kita untuk bisa ‘melihat’ Allah SWT? Mari kita menuntut ilmu demi mengharap ridha Allah SWT, bekerja karena Allah SWT, sholat, puasa, bersedekah, dzikir, do’a, dan semua bentuk ibadah adalah karena Allah SWT, dengan hati yang tulus dan ikhlas. Insya Allah kita akan bisa melihat Allah SWT di dunia ini dan juga di akhirat kelak.

Rahasia Solat

Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45)

Ayat di atas begitu eksplisit menjelaskan adanya keterkaitan antara shalat dan perilaku yang ditunjukkan oleh seorang muslim. Pengaruh shalat memang tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menggeneralisasi dan menghukumi kepribadian semua orang. Tetapi, paling tidak dalam ayat ini Allah menjelaskan sikap seorang manusia dari sudut pandang karakter dan watak/ tabiat yang dibawanya. Shalat itu membersihkan jiwa, menyucikannya, mengkondisikan seorang hamba untuk munajat kepada Allah Swt di dunia dan taqarrub dengan-Nya di akhirat. (Jabir Al-Jazairi, 2004: 298).

Shalat sebagai salah satu bagian penting ibadah dalam Islam sebagaimana bangunan ibadah yang lain juga memiliki banyak keistimewaan. Ia tidak hanya memiliki hikmah spesifik dalam setiap gerakan dan rukunnya, namun secara umum shalat juga memiliki pengaruh drastis terhadap perkembangan kepribadian seorang muslim. Tentu saja hal itu tidak serta merta dan langsung kita dapatkan dengan instan dalam pelaksanaan shalat. Manfaatnya tanpa terasa dan secara gradual akan masuk dalam diri muslim yang taat melaksanakannya.

Shalat merupakan media komunikasi antara sang Khlalik dan seorang hamba. Media komunikasi ini sekaligus sebagai media untuk senantiasa mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat. Selain itu, shalat bisa menjadi media untuk mengungkapkan apapun yang dirasakan seorang hamba. Dalam psikologi dikenal istilah katarsis, secara sederhana berarti mencurahkan segala apa yang terpendam dalam diri, positif maupun negatif. Maka, shalat bisa menjadi media katarsis yang akan membuat seseorang menjadi tentram hatinya.

Keterkaitan Shalat dan Akhlak

Shalat sebagai tiang agama, penyangga bangunan megah lagi perkasa. Ia sebagai cahaya terang keyakinan, obat pelipur ragam penyakit di dalam dada dan pengendali segala problem yang membelenggu langkah-langkah kehidupan manusia. Oleh karenanya, shalat dapat mencegah perilaku keji dan munkar, menjauhkan hawa nafsu yang condong pada kejelekan untuk mencampakkannya sejauh mungkin (Asykuri, tt:137)

Ibadah Shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah bangunan megah indah yang memiliki sejuta ruang yang menampung semua inspirasi dan aspirasi serta ekspresi positif seseorang untuk berperilaku baik, karena perbuatan dan perkataan yang terkandung dalam shalat banyak mengandung hikmah, yang diantaranya menuntut kepada mushalli untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.

Sayangnya shalat sering dipandang hanya dalam bentuk formal ritual, mulai dari takbir, ruku’, sujud, dan salam. Sebuah kombinasi gerakan fisik yang terkait dengan tatanan fikih, tanpa ada kemuan yang mendalam atau keinginan untuk memahami hakikat yang terkandung di dalam simbol-simbol shalat. Berikut ini adalah nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam proses menjalankan ibadah shalat.

Pertama, latihan kedisiplinan. Waktu pelaksanaan shalat sudah ditentukan sehingga kita tidak boleh seenaknya mengganti, memajukan ataupun mengundurkan waktu pelaksanaannya, yang akan mengakibatkan batalnya shalat kita. Hal ini melatih kita untuk berdisiplin dan sekaligus menghargai waktu. Dengan senantiasa menjaga keteraturan ibadah dengan sunguh-sungguh, manusia akan terlatih untuk berdisiplin terhadap waktu (Toto Tasmara, 2001: 81). Dari segi banyaknya aturan dalam shalat seperti syarat sahnya, tata cara pelaksanaannya maupun hal-hal yang dilarang ketika shalat, batasan-batasan ini juga melatih kedisiplinan manusia untuk taat pada peraturan, tidak “semau gue” ataupun menuruti keinginan pribadi semata.

Kedua, latihan kebersihan, sebelum shalat, seseorang disyaratkan untuk mensycikan dirinya terlebih dahulu, yaitu dengan berwudlu atau bertayammum. Hal ini mengandung pengertian bahwa shalat hanya boleh dikerjakan oleh orang yang suci dari segala bentuk najis dan kotoran sehingga kita diharapkan selalu berlaku bersih dan suci. Di sini, kebersihan yang dituntut bukanlah secara fisik semata, akan tetapi meliputi aspek non-fisik sehingga diharapkan orang yang terbiasa melakukan shalat akan bersih secara lahir maupun batin.

Ketiga, latihan konsentrasi. Shalat melibatkan aktivitas lisan, badan, dan pikiran secara bersamaan dalam rangka menghadap ilahi. Ketika lisan mengucapkan Allahu Akbar, secara serentak tangan diangkat ke atas sebagai lambang memuliakan dan membesarkan, dan bersamaan dengan itu pula di dalam pikiran diniatkan akan shalat. Pada saat itu, semua hubungan diputuskan dengan dunia luar sendiri. Semua hal dipandang tidak ada kecuali hanya dirinya dan Allah, yang sedang disembah. Pemusatan seperti ini, yang dikerjakan secara rutin sehari lima sekali, melatih kemampuan konsentrasi pada manusia. Konsentrasi, dalam bahasa Arab disebut dengan khusyu’, dituntut untuk dapat dilakukan oleh pelaku shalat. Kekhusyukan ini sering disamakan dengan proses meditasi. Meditasi yang sering dilakukan oleh manusia dipercaya dapat meningkatkan kemampuan konsentrasi dan mengurangi kecemasan.

Keempat, latihan sugesti kebaikan. Bacaan-bacaan di dalam shalat adalah kata-kata baik yang banyak mengandung pujian sekaligus doa kepada Allah. Memuji Allah artinya mengakui kelemahan kita sebagai manusia, sehingga melatih kita untuk senantiasa menjadi orang yang rendah hati, dan tidak sombong. Berdoa, selain bermakna nilai kerendahan hati, sekaligus juga dapat menumbuhkan sikap optimis dalam kehidupan. Ditinjau dari teori hypnosis yang menjadi landasan dari salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata (bacaan shalat) merupakan suatu proses auto sugesti, yang membuat si pelaku selalu berusaha mewujudkan apa yang telah diucapkannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima, latihan kebersamaan. Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan untuk melakukannya secara berjamaah (bersama orang lain). Dari sisi pahala, berdasarkan hadits nabi SAW jauh lebih besar bila dibandingkan dengan shalat sendiri-sendiri. Dari sisi psikologis, shalat berjamaah bisa memberikan aspek terapi yang sangat hebat manfaatnya, baik bersifat preventif maupun kuratif. Dengan shalat berjamaah, seseorang dapat menghindarkan diri dari gangguan kejiwaan seperti gejala keterasingan diri. Dengan shalat berjamaah, seseorang merasa adanya kebersamaan dalam hal nasib, kedudukan, rasa derita dan senang. Tidak ada lagi perbedaan antar individu berdasarkan pangkat, kedudukan, jabatan, dan lain-lain di dalam pelaksanaan shalat berjamaah.

