Selasa, 18 Maret 2008

Fenomena Pendidikan Islam

Fenomena yang sering dijumpai dalam proses pendidikan Islam adalah fenomena proses pendidikan yang lebih bersifat patriarkhis. Pendidikan yang merupakan salah satu wahana dalam proses penyebaran nilai-nilai dan gagasan baru, tidak berarti sama sekali ketika isu ketidakadilan gender vis-a-vis apriori masyarakat akan selalu menghasilkan bias makna; bahwa dengan mengulang-mengulang mengkampanyekan isu gender sama halnya dengan mengungkit-ungkit kemapanan takdir Tuhan. Jika demikian kenyataannya, pertentangan jenis kelamin yang menghasilkan ketimpangan gender, untuk kesekian kalinya tetap akan dipahami sebagai sebuah kelaziman yang terjadi di sepanjang sejarah peradaban manusia, mengingat mapannya pandangan konvensional patriarkhis tentang relasi gender.

Di dalam proses pendidikan itu sendiri ternyata selama ini telah dimasuki pewarisan ketimpangan gender, tetapi para praktisi pendidikan tidak pernah memahaminya sebagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani(1). Tidak sedikit praktisi pendidikan yang menanggapi persoalan ini dengan dingin, hingga akhirnya pendidikan lebih memainkan fungsinya sebagai agen sosialisasi ketimpangan gender, meskipun sebenarnya ia sangat berpeluang dijadikan media untuk memutuskan ketimpangan gender. Lebih tragis lagi banyak praktisi pendidikan tidak menyadari bahwa materi-materi pendidikan yang disosialisasikan berdasarkan teks pendidikan kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar yang “seksis” adalah hasil dari serangkaian pertentangan gender yang bergemuruh dalam masyarakat.

Sementara di sisi lain pendidikan menjustifikasinya sebagai sebuah kebenaran etika. Isu kesetaraan gender dalam proses pendidikan Islam menjadi bahasan yang sangat penting, sebab isu ketidakadilan gender yang selalu berpijak pada persoalan hegemoni kekuasaan jenis kelamin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kekuasaan, ataupun lingkungan, tetapi agama pun juga ikut menjustifikasi hal tersebut. ini karena isu gender lahir dari bias makna yang ditimbulkan oleh perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, bias makna tersebut mempengaruhi relasi sosial antara dua jenis kelamin, melalui proses kultural dan perilaku sosial yang sangat panjang.

Perbedaan biologis yang permanen ini melahirkan sebuah konstruksi perbedaan relasi gender yang bersifat hegemonik, itu dikukuhkan dan diproduksi secara konsisten melalui pengalaman sadar maupun bawah sadar. Pada proses akhir konstruksi pola relasi itu sudah berubah menjadi bentuk hegemoni kekuasaan maskulin terhadap feminin yang melahirkan anomali sosial(2). Hegemoni jenis kelamin tersebut lebih banyak bekerja membius supra struktur (ide, keyakinan, pandangan) masyarakat.


Di sinipun lembaga pendidikan memiliki peluang yang sangat lebar untuk menjadi bagian dari perangkat hegemoni sistem nilai gender.Permasalahan sebetulnya bukanlah terletak pada “kaum perempuan”, tetapi di dalam ideologi, sistem, struktur yang bersumber dari ketidakadilan gender (gender inequalities). Oleh karena itu yang menjadi setiap tujuan kegiatan atau program perempuan bukanlah sekedar menjawab “kebutuhan praktis” atau mengubah kondisi kaum perempuan, tapi juga menjawab kebutuhan strategis(3), dalam arti memperjuangkan perubahan posisi perempuan termasuk menentang hegemoni dan melawan ideologi ketidaksetaraan gender yang telah mengakar dalam keyakinan kaum laki-laki atau perempuan.Proses pendidikan Islam selama ini cenderung mengedepankan verbalisme.

Eksplorasi yang seharusnya menjadi ciri utama pendidikan menjadi terabaikan, akibatnya anak didik terkungkung dalam budaya bisu(4), lebih tragis lagi anak didik dipandang berdasarkan identitas jenis kelamin, dalam hal ini perempuan yang menjadi sasaran hegemoni. Jika demikian, sensitivitas gender sama sekali belum ada, maka kita tidak dapat menyalahkan atau menghakimi sebetulnya yang tidak sensitif gender itu apakah berasal dari faktor guru atau memang dari tujuan, metode, materi, lingkungan atau faktor lain yang sudah dikonstruk sedemikian rupa hingga seorang guru memang harus berlaku demikian. Ditambah pula banyak sekali teks-teks agama yang dijadikan sebagai alat legitimasi untuk sebuah penafsiran yang sama sekali bias gender, demikian inilah yang oleh para praktisi pendidikan dijadikan rujukan tanpa melakukan pengkritisan terlebih dahulu. Fenomena ini bisa terjadi dalam proses pendidikan Islam secara terus menerus ketika belum ada usaha untuk merubahnya.