Gambaran Kehidupan

Dalam gerakan shalat, kita bisa menemukan isyarat dari simbol-simbol yang terkandung dalam shalat, yaitu filsafat gerak. Seorang pribadi muslim harus bergerak, harus dinamis, karena tidak selamanya hidup ini akan qiyam (berdiri diam), perlambang kejayaan (dewasa). Suatu saat kita kita harus ruku’ (umur setengah baya), kemudian bersujud (umur pun mulai uzur). Sebaliknya, ada shalat tanpa gerak, dia berdiri kemudian salam. Itulah shalat mayit. Ini seakan memberikan isyarat bahwa pribadi yang statis, tidak ada kreativitas gerak, sesungguhnya sedang berada dalam kematian. (al-Muthawi’, 2001: 87). “Static condition means death,” kata Muhammad Iqbal.

Membudayakan Shalat Aktual

Sesungguhnya, shalat yang kita dirikan itu pada hakikatnya merupakan samudera mutiara yang mencerdaskan ruhani. Shalat menunjukkan sikap batiniyah untuk mendapatkan kekuatan, kepercayaan diri, serta keberanian untuk tegak berdiri menapaki kehidupan dunia nyata melalui perilaku yang jelas, terarah, dan memberikan pengaruh pada lingkungan. Bagi orang yang memahami makna sholat, sesungguhnya dia akan mengejar waktu amanat tersebut, karena dengan shalat, dia mempunyai kekuatan untuk hidup melaksanakan amanat Allah.

Sholat bukan hanya sekedar ritual formal, melainkan ada muatan aktual, yaitu bukti nyata yang dirasakan. Alangkah naifnya seseorang yang shalat, tetapi bibirnya penuh ucapan kebohongan. Alangkah tak berharganya makna shalat apabila tidak memberikan imbas untuk menjadi manusia yang bermanfaat dan menjauhi yang mungkar. Bila kita memberikan santunan kepada orang miskin, memperhatikan masa depan anak yatim dan derajat kaum lemah, sesungguhnya kita telah melengkapi sholat kita dari bentuk yang formal menjadi aktual, dari sikap perihatin menjadi perilaku. Inilah yang dimaksudkan dengan sholat kaffah, . Muatan moral yang dipresentasikan oleh shalat membekas di kalbu dan membentuk kecerdasan rohani yang sangat tajam yang kemudian melahirkan amal saleh, mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar.


Sudah Dekatkah Kiamat?

Pertanyaan di atas patut kita renungkan bersama mengingat banyak terjadi fenomena alam maupun fenomena sosial tentang tanda-tanda kiamat yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. Fenomena alam dengan berbagai bencana yang ada, baik itu murni kehendak Allah ataupun yang disebabkan oleh tangan manusia, menunjukan bahwa alam ini sudah berusia semakin tua. Adapun fenomena sosial, saat ini sudah banyak tanda-tanda sebagaimana diprediksi oleh baginda Rasulullah saw dalam haditsnya. Tulisan berikut ini akan memaparkan beberapa hadits Nabi saw tentang tanda-tanda kiamat, dan sedikit mengupas tentang dugaan seseorang bernama Sai Baba sebagai Dajjal akhir zaman sebagaimana ditulis oleh Abu Fatiah dalam bukunya “Dajjal sudah muncul dari Khurasan.

Berikut ini beberapa dalil tentang tanda-tanda akhir zaman. Hadits Rasulullah yang berbunyi :”Sesungguhnya diantara tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat itu ada tiga, salah satunya ialah akan dituntutnya ilmu dari al-Ashogir (orang-orang kecil)”. Orang kecil maksudnya adalah orang yang berkata menurut pendapatnya sendiri saja (tanpa mengacu pada Kitabullah dan sunnah Rasulullah).

Hadits Rasulullah yang berbunyi:”Pada angkatan belakangan umatku, akan ada para lelaki yang naik pelana kuda yang menyerupai pelana kuda, lantas turun di pintu-pintu masjid. Wanita-wanita mereka berpakaian tapi telanjang, rambut kepala mereka bagaikan kelasa unta yang tinggi. Laknatlah mereka, karena mereka adalah wanita-wanita terlaknat. Kalau di belakang (sesudahmu) mu nanti masih ada umat-umat lain, niscaya wanita-wanita kamu akan melayani wanita-wanita mereka, sebagimana dahulu kamu dilayani oleh wanita-wanita sebelum kamu.

Hadist di atas bukan sekedar kabar biasa, ia merupakan peringatan Rasulullah agar para suami tidak mudah memberikan izin kepada istri mereka untuk keluar rumah untuk sebuah kepentingan yang sepele. Juga merupakan peringatan agar mereka menjauhi tradisi jahiliah yang membebaskan wanita untuk berbaur dengan laki-laki

Hadits Rasulullah yang berbunyi:”Ada tiga perkara yang apabila terjadi, maka tidak bermanfaat iman seseorang yang belum beriman sebelum itu atau belum mengusahakan kebaikan dalam imannya, yaitu terbitnya matahari dari arah barat, (munculnya) Dajjal, dan keluarnya binatang (binatang melata yang bisa bicara) dari dalam bumi”. Terbitnya matahari dari arah barat, ada yang mentakwilkan dengan ungkapan, bahwa di akhir zaman nanti seluruh manusia akan berkiblat ke Barat (Eropa dan Amerika), dan itu merupakan pujian terhadap kemajuan budaya dan tingkat kehidupan bangsa Barat. Tapi menurut Abu Fatiah, pendapat ini lemah. Ada lagi yang memaknai Terbitnya matahari dari arah Barat dengan menghubungkannya dengan ilmu alam dimana suatu saat nanti bumi ini tidak lagi berputar sebagaimana biasanya namun ia akan berbalik arah, hingga matahari akan tampak terbit dari Barat. Pendapat ini juga kurang berdasar karena logikanya ketika bumi tidak berputar seperti biasa maka kehidupan ini akan hancur karena semua yang ada diatas bumi berantakan, bagaimana mungkin akan diketahui arah terbit matahari. Pada saat terjadinya peristiwa terbitnya matahari dari arah barat, manusia masih tetap seperti sedia kala. Kaum muslimin masih melaksanakan ibadah dan mereka masih hidup untuk beberapa waktu lamanya.

Nabi saw dalam kesempatan lain menceritakan bahwa salah satu tanda dekatnya kiamat adalah banyaknya fitnah besar yang menyebabkan tercampurnya antara hak dan batil. Di saat itu iman manusia mudah tergoncang. Bahkan karena beratnya fitnah yang dihadapi manusia, ada di antara mereka yang di waktu pagi dalam keadaan beriman, di sore hari telah menjadi kufur. Di waktu sore mereka dalam keadaan beriman, dan ketika masuk pagi hari mereka telah menjadi kufur.

Salah satu tanda akhir zaman yang akhir-akhir ini cukup menyedot perhatian adalah kehadiran seorang bernama Sai Baba, dia lahir dan tinggal di Desa Nilayam Puthaparti, wilayah timur Khurasan, tepatnya India Selatan. Benarkah dia Dajjal sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya? Ada dua hadits yang menyebutkan hal ini; pertama, hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar as-Shiddiq, ia berkata: Rasulullah saw bersabda kepada kami, Dajjal akan keluar dari bumi ini dibagian timur bernama Khurasan (Jamiu at Tirmidzi). Kedua, sabda Rasulullah saw, Ketahuilah, bahwa dia berada di laut Syam atau laut Yaman. Oh tidak, bahkan ia akan datang dari arah timur. Apa itu dari arah timur… dan Beliau berisyarat dengan tangannya menunjuk ke arah timur (Shahih Muslim).

Hal yang cukup mengejutkan, sudah ribuan muslimin yang terjebak pada fitnah lelaki yang tertuduh sebagai Dajjal ini. Dan sudah lebih dari puluhan juta manusia dari berbagai suku bangsa dan agama yang masuk dalam tipu dayanya. Laki-laki ini bagai medan magnet raksasa yang mampu menyedot perhatian seluruh manusia dari berbagai negara. Mereka datang untuk memohon berkah dan karamah darinya. Dan lebih parah lagi, mereka yang datang menemuinya semakin yakin bahwa tokoh tersebut adalah Tuhan yang dijanjikan muncul di akhir zaman. Dialah Begawan Shri Satya Sai Baba Sang Avatar, seorang lelaki kribo yang tinggal di wilayah timur Khurasan, tepatnya India Selatan. Desa Nilayam Putthaparti. Laki-laki itu memiliki kemampuan menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang lumpuh dan buta, bahkan mampu menurunkan hujan dan mengeluarkan tepung dari tangannya. Ia juga mampu berjalan melintasi belahan bumi dalam sekejap, menciptakan patung emas, merubah besi menjadi emas, dan banyak lagi berbagai fitnah yang ditunjukkan oleh Sai Baba kepada ribuan orang - bahkan - jutaan yang datang dari berbagai suku bangsa dan agama. Maka sudah saatnya bagi setiap muslim untuk mengetahui masalah ini, agar dirinya tidak menjadi korban berikutnya dari fitnah Sai Baba ini.

Beberapa korelasi dan keserupaan antara Sai Baba sang Avatar dan sifat-sifat Dajjal yang disebutkan oleh Rasulullah saw; Dajjal memiliki kemampuan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat, dan kecepatannya seperti badai atau secepat awan yang ditiup angin kencang, Sai Baba memiliki kemampuan berjalan menjelajahi bumi dalam perhitungan kejapan mata. Dajjal memiliki banyak pengikut bahkan di akhir zaman nanti banyak manusia yang berangan-angan untuk berjumpa dengan Dajjal, Sai Baba memiliki pengikut yang jumlahnya puluhan juta manusia. Dajjal mampu menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang sakit, Sai Baba memiliki kemampuan menghidupkan orang mati dan menyembuhkan para penderita kanker. Dajjal bisa menurunkan hujan, Sai Baba juga mampu menurunkan hujan dan mendatangkan air untuk penduduk Prasanti Nilayam. Dajjal bisa berpindah raga dan tempat, dari satu bentuk ke bentuk lainnya, Sai Baba bisa berpindah dari satu jasad ke jasad yang lain yang merupakan bentuk reinkarnasi dirinya. Dajjal akan mengaku sebagai Tuhan, Sai Baba mengklaim bahwa dirinya adalah Tuhan penguasa alam semesta. Dajjal datang dan bersama ada gunung roti dan sungai air, Sai Baba memiliki kemampuan mengeluarkan vibhuti (tepung suci) di udara dari tangannya. Dajjal akan muncul dan mengaku sebagai Nabi, Sai Baba mengaku akan menjelma sebagai al-Masih Isa setelah tahun 2020. Dajjal akan muncul lalu mengaku sebagai orang bijak, sehingga banyak sekali orang yang tertarik untuk mengikutinya, Sai Baba mengaku sebagai orang bijak yang membawa misi kebajikan untuk jagat raya. Dajjal pimpinan orang Yahudi, Sai Baba memiliki misi menyebarkan teologi zionis.

Pada akhirnya, kita telah mengetahui betapa besarnya fitnah dan subhat yang ditimbulkan oleh Sai Baba ini. Lalu apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi fitnahnya? Bagaimana jika tuduhan bahwa Sai Baba ini kelak terbukti sebagai Dajjal yang dijanjikan, dan bagaimana jika ia hanya salah satu dari 30 Dajjal pendusta penebar subhat?

Jika benar bahwa Begawan Sai Baba adalah Dajjal yang dimaksud, maka antisipasi yang paling dini adalah hendaknya setiap muslim tidak pernah melupakan doa perlindungan dari fitnah Dajjal, juga membaca sepuluh awal dan sepuluh akhir surat al Kahfi, setidaknya pada setiap malam Jum’at. Selebihnya, jangan sekali-kali berfikir untuk mendatanginya, meski sebatas penasaran dan sekedar ingin tahu, apalagi untuk mencari solusi darinya, na’udzubillah. Sudah banyak kyai dan ulama India yang melakukan hal itu. Mereka datang untuk sekedar ingin tahu atau klarifikasi atas semua isu tersebut. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, tiba-tiba saja mereka takluk dan mengakui kebenaran ajaran yang dibawa oleh Sai Baba. Umat Islam di Nilayam Putthaparti yang dibangunkan masjid oleh Sai Baba-pun tak kuasa untuk tidak mengakui kebenaran dan kebesarannya, bahkan mereka berani memberikan pujian bahwa Sai Baba lah yang membuat keimanan mereka bertambah dan pengetahuan mereka tentang Islam dan Alquran menjadi lebih baik.

Sholat Buah Isro` Mi`raj

Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambanya pada waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Al Aqsha, yang telah Kami berkahi sekitarnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian ayat Kami (QS. Al Isra’ [17] : 1)

Setiap memasuki bulan Rajab, umat Islam antusias memperingati perjalanan monumental Rasulullah dari Mekkah ke Masjid al-Aqsa di Palestina (isra`) dan naiknya beliau ke langit (mi’raj) dalam rangka menerima risalah shalat lima waktu yang dilaksanakan umat Islam saat ini.