Budaya patriarkhi yang begitu lama mengakar dalam masyarakat merupakan sebuah kendala dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merombaknya secara bertahap. Proses pendidikan Islam harus diteliti dan dikaji ulang, baik dari aspek tujuan, metode, materi atau yang lainya (elemen proses pendidikan) yang selama ini masih amat kentara bias gendernya. Kata “gender” seringkali dimaknai salah dengan pengertian ‘jenis kelamin’, seperti halnya seks. Sebetulnya arti ini kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan seks yang berarti jenis kelamin, setidak-tidaknya ketidakjelasan dari makna tersebut ada penyebabnya. Kalau dilihat di dalam kamus(5), tidak secara jelas dibedakan pengertian seks dan gender, kata ini termasuk kosakata baru sehingga pengertiannya belum ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia, meskipun demikian istilah tersebut sudah lazim digunakan.

Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini, yang menjadi masalah adalah terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya dalam masyarakat, dimana apa yang sesungguhnya disebut gender, justru dianggap sebagai kodrat, semakin parah lagi hal ini sering dinamakan sebagai “kodrat wanita”. Keadaan seperti inilah yang seharusnya dihapus dengan melakukan pembenaran persepsi tentang seks dan gender. Seks atau jenis kelamin, adalah penentuan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Semisal, bahwa manusia dengan jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakala (jawa: kolo menjing), dapat memproduksi sperma. Dan disebut perempuan karena memiliki alat reproduksi seperti rahim, saluran untuk melahirkan, memiliki vagina, serta memproduksi air susu.

Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia berjenis kelamin perempuan dan laki-laki yang sifatnya permanen atau selamanya dan tidak dapat dipertukarkan, merupakan ketentuan biologis dari Tuhan (kodrati).Di dalam Women’s Studies Encyclopedia yang dikutip oleh Nasaruddin Umar dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran perilaku mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat(6). Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: An Introduction mengungkapkan bahwa gender diartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for women and men)(7).

Pendapat ini menurut Nasaruddin sejalan dengan pendapat kaum feminis. Elaine Shorwalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya(8). Ia menekankannya sebagai konsep analisis (an analitic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. H.T Wilson yang mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Karena itu Nasaruddin Umar mengatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya; suatu bentuk rekayasa masyarakat (sosial constructions)(9), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki ataupun perempuan yang dibentuk oleh lingkungan dan kondisi sosial-budaya. Misal, perempuan dikenal lemah lembut, emosional, dan lemah. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat dipertukarkan, artinya ciri dan sifat-sifat tersebut dapat berubah dan terjadi dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, dan dari satu kelas ke kelas lain.Gender differences (perbedaan gender) antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedan gender dikarenakan oleh berbagai hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara.

Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi, dan perbedaan-perbedaan gender dianggap dan difahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Sebaliknya sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya mempengaruhi konstruksi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya, sifat gender kaum laki-laki harus kuat dan agresif, sehingga konstruksi sosial itu membuat laki-laki terlatih dan termotifasi menuju serta mempertahankan ke-sifat yang ditentukan tersebut, akhirnya memang laki-laki lebih kuat dan lebih besar, sebaliknya konstruk sosial bahwa kaum perempuan harus lemah lembut.

Maka sejak bayi sosialisasi tersebut mempengaruhi perkembangan emosi, visi, idiologi serta perkembangan fisik dan biologis mereka, karena proses sosialisasi yang berjalan secara mapan akhirnya sulit dibedakan apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau kodrat biologis.Perbedan gender yang kemudian melahirkan peran gender sebetulnya tidak menjadi masalah, tetapi persoalanya adalah: Pertama, karena konstruksi sosial (gender) dianggap sebagai kodrat, akibatnya gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir, bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut, pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat dan bukan perbedaan biologis itu dianggap ketentuan Tuhan.

Masyarakat sebagai suatu kelompoklah yang menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, keyakinan pembagian itu selanjutnya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya penuh dengan proses negosiasi, resistensi, maupun dominasi.