Kesemarakan dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj terserbut sepertinya melupakan kontroversi perihal bagaimana Nabi Muhammad melakukannya; apakah dengan jasad atau hanya ruhnya saja? Memang persoalan ini tidak banyak diungkap secara lugas dan jelas. Biasanya para penceramah hanya menyinggung persoalan apakah perjalanan dengan jasad atau ruh itu sambil lalu. Itupun biasanya hanya merupakan penegasan bahwa perjalanan itu dengan jasad. Dalam arti, Nabi Muhammad-ketika melakukan isra’ dan mi’raj-benar-benar melakukannya dengan jasad (badan), karena hanya dengan itu, kedua peristiwa tersebut mempunyai makna yang luar biasa bagi orang yang beriman. Berbeda dengan jika hanya dipahami dengan ruh saja di mana nilainya tidak lebih dari sebuah mimpi.

Di kalangan ulama tafsir sendiri terjadi silang pendapat perihal itu yang disebabkan perbedaan cara pandangan terhadap kata, bi `abdihi dalam surah al-Isra` ayat 1. Ulama yang mendukung perjalanan dengan jasad (badan) berpendapat bahwa kata `abd (hamba) tidak bisa ditafsirkan dengan lain selain dengan sesuatu yang terdiri dari badan dan ruh. Oleh sebab itu, bagi penganut faham ini, penafsiran kata ‘abd dengan menambah ruh secara tersirat di depannya, bertentangan dengan sifat i`jaz (sifat keluarbiasaan) yang ingin ditunjukkan Allah melalui momentun itu. Dan, menurutnya, jika perjalanan hanya dengan ruh saja, tentunya kafir Quraisy tidak melakukan penentangan yang luar biasa, karena bagi mereka hal itu merupakan suatu yang mustahil.

Sedangkan bagi golongan yang mengatakan dengan ruh saja (bi ruh ‘abdihi) tidak mungkin perjalanan itu dilakukan dengan jasad, karena ketidakmungkinan tadi. Dan mengenai anggapan pihak pertama yang mengatakan jika itu dilakukan dengan ruh akan mengurangi sifat i`jaz bukan suatu yang sangat mendasar, karena persoalan utamanya adalah iman kepada ajaran yang dibawa Nabi. Jadi persoalan utamanya adalah iman kepada apa yang dibawa Nabi bukan masalah bagaimana kedua momentum itu terlaksana. Sebab al-Quran tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai hal itu. Prof. Ahmad Baiquni, MSc., PhD (alm) sependapat dengan aliran kedua itu dan dalam hal ini sepertinya ia terinspirasi oleh buku Near-Dath Eexperience (Hidup Sesudah Mati) yang menceritakan perihal pengalaman orang-orang yang pernah mengalami mati suri.

Terlepas dari persoalan kontroversi perihal bagaimana Nabi ber-Isra’ dan ber-Mi`raj, yang jelas hal itu bukan merupakan persoalan yang sangat esensial, karena persoalan sesungguhnya dalam kedua momen besar itu adalah perintah untuk menjalankan shalat. Semestinya, setiap kali umat Islam merayakan kedua peristiwa besar itu, mengevaluasi apakah shalat-shalat sebelumnya telah memenuhi tuntutan Nabi Muhammad.

Pada masa sekarang, fenomena keagamaan memang semarak yang ditandai dengan antusiasmenya masyarakat dalam mengikuti acara-acara yang berkaitan dengan agama, mulai dari tahajud bersama, zikir bersama, dan lainnya. Hanya saja, pada saat fenomena keagamaan itu meningkat, ada fenomena lain yang tidak kalah semaraknya, seperti semaraknya perjudian dan bentuk-bentuk kemasiatan lainnya. Semestinya, ketika fenomena keagamaan tersebut menggeliat menurunkan fenomena kemaksiatan tersebut. Dan, sesuai dengan fakta bahwa Indonesia dihuni oleh umat Islam sebagai penduduk mayoritas, pelaku-pelaku kemaksiatan tersebut mayoritasnya sudah pasti orang Islam juga. Adakah fenomena itu sejalan dengan keyakinan masyarakat saat ini bahwa manusia berkualitas saleh maka setan penggodanyapun akan setara dengannya, sehingga manakala fenomena keagamaan meningkat tandingannyapun akan semakin meningkat juga.

Memperhatikan hal itu, apakah karena pengaruh sekularisme atau karena kedangkalan pemahaman agama, saat ini sepertinya sudah berkembang opini bahwa agama hanya berkaitan dengan ibadah (shalat, haji, zakat, puasa, dan lainnya) sedangkan di luar itu merupakan persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya dengan agama. Opini tersebut jika tidak mendapatkan perhatian serius akan semakin memarjinalkan peran agama dalam lingkup rumah ibadah saja. Padahal, selaku umat Islam semestinya menghayati, firman Allah, “Sesungguhnya shalat (bisa) mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS, Al Ankabut [29]: 45). Akan tetapi, jika sesorang sudah rajin shalat, namun tidak bisa menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar, perlu dipertanyakan bagaimana ia melakukannya.

Dalam rangka memberikan pemahaman yang benar mengenai bagaimana shalat semestinya dilakukan oleh setiap muslim, ulama memberikan distingsi antara pengertian ada’ atau ta’diyah dan pengetian iqamah yang dalam bahasa Indonesia masing-masing berarti menunaikan dan mendirikan. Kenapa persoalan pemilihan kosa kata Arab tersebut menjadi perhatian ulama dalam rangka memberikan pemahaman yang benar, karena secara filosofis kedua kata tersebut mempunyai implikasi berbeda. Kata ada’ dan ta`diyah lebih banyak berorientasi kepada aspek formal saja, sedangkan iqamah selain menekankan pelaksanaan aspek formal yang benar, aspek isoteris dalam shalat mesti mendapatkan perhatian yang serius dari seorang mushalli agar shalat yang dilakukannya benar-benar memberikan pencerahan kepada pelakunya sehingga tujuan dari shalat sebagaimana disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut benar-benar bisa terwujud. Oleh sebab itu, berkaitan dengan pemenuhan kewajiban shalat-di samping nas mereferensi penggunaan kata iqamah ulama juga menggunakan kosa kata serupa dalam penjelasan mereka agar umat Islam dalam melakukan rukun Islam ke dua itu tidak semata-mata memenuhi kewajiban, tapi sebagai kebutuhan untuk pencerahan jiwa. Bukankah Allah telah berfirman, Hanya dengan berzikir hati menjadi tenang? Dan, shalat sebagai bentuk zikir tertinggi semestinya berdampak kepada hal itu. Dalam rangka menuju kepada maksud tersebut. Mahmud Muhammad Thaha, setelah mengutip hadis Nabi yang maksudnya bahwa shalat bisa mendatangkan ketenangan jiwa dan membuka mata hati pelakunya, mengatakan, Maknailah shalatmu!

Menurut Mahmud Muhammad Thaha, dalam kitabnya Risalah al-Shalah (Terjemahan LKIS: Shalat Perdamaian), shalat merupakan sebuah metode jika dilakukan secara berulang-berulang, akan dapat melihat ke dalam diri, bertemu dengan jiwa kita sendiri, hidup berdampingan dengannya, mengenali, dan mewujudkan perdamaian dengannya. Hal itu, karena kita hidup berdampingan dengan alam lahir tenggelam dalam angan-angan indera kita, terlena dengan itu semua sehingga melupakan hakekat yang terpusat di balik yang ditutupinya. Allah menjadikan alam lahir sebagai petunjuk bagi hakekat tersebut, bukan sebagai penggantinya. Oleh sebab itu, umat Islam wajib memperhatikan sarana itu, agar tetap terjaga guna mengingat Allah. Bukankah Nabi pernah bersabda, Manusia itu tidur, apabila mati, barulah mereka terjaga? Untuk menjaga manusia agar senantiasa terjaga dari lupa dan kesalahan adalah dengan mengingat Allah, dan shalat merupakan salah satu metode sekaligus yang utama untuk itu. Berkaitan dengan itu, menurutnya sangat penting bagi umat Islam untuk mencapai tingkatan shalat seorang muslim, bukan hanya sampai tingkatan shalat seorang mukmin. Apa perbedaan di antara shalat kedua golongan itu? Memperhatikan penjelasannya dalan bukunya, terlepas dari maksud khususnya yang diinginkannya dari pemberian istilah mukmin dan muslim, apa yang dimaksud dengan shalat seorang mukmin adalah orang-orang yang melakukan shalat sekedar memenuhi kewajiban semata, sedangkan yang dimaksud seorang muslim adalah orang-orang ketika mendirikan shalat memenuhi kriteria ihsan, yaitu mereka ketika beribadah seakan melihat Allah, meskipun ia tidak melihat-Nya, tapi yakin bahwa Allah melihat mereka. Dengan kata lain, dalam pandangan Mahmud Muhammad Thaha, shalat mukmin baru sampai taraf ada’ atau ta’diyah sedangkan shalat muslim adalah sudah sampai kepada taraf iqamah. Jenis shalat yang terakhir itulah-menurutnya-yang akan memberikan pencerahan kepada pelakunya seperti yang disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut.

Oleh sebab itu, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj pada bulan Rajab ini, semestinya dijadikan evaluasi bagi setiap muslim dalam melaksanakan perintah shalat. Apakah shalat yang dilakukan berdampak kepada ketenangan jiwa dan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Jika hal itu tidak dilakukan, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj hanya akan melahirkan budaya konsumtif dan menguntungkan sedikit peceramah saja. Sedangkan shalat sebagai media pencerahan jiwa diabaikan.

Puisi Pasca reformasi

Bertahap kerusakan dipulas
Banyak pengorbanan tragedi
Langit cerah belum mau datang
Ketika kita belum mandi bersih
Tutup dulu pintu yang bocor
Bau pengap seluruh ruang
Bisul-bisul pada bernanah

Jangan menempeleng orang tak bersalah
Tragedi itu salah kita semua
Bara-bara itu belum dingin
Satu persatu bilik menjadi gulita
Masalah terkuak
Banyak yang terbelalak
Barang bekas dikumpulkan

Pengalaman pahit yang lalu dikenang
Kuman di balik bukit dilupakan
Emas di pelupuk mata jadi incaran
Mimpi berkalang emas dibawa tidur
Takdir berubah

Tak baik menyapa masa lampau
Lebih-lebih lagi kalau sedih sekali
Langit cerah kembali menyapa
Saat kita berguling-guling di pantai derita

Sarat derita, sarat hikmah
Banyak bantal basah air mata
Baju kering tak ada gantinya
Lemah lunglai sekujur tubuh
Saling menyapa saling mengadu
Banyak kodrat buruk, banyak hikmah berharga

Zaman berubah
Yang lama dibiarkan berlalu
Yang kini dibenahi
Yang akan datang disiapkan

Tak berpeluh maka tak berkarya
Tak menangis maka tak menghargai bahagia
Selaput air mata masih basah
Mencari secercah langit cerah

Mungkinkah menggapai keadilan
Tapi membiarkan korupsi dan kolusi?
Mungkinkah mencapai kesejahteraan
Tanpa persatuan?

Tak berbekal keberanian
Tak berbekal ketabahan
Hati bangsa Indonesia
Tercabik-cabik menyesuaikan diri
Badai penderitaan membuat kita lusuh dan compang-camping
Bau korupsi dan kolusi kian menyengat hidung

Tak mau sejarah berulang kembali
Letih menderita membuat kita jera
Menggapai langit cerah, tak baik saling menyalahkan
Rupa-rupa kendaraan diperbaiki
Ban kempes ditambalkan
Ditiup beramai-ramai

Gagal pembangunan dipugar kembali
Dengan baju kumal kita bersatu
Semua jarak direkatkan
Semua perselisihan didamaikan
Bapak-bapak berlinangan air mata memeluk penerusnya
Sangat tepat menjadikan ini kebangkitan nasional ke dua
Tubuh segar kembali oleh air mata persatuan

Taubat nasional menyegerakan rahmatan lil 'alamin
Agenda kebangkitan mencatat sejarah
Kita disaring dan dibersihkan
Tak berupah karena tak bekerja
Tak pandai karena tak belajar
Tak sukses karena tak berusaha
Semua keberhasilan harus diupayakan

Bangsa Indonesia kini sadar
Harus bekerja keras kalau ingin jaya
Masalah krisis ekonomi diatasi dengan persatuan dan kesadaran
Ingin bangkit kembali
Banyak jalan yang tergenang air
Banyak lubang di tengahnya
Ramai-ramai menambal lubang
Ramai-ramai menggali tanggul
Ramai-ramai membangun bangsa
Sembari menanam kita menimbun
Menanam kegersangan, menimbun kebocoran

Ke mana membangun tanggul, di situ air mengalir
Ke mana menimbun kebocoran, di situ ada penghematan
Kata pengabdi bangsa, "Kesulitan bangsaku, pengabdianku"

Banyak pengaruh asing menjadi swasta
Tak bebas menyapa rakyat sendiri
Harta dikuras, waktu terkuras
Tak banyak bagian untuk kita sendiri
Sibuk bayar hutang, sulit mandiri
Keuntungan diambil swasta asing

Bagaimana menentukan sikap
Semua urusan menjadi urusan orang lain
Bagaimana menentukan nasib sendiri
Banyak kesepakatan membatasi kemandirian

Jauh melayang lamunan kita
Kapan kita selesai membayar hutang
Agar dapat mengusir penjajah yang berkedok bantuan
Kita membayangkan betapa enak hidup mandiri
Tak ada uang di saku, tapi dapat tidur lelap
Kini uang tak ada, tidur pun tak pulas
Jaminan kemandirian masih impian
Kita masih terus membayar hutang
Sementara perjuangan persatuan semakin kental