Lama kelamaan pembagian keyakinan gender tersebut dianggap sebagai alamiah, normal, dan kodrat. Karenanya, diantara bangsa-bangsa dalam kurun waktu yang berbeda pembagian gender tersebut berbeda-beda. Kedua, Perbedaan gender tersebut ternyata mengantarkan pada ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan yang dilahirkan oleh perbedaan gender inilah yang sesungguhnya sedang digugat, ternyata dalam sejarah perkembangan hubungan yang tidak adil adalah menindas, mendominasi antara kedua jenis kelamin tersebut. Bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini adalah dalam mempersepsi, memberi nilai serta dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan.

Ketidakadilan gender (gender inequalites), sebagaimana telah dibahas sebelumnya, disebabkan oleh keyakinan bahwa kontruksi sosial disamakan dengan kodrat. Konstruksi sosial menjadi sebuah determinan yang tidak dapat diubah ubah, padahal konstruksi ini semacam anggapan kuat yang melahirkan perilaku-perilaku tertentu dalam masyarakat kemudian diyakini dan dijalankan sebagai tradisi yang tidak dapat dipertukarkan lagi pada wilayah jenis kelamin.

Seperti laki-laki yang dianggap lebih superior dari perempuan, sehingga dalam wilayah publik, laki-laki berhak mendapat porsi lebih dari pada perempuan, adanya pembagian pekerjaan yang didasarkan pada jenis kelamin yang tentunya memposisikan perempuan sebagai kaum marginal. Keyakinan seperti ini kemudian secara turun temurun disosialisasikan dari generasi ke generasi berikutnya yang mengakibatkan adanya kesamaan pandangan dan persepsi konstruksi sosial merupakan kodrat dari Tuhan. Dalam kaitannya dengan hal di atas, Islam sebagai suatu ajaran dan doktrin keagamaan, diyakini oleh pemeluknya sebagai satu-satunya pemegang otoritas dalam pemberian garansi keselamatan setelah kehidupan manusia usai atau di akhirat kelak. Islam juga dijalankan tidak hanya dalam urusan peribadatan melainkan dalam urusan interaksi kemanusiaan yang pada akhirnya merambah wilayah sosial, budaya dan seluruh sendi kehidupan masyarakat lainnya, begitu juga dalam bidang pendidikan.

Dengan demikian, pada aspek pendidikan, Islam juga ikut mempengaruhi dan memberi panduan berupa norma yang diamalkan oleh pemeluknya sehari-hari. Namun yang menjadi persoalan adalah apakah pendidikan Islam ikut melestarikan ketidakadilan gender tersebut. Kebanyakan konsep yang diutarakan dalam menyebutkan tujuan pendidikan Islam adalah memperkokoh harmonisasi. Dalam rumusan tersebut, kata-kata “harmoni”, dapat disejajarkan dengan ‘penjagaan stabilitas’.

Dalam teori sosial, kata-kata ini dianggap sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan dalam aplikasi sosial kedua kata itu mempunyai hubungan yang sangat erat. Harmoni dan stabilitas dalam kehidupan adalah pengaruh dari teori fungsionalis stuktural yang dikembangkan Talcot Parsons yang menginginkan adanya keseimbangan kehidupan masyarakat. Meskipun konflik dan masalah suatu saat bisa muncul, tetap dalam batas kewajaran dan bukan ancaman yang akan merusak sistem sosial. Masyarakat digiring pada pemahaman pada apa saja yang terjadi dalam kehidupan sudah diatur dalam struktur-sturktur tertentu dengan fungsi masing masing. Keseimbangan hanya akan terwujud apabila ada pembagian-pembagian tugas yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sosial tertentu.

Dalam analisa lebih lanjut, harmoni dan stabilitas mengarah pada kekuasan dan status sosial. Terutama kekuasaan yang ada dalam wilayah gender. Menurut Hilary M. Lips, dalam bukunya Sex and Gender: An Introduction, menjelaskan bahwa relasi gender didasari oleh relasi kuasa dan status. Dalam kedua relasi ini, laki-laki memiliki kekuasaan dan status yang lebih besar daripada perempuan(10). Di dalam proses pendidikan Islam ini bisa terlihat adanya pembedaan ruang antara laki-laki dan perempuan, ataupun jika dikumpulkan di dalam satu ruangan pun, pasti kebanyakan murid laki-laki-lah yang berada di depan, sedangkan perempuan menempati tempat duduk di belakang murid laki-laki.