Diam-diam kita sepakat mengusir penguras harta
Tak pelak lagi kita bagaikan di zaman pergerakan kebangkitan nasional
Punahkan kekuatan asing
Kita tak berlayar di lautan orang
Kita mendayung kapal di laut sendiri

Ikan dikumpulkan
Ladang ditanami
Kita menggali emas di tanah sendiri
Allah memberkati jala penuh ikan
Padi menguning
Emas tergali

Mau apa kalau di tanah sendiri penuh berlian
Mau apa kalau ternyata kita kaya
Hutang terbayar mata mereka terbelalak

Kita tak mau lagi dijajah
Kita sudah lebih pandai dan tangguh
Pelajaran hidup telah dilalui
Jarang ada yang bodoh lagi
Kita pintar dan bersih

Semangat kebangsaan, semangat persatuan
Kendali kebangkitan nasional
Dulu palu arit menyadarkan kita
Kini keserakahan bangsa asing membukakan mata kita

Tak terbayang bantuan Allah
Dikira miskin ternyata kaya
Dikira rapuh ternyata bersatu
Mereka balik bertanya
Apa yang bisa dibantu
Emas dilirik, kekuatan dicemaskan
Gaung kemerdekaan membebaskan kita dari keterkungkungan

Masa merdeka masa bahagia
Siapa bilang bangsa Indonesia bangsa yang guram
Kita bangkit karena bantuan Allah
Pancasila yang menolong kita
Lagi-lagi ke-Tuhanan Yang Maha Esa terbukti menyelamatkan kita

Jangan lagi membatasi diri meyakini ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Jangan lagi meragukan semangat persatuan
Jangan lagi keadilan sosial dibatasi
Jangan lagi memangkas demokrasi
Jangan lagi tak memperdulikan kerakyatan
Dan tak mengindahkan musyawarah dan kebijaksanaan

Banyak batasan telah mengganjal Pancasila
Jangan ada penyesalan lagi
Butir-butir Pancasila padat dengan hikmah
Tak terperi kepedihan itu
Tak kuasa mengenangnya kembali

Sadarlah wahai bangsaku
Jangan mengulangi kesalahan itu lagi
Biarkan Pancasila utuh kembali
Biarkan dia mengembangkan sayapnya
Membusungkan dadanya
Terbang melintasi dunia
Membuat sejarah bangsa Indonesia
Kita yang terlibat ini

Banyak pelajaran dijadikan hikmah
Hikmah bernegara yang demokratis
Landasan Bhinneka Tunggal Ika
Tinggal diperkuat dan dipelihara
Ketika dilapisi emas

Bhinneka Tunggal Ika berdandan cantik
Gemulai indah di tengah panorama dunia yang berisik
Pancasila melayang indah di tengah badai keserakahan sedang membelah dunia
Dan keserakahan itu telah telah tercium oleh kita
Tak mungkin lagi kita mau mengulangi kesalahan yang sama

Penderitaan itu telah menjadi tontonan dunia
Tak banyak lagi bangsa yang mau dikibuli
Kita tampil mengoyak keserakahan
Simpati dunia mengiringi kita

Kita menjadi bayang-bayang penderitaan yang menguak takdir
Yang menyobek keserakahan
Yang pernah terbenam oleh iming-iming bantuan
Yang menjadi tangguh oleh kekesalan
Bayang-bayang itu terbaca oleh semua orang

Bangkitlah, bangkitlah wahai bangsaku
Pancasila itu tetap perkasa
Mari bernyanyi Indonesia Raya Merdeka
Mari melantunkan puisi Pancasila Perkasa
Di tangan burung Garuda
Ada janji kami
Ada harapan kami
Ada kekuatan kami
Pancasila burung Garuda kini terbang tinggi
Melayang menjauhi keserakahan dan tirani

Para pendekar Pancasila
Coba amati dada burung Garuda
Sekali lagi amati sila pertama
Allah Yang Maha Sakti
Menyematkan kesaktian-Nya di dada Pancasila
Sungguh Pancasila itu sakti
Karena Allah bersamanya

Tatkala kita menderita, dia mengibas-ngibaskan sayapnya
Pergilah ke gunung katanya
Jangan biarkan gunung bertapa
Tak inginkah menjadi bangsa yang sejahtera?

Masa depan berkilau oleh sinar yang dipancarkan kekayaan alam kita
Setitik harapan menjadi berbongkah-bongkah senyuman
Tirai cahaya dibentang
Berdatangan kereta kencana
Menjemput kepingan kebahagiaan
Dentangan sangkur seakan musik yang indah
Akankah dentangan ini untuk selamanya?

Tiupan angin memberikan kesegaran
Angin kencang tak lagi dapat menggoyangkan kita
Tepian pantai ramai dengan kibaran bendera warna-warni
Tetangga melambai meminta kita membagikan telur emas kepadanya

Kita menjadi raja di tanah sendiri
Kesengsaraan tinggal menjadi masa lalu
Ketika air ketuban pecah, kita mengharapkan bayi mungil
Bayi itu menggenggam mukjizat

Kemenangan melalui penderitaan
Seperti mendaki gunung melalui titian
Perca-perca kebahagiaan ditata menjadi selimut bangsa

Temui seorang kaya, tanyakan kepadanya
Mengapa dia tak ingin menangis
Orang kaya berkata, "Kekayaanku, kebahagiaanku"

Selimut bangsa dijalin dengan selimut tetangga
Senyuman kita mengundang teman seberang
Menyulamkan selimutnya
Kami ini disulam cahaya

Ke mana senyuman ditebarkan
Di sana datang kebahagiaan
Ke mana genderang kebahagiaan ditabuh
Di sana banyak teman

Seperti menyiram padi, setiap siraman membuahkan padi unggul
Pedang yang diasah tak akan pernah dipakai menebang kayu
Bianglala selalu dapat menembus awan

Menengok seludang kemajuan negeri seberang
Kita seolah dipacu menjadi penabuh barisan dwi kebangkitan nasional
Berjingkat-jingkat mereka menapak di kemasan timbangan
Berkilo-kilo dijadikan sekati
Sengsara dijajah, lebih sengsara ditipu

Pupuk disemai, pupuk ditebar
Siapa yang tak memupuk kebun sendiri
Tetangga mengais keuntungan, menjual tahi dikemas
Sesungguhnya kita ini terbenam dalam timbunan padi
Padi yang diminta, emas yang didapat
Tentunya kita ini patut bersyukur
Sudah gaharu, cendana pula

Pasar disulang, pasar mengundang
Kesengsaraan tak lagi sempat singgah di hati
Bangsa ditata, bangsa bersolek
Kemakmuran berkata, "Umurku, dilemaku"
Siapa bersedia miskin setelah pernah kaya
Kemiskinan seakan pintu gua yang menakutkan

Berdiri di atas gunung
Pemandangan seakan tak ada batasnya
Semakin tinggi gunung, semakin dingin udaranya
Kemarikan selimut itu
Kita menebalkan kehangatan persatuan