Di sini terlihat bahwa pola kekuasaan dan status berpengaruh secara universal di dalam masyarakat, bahkan di dalam dunia pendidikan yang nota bene seharusnya menjadi media tranformasi pengetahuan dan perempuan kebanyakan sudah minder terlebih dahulu karena tidak diberi kesempaan lebih awal, sehingga pada proses hafalannya mereka sering tidak memperoleh hasil sebagaimana siswa laki-laki. Mskipun kalau diberi kesempatan yang seimbang, siswa perempuan bahkan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih cemerlang. Seperti metode Enquiry dan Discovery, yang menekankan pada minat dan bakat dalam proses pendidikan Islam dapat menimbulkan kontroversi karena dapat memicu ketidakadilan gender. Sebab, bila dicermati, metode itu mempunyai potensi untuk melakukan pembedaan secara khusus terhadap minat dan bakat siswa laki-laki dan perempuan. Pada metode uswatun hasanah, bila guru tidak peka dalam memberikan suri tauladan, maka akan menjebak murid untuk menerima perilaku guru tanpa ada penyaringan dari murid.

Termasuk perilaku yang sangat dapat menimbulkan bias gender adalah guru perempuan yang menerangkan secara lemah lembut. Perilaku lemah lembut guru perempuan di sini, bisa saja tidak dipahami sebagai proses membimbing melainkan karena memang sudah menjadi kodrat wanita untuk berperilaku lemah lembut. Sehingga tak jarang kebanyakan murid laki-laki suka diajar oleh guru perempuan. Pemberian hukuman pada siswa juga bias jadi menimbulkan bias apabila dalam memberi hadiah dan memberi hukuman ada pembedaan antara laki-dan perempuan. Lalu pada metode yang berdasarkan pada conditioning bisa menjadikan adanya bias gender sebab alat peraga yang dipergunakan dalam kelas biasanya rawan untuk membedakan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin.

Misalnya para siswi biasanya disuruh menyapu atau ditampilkan untuk memperagakan bagaimana menyapu lantai, sedangkan para siswa laki-laki disuruh melakukan hal-hal yang menunjukkan keperkasaan, seperti mencangkul rumput dan sebagainya.Tidak hanya di dalam tujuan dan metode, materi dalam proses pendidikan Islam juga mengalami bias. Materi dalam proses pendidikan Islam harus didudukkan sebagai bahan kurikulum dalam pendidikan Islam yang bersumber dari teks agama dan pemahaman terhadap teks tersebut. Teks sebagai sumber materi dapat diambil melalui al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama. Sedangkan pemahaman terhadap teks dapat dilihat dalam dalam buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Buku-buku ini merupakan buah karya para pemikir Islam, biasanya disebut dengan kitab kuning. Al-Qur’an, sebagai sumber paling utama teks dalam Islam menurut Nasaruddin Umar sebenarnya sangat sensitif gender, apabila melihat tentang subtansi kejadian manusia, bahwa awal pembentukan manusia dalam derajat manusia sama. Lalu dari segi pengabdian/derajat dalam Al Qur’an diukur bukan dengan jenis kelamin melainkan melalui tingkat ketaqwaan manusia kepada Allah.

Dan dari sisi kemanusiaan, Al Qur’an memposisikan manusia dalam bentuk dan derajat yang paling mulia. Dari kajian itu dapat disimpulkan bahwa Islam sejak awal berusaha menghapus ketidakadilan gender.Namun persoalan muncul ketika interpretasi terhadap teks justru menjauhkan dari realitas ini. Bias gender dalam materi pendidikan Islam biasanya tampil melalui pemahaman terhadap teks awal (al-Qur’an). Sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan atau ulasam materi yang ada pada kitab kuning. Salah satu contoh konsep hukum kekeluargaan (al ahwal as syahsyiyah), seperti fiqih perkawinan (munakahat), yang memberikan hak-hak suami jauh lebih besar dibanding hak-hak perempuan, fiqh waris (al mawaris) yang memberikan porsi lebih besar kepada laki-laki dan fiqh politik (al siyasah) yang membatasi hak-hak perempuan untuk berkarir di dunia politik. Karya-karya ulama fiqh dinilai oleh para feminis sudah tidak relevan lagi, karena masyarakat sedemikian jauh telah berubah(11). Kerana itu terlihat jelas bahwa kebanyakan dari materi pendidikan Islam adalah materi yang mengandung banyak unsur bias gendernya.

Ini disebabkan karena penafsiran-penafsiran oleh para cendekiawan Islam masa awal terhadap teks-teks Al Qur’an masih banyak yang mengandung bias gender dan karya-karya mereka pada masa selanjutnya ternyata masih tetap dijadikan referensi utama dalam mebuat materi pendidikan Islam tanpa mengadakan revisi ulang sesuatu dengan perkembangan zaman. Kerana itu harus ada perubahan materi pendidikan Islam yang sama sekali tidak bias gender, dan tidak terpaku pada karya-karya klasik para cendekia terdahulu yang masih bias gender.Ketidaksensitivan gender dalam pendidikan Islam bukan dikarenakan substansi ajaran Islam, melainkan adanya penafsiran yang keliru dalam memahami sebuah sumber asli ajaran Islam. Islam adalah ajaran agama yang menggunakan prinsip-prinsip universal, seperti keadilan dan persaudaraan. Pada masa permulaan Islam (the proto Islamic law) kebebasan perempuan mulai dapat terlihat. Nabi Muhammad pada masa itu sudah mendemonstrasikan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam aktivitas sosial, mulai kewirausahaan, politik, sampai peperangan(12).

Namun setelah wafatnya Nabi, semua itu sirna. Proses perjuangan Nabi yang mengangkat martabat kaum perempuan Arab setelah sekian lama ditindas oleh kaum laki-laki tidak dilanjutkan pada masa penguasa Islam setelah Nabi. Melihat yang demikian, pendidikan Islam mempunyai tugas untuk mengembalikan Islam pada ajaran universal yang menitikberatkan keadilan, persamaan, dan kesetaraan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi pada awal berkembangnya Islam. Berkaitan dengan tugas tersebut maka perlu diadakan pembukaan ruang keadilan gender melalui optimalisasi proses pendidikan Islam. Optimalisasi yang dimaksudkan adalah upaya untuk mengikis bias gender yang terjadi dalam segala proses pendidikan Islam. Optimalisasi tersebut meliputi optimalisasi tujuan, metode, dan materi pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam bisa dioptimalkan melalui perumusan kembali tujuan pendidikan yang tidak mengarah kepada bias gender. Yaitu dengan lebih memprioritaskan kepada: .

Pada dasarnya, pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Pendidikan diadakan dari, oleh dan untuk manusia dan dimaksudkan untuk merubah segala perilaku manusia dari perilaku barbarian menjadi perilaku yang lebih beradab. Maka dari itu, rumusan tujuan pendidikan Islam harus mempunyai standarisasi yang selalu terkait erat dengan persoalan kemanusiaan tanpa membedakan jenis kelamin. Peneguhan nilai kemanusiaan tidak dimaksud dengan serta merta untuk menghilangkan aspek ilahiyah dalam rumusan pendidikan Islam, karena setiap ajaran agama manapun pasti akan selalu terkait dengan aspek ketuhanan. Nilai kemanusiaan perlu diberi ruang cukup sebab dengan nilai ini, keadilan sosial dapat terwujud. . Pada prinsipnya setiap manusia dibekali dengan kemampuan dasar (fitrah).

Dengan kemampuan ini setiap manusia mempunyai potensi untuk mengembangkan kemampuan yang ia miliki. Pengembangan kemampuan pada potensi manusia dimaksudkan untuk senantiasa mengasah nalar dan kemampuan (skill) demi keberlangsungan kehidupan di bumi. Dengan pengetahuan manusia dapat mengatasi segala masalah yang sedang dihadapi atau masalah yang akan datang. Pengembangan pengetahuan disamping untuk mendidik umat, juga dimaksudkan untuk mengembangkan sistem pendidikan Islam secara dinamis agar tidak tertinggal dengan sistem pendidikan yang lain. Umat Islam harus dipacu dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang pengetahuan dan teknologi.

Karena ketertinggalan pendidikan Islam lebih sering karena kurangya inovasi dan kreatifitas dalam sistem pendidikan Islam. Atas dasar kerangka ini rumusan tujuan pendidikan Islam disusun, dengan harapan adanya peningkatan kualitas dalam pendidikan Islam.. Pembentukan kesadaran individu perlu diperhatikan dalam rumusan tujuan pendidikan Islam. Seorang muslim secara umum, disamping mempunyai kesadaran pribadi, harus pula mempunyai kepekaan terhadap perkembangan jaman. Pendidikan Islam seharusnya disamping bertujuan membentuk insan kamil(13) turut andil dalam pembentukan individu yang memiliki kepekaan sosial terhadap pembentukan keadilan dimuka bumi. Rumusan pendidikan Islam yang hanya berorientasi pada pembentukan insan kamil dalam artian transendental saja tidak cukup. Karena realitas sosial tidak bisa hanya melalui pribadi-pribadi yang sempurna secara transenden.