Sudahkan kita menemukan makna Pancasila?
Makna tak selalu dikaji dengan penderitaan
Kebahagiaan menatahkan keindahan
Pada kehidupan yang diberi makna
Pentingkah kehidupan bertatahkan makna?
Setiap perputaran hidup, tentu di sana ada makna yang melekat

Ke mana roda kehidupan berputar
Di sana ada penderitaan dan kebahagiaan
Ke mana makna ditemukan
Di sana kehidupan bertaburan hikmah
Orang menang berkata, "Kemenanganku, makna kehidupanku"

Berikan makna dalam kehidupanmu
Maka kebahagiaan menjadi temanmu
Fajar menghangatkan selimut persatuan
Persatuan Indonesia menjadi seludang pohon keadilan sosial
Gemercik hujan membasahi timbunan buah
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan
Pancasila menemukan kebahagiaannya di zaman ini

Tatahkan kata-kata mutiara
Pada pijakkan burung Garuda
Tuliskan, "Kami menitipkan Pancasila secara murni"

Ke mana Pancasila digaungkan
Di situ ada teman
Ke mana kesejahteraan dibagikan
Di situ kita mendapat sahabat

Kumandang Pancasila menjadikan kita sahabat dunia
Temanku berkata: "Sahabatku, penuntunku"

Memperingati mulud Nabi

Hari Maulud (kelahiran) Nabi Muhammad SAW bertujuan untuk memuliakan Nabi Muhammad SAW berasaskan firman Allah dalam Al-Quran (terjemahannya ) :-

"maka orang yang beriman kepadanya (Muhammad saw) memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran) mereka itulah yang beruntung."
Al-Araf: 157


Hari Maulud pertama kali diselenggarakan oleh Sultan Salahudin al Ayyubi ketika menghadapi pasukan salib bagi membakar semangat berjuang dan berkorban, untuk menyelamatkan umat Islam dan sebagai memperingati kejayaan Sultan Salahuddin al Ayyubi berhasil memimpin tentera Islam memasuki Jurusalem.

Maulud Nabi disambut setiap 12 Rabiul Awal dimana zikir khusus akan diadakan di masjid-masjid. Perarakan secara besar-besaran yang disertai oleh lelaki, perempuan, dan kanak-kanak akan diadakan di bandar dan kampung sambil menyanyikan lagu-lagu memuji Nabi Muhammad S.A.W. juga akan diadakan untuk meriahkan hari Maulud mulia ini. Jamuan makan juga dianjurkan diadakan oleh orang perseorangan atau pertubuhan untuk fakir miskin.

Terdapat 2 pendapat mengenai Maulud Nabi, iaitu pendapat pertama melakukannya adalah satu perbuatan yang dianjurkan bagi umat Islam. Pendapat kedua pula menyatakan menyambut hari Maulud adalah satu bidaah disebabkan ia tidak pernah dilakukan semasa zaman Rasullullah dan para sahabat.

Menurut pendapat pertama, hujah mengapa Maulud Nabi boleh diraikan adalah :-

Bahawasanya Nabi Muhammad S.A.W. datang ke Madinah maka beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari Asyura iaitu hari 10 Muharram, maka Nabi S.A.W. bertanya kepada orang yahudi itu: "Kenapa kamu berpuasa pada hari Asyura?"

Jawab mereka: Ini adalah hari peringatan, pada hari serupa itu dikaramkan Firaun dan pada hari serupa itu Musa dibebaskan, kami berpuasa kerana bersyukur kepada Tuhan.

Maka Nabi S.A.W. berkata:

"Kami lebih patut menghormati Musa berbanding kamu."
Riwayat Bukhari dan Muslim.


Ibnu Hajar Al-Asqalani pengarang Syarah Bukhari yang bernama Fathul Bari berkata bahawa dari hadis ini dapat dipetik hukum:

  • Umat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar umpamanya hari-hari maulud, miraj dan lain-lain.
  • Nabi pun turut memperingati hari tenggelamnya Firaun dan bebasnya Musa, dengan melakukan puasa Asyura sebagai bersyukur atas hapusnya yang batil dan tegaknya yang hak.

Milad Nabi

Milad-un Nabi or Maulid (Mawlid) is the birthday celebration of our beloved Prophet Muhammad (s.a.s.) and is celebrated by Muslims as Eid-e Milad. Prophet Muhammad was born Arabia in the city of Mecca on the 12th day of Rabi-ul-Awwal, which was Monday the 20th day of April, 571 A.C. This falls on Saturday May 25, 2002 and fell on June 4th last year (2001). This is also his death anniversary. The occasion is celebrated by remembering the favors bestowed on the ummah (community), the first is the revelation of the Holy Quran with its instructions, the second, the institution of an Everliving Guide who would advise the mu'mins (believers) according to the needs of the time. This is why Ismailis are called Ibn'ul Waqt (children of the time) as they are guided by the Imam of the time, Noor Mowlana Shah Karim Al Hussayni Hazar Imam (salwaat), His Highness the Aga Khan. He is the 49th Imam descended from the Holy Prophet's daughter, Fatima and Hazrat Ali (a.s.). For Shia Muslims, this occasion is of even more import and full of symbolism as this was also his death anniversary and, therefore, it endorses the Hablillah (Rope of Imamat) wherein Prophet Muhammad had chosen Hazrat Ali as his successor at Gadhir-e Khumm. What I am trying to say is that, this more than a coincidence. Prophet Muhammad's birthday coincided with his physical passing as was ordained by God. Hazrat Ali took over the spiritual reins from him and this chain has continued to the present. In every jomma (period of Imamat) the previous Imam appoints the following Imam and even though the previous Imam passes away physically, which could be a day of mourning, the ummah rejoices at the installation of the new Imam as the Covenant (promise of the Light of Allah) continues.

Regarding this, Mowlana Sultan Mahomed Shah (a.s.) said in one of his sermons:

We (the Imams) change the physical bodies in the world but our Noor (Divine Light) is eternal and comes from the very beginning. You should therefore take it as one Noor. The Noor (Light of Allah) is ever present, only the names are different. The Throne of the Imamat of Mowlana Murtaza Ali (a.s.) continues on and will remain till the Day of Judgment." (source: Ilm, Vol. 3, No. 2 - November 1977 pg 22)

The Eid-e Milad and Eid-e Gadhir are two very important celebrations for Shia Muslims. On this day every year, believers gather to recite special prayers for thanksgiving to Allah for sending Prophet Muhammad as a mercy to all nations, and speeches and lectures are made about the seerat (life) and instructions of the Holy Prophet. Poetry in the form of naats are recited and after the prayers, sweets are distributed and perfume is sprinkled or applied on everyone. The ladies and children gather for the mehndi (henna) application and everyone wears beautiful clothes for the occasion. Children get money or gifts and in East Africa we used to go to a fete, Eid Mela (fun fair) organized on this occasion by community members and we could ride on the swing merry-go round on which as children we had great fun.

In countries with Muslim concentration, the celebrations go on for the first twelve days of the month called Barah Wafah (twelve days before passing) and there are conferences and mehfils (gatherings) everyday.

Our beloved Prophet offers humanity a perfect example in all facets of life. The Holy Quran declares: "Verily, you have in the messenger of Allah, a most beautiful model (Uswa al-Hassanah)." Laqad kana lakum fee rasooli Allahi oswatun hasanatun Quran 33:21

And the unbelievers Would almost devour thee With their eyes when they Hear the Message; and they Say: Surely he is possessed But it is nothing less Than a Message To all the worlds. 61:51-52Prophet Muhammad lived among his people and taught them about the belief in one God, ethics in everyday life and the importance of education in leading an exemplary life. In this regard, some of his famous sayings are "Seek knowledge even unto China", "acquire knowledge, for he who acquires it performs an act of piety; he who speaks of knowledge, praises God: he who seeks it, adores God." He also declared: "The ink of the scholar is more precious than the blood of the martyr."

Mowlana Sultan Mahomed Shah stressed this message of Prophet Muhammad and maintained that Islam by its very nature was dynamic and not rigid and spiritual faith should advance with along with material progress. In his Message to the World of Islam, he said:

"Formalism and verbal interpretation of the teachings of the Prophet are in absolute contradiction with his whole life history. We must accept his Divine Message as the channel of our union with the 'Absolute' and the 'Infinite' and once our spiritual faith is firmly established, fearlessly go forward by self sacrifice, by courage and by application to raise the scientific, the economic, the political and the social position of Muslims to a place of equality with Christian Europe and America.
"Our social customs, our daily work, our constant efforts, must be tuned up, must be brought into line with the highest form of possible civilization. At its greatest period Islam was at the head of science, was at the head of knowledge, was in the advance line of political, philosophical and literary thought."

Addressing the Seerat Conference, our beloved Mowlana Hazar Imam advised the Muslim World to make the Prophet's life the beacon light for achieving a truly modern and dynamic Islamic society. He said:

"The Holy Prophet's life gives us every fundamental guideline that we require to resolve the problem as successfully as our human minds and intellects can visualize. His example of integrity, loyalty, honesty, generosity, both of means and of time his solicitude for the poor, the weak and the sick, his steadfastness in friendship, his humility in success, his magnanimity in victory, his simplicity, his wisdom in conceiving new solutions for problems which could not be solved by traditional methods, without affecting the fundamental concepts of Islam, surely, all these are foundations which correctly understood and sincerely interpreted, must enable us to conceive what should be a truly modern and dynamic Islamic society in the years ahead."

His life and achievements are so wonderful and expansive that I cannot cover them in this short article and for this reason, I urge you to peruse the links at the bottom of this page for more material.

The following excerpts have been provided by my good friend, Courtney Kirshner, who encouraged me to get this article up even though I missed the birthday deadline this year. They are taken from Annemarie Schimmel's Mystical Dimensions of Islam:

"As early as the late eleventh century, and generally from the twelfth century on, the veneration of the Prophet assumed a visible form in the celebration of the maulid, his birthday, on 12 Rabi' ul-awwal, the third month of the Muslim lunar year. This day is still celebrated in the Muslim world. The number of poems written for this festive occasion in all Islamic languages is beyond reckoning. From the easter end of the Muslim world to the west the maulid is a wonderful occasion for the pious to show their warm love of the Prophet in songs, poems, and prayers." Page 216

The next material is from Schimmel's book "And Muhammad is His Messenger" it has a whole chapter devoted to this topic!

"It seems that the tendency to celebrate the memory of Muhammad's birthday on a larger and more festive scale emerged first in Egypt during the Fatimid Era (969-1171). This is logical, for the Fatimids claim to be the Prophet's decendants through his daughter Fatima. The Egyptian historian Maqrizi (d.1442) basing his account on Fatimid sources. It was apparently an occasion in which mainly scholars and the religious establishment participated. They listened to sermons, and sweets, particularly honey, the Prophet's favorite, were distributed; the poor received alms." page 145

The earliest Arabic sources, basing their claims on Koranic epithets like sirajun munir, a 'shining lamp,' tell that a light radiated from Amina's womb with the arrival of the newborn Proghet. Hassan ibn Thabit [poet, contemporary of Muhammad who joined him in Medina and eulogized important events in the Muslim community] sings in his dirge for Muhammad that his mother Amina of blessed memory had born him in a happy hour in which there went forth "a light which illuminated the world"

It is not surprising that this spiritual light was soon given material reality in the accounts of the Prophet's birth, as can be seen first in Ibn Sa'd's historical work in the ninth century. Yunus Emre [turkish sunni poet d.1321] sings like numerous poets in his succession in Turkey, Iran, and India:

"The world was all submersed in light
In the night of Muhammad's birth." page 149-150

"The first comprehensive work about the Prophet's birth, as far as one knows, was composed by the Andalusian author Ibn Dihya, who had participated in the festive maulid in Arbela in 1207. Written in prose with a concluding poetical economium , his work has the characteristic title Kitab at-tanwir fi maulid as-siraj al-munir (The Book of Illumination about the Birth of the Luminous Lamp), in which the light-mysticism associated with Muhammad is evident. Two Hanabilites, Ibn al-Jauzi and, a century and half later, Ibn Kathir, devoted treatises to the maulid. Poetical works about this important event were also composed relatively early." page 152

"Ibn al-Jauzi, without doubt a serious, critical theologian of Hanbalite persuasion and not a mystical poet - wrote in his maulid book, which is the first of this kind:

When Muhammad was born, angels proclaimed with high and low voices. Gabriel came with the good tidings, and the Throne trembled. The houris came out of their castles, and fragrance spread. Ridwan [the keeper of the gates of Paradise] was addressed: "Adorn the highest Paradise, remove the curtain from the Palace, send a flock of birds from the birds of Eden to Amina's dwelling place that they may drip a pearl each form their beaks," And when Muhammad was born, Amina saw a light, which illuminated the palaces of Bostra. The angels surrounded her and spread out their wings. The rows of angels, singing praise, descended and filled hill and dale." page 150

"It is also important to remember that Muhammad was born free from all bodily impurities." page 152

"The conviction that a maulud [song of the Prophet's birth] has a blessing power is not peculiar to Turkish Muslims. Its baraka is acknowledged everywhere in the Muslim world...From the Middle Ages onward it was believed that the recitation of the maulud would grant the listeners not only worldly but also heavenly reward." page 255-25

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bidah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. Paham Keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab:Syafi'i Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Basis Pendukung

Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta orang , yang mayoritas di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basisi intelektual dalam Nu juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

Tujuan dan Usaha Organisasi

Tujuan Organisasi

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usaha Organisasi

  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Struktur Organisasi

  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
  4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)

Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Mustayar (Penasihat)
  2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan Organisasi

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:

  • 31 Wilayah
  • 339 Cabang
  • 12 Cabang Istimewa
  • 2.630 Majelis Wakil Cabang / MWC
  • 37.125 Ranting

NU dan Politik

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.

NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.