Islam adalah ajaran yang menciptakan keadilan tidak hanya untuk membentuk individu secara sempurna dalam arti yang sebenarnya, melainkan turut serta dalam pembentukan sistem sosial. Pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembangunan individu melalui terwujudnya insan kamil, harus segera ditambah orientasinya dengan kepekaan sosial, jadi kurang lebih insan kamil yang mempunyai kepekaan sosial, manusia sempurna yang memiliki kepekaan sosial. Karena itu harus ada keseimbangan. Keseimbangan di sini bukan berarti melanggengkan stabilitas tanpa mengadakan perubahan, karena stabilitas pada gilirannya menjadi senjata ampuh untuk membungkam perempuan dan melanggengkan kekuasaan laki-laki di atasnya. Untuk itulah teori yang dapat menjustifikasi bias gender hendaknya dihindari dalam penyusunan rumusan tujuan dalam pendidikan Islam. Islam mengakui semua potensi kemanusiaan. Potensi menjadi individu yang sempurna, persamaan derajat kemanusiaan, potensi menjadi khalifah termasuk potensi menjadi hamba. Metode pendidikan dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan semua materi pelajaran dalam kegiatan mengajar, sekaligus dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Pendidikan Islam seperti yang telah diteliti di atas masih banyak menggunakan metode yang masih bias gender.

Metode sensitif gender dalam proses pendidikan dapat dioptimalkan dengan cara tidak membedakan perbedaan seks dalam proses belajar mengajar. Para aktifis feminis mengenalkan metode yang tidak mengandung bias gender dan diberi nama metode androgini (androgyny). Metode pendidikan androgini marak menjadi diskusi kalangan kaum feminis pada tahun 1970-an(14). Metode androgini berasal dari bahasa latin, yaitu andro yang berarti pria, dan gyne yang berarti perempuan. Pendidikan androgini adalah pendidikan yang memperkenalkan konsep bebas gender kepada anak laki-laki dan perempuan. Konsep pendidikan ini berbeda dengan konsep pendidikan konvensional yang berasumsi bahwa anak laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Karena itu prinsip yang harus dikedepankan adalah: . Prinsip komunikasi secara terbuka bila dilaksanakan dalam bentuk metode akan menghasilkan metode dialogis dalam pendidikan(15). Dalam prinsip ini guru mendorong siswa untuk membuka diri terhadap lingkungannya.

Lingkungan yang terdiri dari guru, siswa lain dan bahan-bahan yang dibahas dalam prose belajar mengajar. Prinsip keterbukaan akan membantu siswa untuk dapat memahami lingkungannya, dan pada akhirnya akan senantiasa kritis terhadap segala persoalan atau problematika yang muncul dalam masyarakat. Kekritisan siswa perlu dibina sejak dini. Siswa perlu diberi kebebasan dalam pertanyaan, berpendapat dan mempunyai hak untuk menerima bahkan menolak argumen dari guru. Kekritisan siswa juga perlu dipupuk dengan pemahaman struktur sekolah, antara hubungan kepala sekolah dan guru, kepala sekolah dan murid, pihak sekolah dengan masyarakat. Pengetahuan yang demikian dapat membantu siswa, memberi stimulus dalam belajarnya, karena siswa merasa hidup dalam lingkungan realita. Sedangkan metode dialogis yang merupakan implementasi dari prinsip komunikasi ini, harus dilakukan dengan dasar bahwa siswa disamping diberi kebebasan secara luas, harus pula menghargai kebebasan orang lain. Adanya kebebasan yang dimiliki orang lain dapat memberi pelajaran bagi siswa, bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama dan kewajiban yang sama. Kebebasan yang tanpa kendali akan menjadikan menusia mendominasi manusia lain.

Sehingga terjadilah penindasan dan terjadilah ketidakadilan.. Prinsip tanpa membedakan jenis kelamin dalam pendidikan adalah prinsip yang dipakai oleh konsep pendidikan androgini. Dalam pendidikan konvensional, ada pembedaan yang jelas pada siswa yang didasarkan pada jenis kelamin. Anak laki-laki diberikan mainan berupa mobil-mobilan dan alat-alat peperanngan, seperti pistol-pistolan, pedang, dan lain sebagainya, sementara anak perempuan diberi mainan boneka dan diberi alat masak.

Tidak ada komentar: