Selasa, 25 Maret 2008

Selamet apa aan itu

Selamet”, orang Jawa mudah sekali meluncurkan kata ini dari mulut mereka. Khususnya kala menghadapi peristiwa istimewa. “Selamet” adalah kata kunci (password) untuk memahami budaya Jawa. Idiom ini menjadi kata kunci dalam segala perilaku hidup mereka. Dari kata ini muncul istilah “selametan”.

Selamet adalah cita-cita dan tujuan hidup orang Jawa. Selamet sebagai cita-cita begitu sentral dalam pandangan dunia orang Jawa. Sebagai contoh, bila ada yang hendak bepergian, maka yang ditinggal mengucapkan doa, “Muga-muga selamet”, atau “Nyangoni selamet” (kuberi bekal doa keselamatan). Bandingkan, misalnya, dengan orang Inggris yang mengucapkan “Good luck” (semoga beruntung) kepada orang yang hendak pergi.

Antropolog Koentjaraningrat mendefinisikan “selamet” dalam khazanah Jawa itu sebagai: “a state in which events will run their fixed course smoothly and nothing untoward will happen to anyone” (keadaan di mana segala peristiwa berjalan dengan lancar seperti diharapkan dan tak ada satu pun kejadian merugikan yang menimpa pada siapapun). “Selamet” juga berarti selamat di dunia dan di akhirat. Baik selamat dari gangguan orang lain, binatang buas, marabahaya (kecelakaan) maupun bencana alam. Sebab, alam dalam pandangan dunia Jawa, bisa sangat buas, di samping bisa mendatangkan barokah dan keuntungan.
Dus “selamet “ juga merefleksikan pandangan hidup orang Jawa yang tidak membedakan antara masyarakat dan alam. Alam dan masyarakat saling terkait satu sama lain. Manakala terjadi sesuatu pada alam, bencana misalnya, maka itu berhubungan dengan perilaku orang perorang atau masyarakat. Karena itu, orang harus menjaga harmoni dengan alam. Ia harus menyelaraskan perilakunya dengan alam.

Jika kita bandingkan dengan Islam, kita menemukan titik kesesuaian. Islam juga menekankan keselamatan sebagai tujuan hidup utama. Dalam Al-Quran kita dibimbing untuk berdoa meminta keselamatan di dunia dan akhirat. “Tuhan kami, berilah kami kehidupan yang baik di dunia dan baik di akhirat serta selamatkan kami dari api neraka.” Kita pun diajari untuk memanjatkan doa keselamatan (salam) untuk saudara-saudara muslim yang kita jumpai.

Sebenarnya, tentang pentingnya keselamatan ini tidak hanya disadari oleh orang Jawa dan orang Islam, tapi juga orang lain. Misalnya, tulisan “Safety first” yang terdapat di bengkel kerja atau industri mereka, dengan sangat jelas menunjukkan hal tersebut: keselamatan itu nomor satu. Ya, untuk apa untung banyak kalau tidak “selamet”.
Islam juga menekankan saling berkaitnya kejadian alam dengan apa yang diperbuat manusia atau sekelompok orang. Bacalah firman Allah yang sangat terkenal ini, “Sudah tampak kerusakan di darat dan di laut lantaran apa yang diperbuat oleh manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan (akibat dari) sebagian yang mereka perbuat, agar mereka kembali (ke jalan Allah).”

Belakangan ini kita melihat arus kebalikan dari budaya Jawa tadi, termasuk pada orang Jawa yang berada di lapis elit. Mereka seolah melupakan “selamet” sebagai unsur penting pembentuk budaya mereka. Contoh, baru beberapa bulan kita menyelenggarakan Konferensi PBB untuk perubahan iklim di Bali, pemerintah kita (yang dikomandani wong Jowo) sudah mengeluarkan peraturan soal alih fungsi hutan industri dan hutan lindung, di mana pembukaan hutan untuk pertambangan, jalan tol, pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan lain-lain diizinkan dengan tarif sangat murah. Contoh lain, kita tahu betapa kerap dan hebatnya banjir yang melanda Jakarta. Toh, Gubernur DKI masih juga menerapkan kebijakan yang mendorong pendirian bangunan-bangunan untuk bisnis dan usaha. Berarti, mereka tidak lagi menomorsatukan “selamet”, melainkan keuntungan.

Pada kenyataannya, Pulau Jawa saat ini jauh dari “selamet”. Berbagai bencana terjadi bertubi-tubi. Dari satu bencana ke bencana lain. Dari satu daerah ke daerah lain. Nyaris semua daerah sudah mendapat giliran. Berarti, alam sangat murka. Dan karena kita semua percaya bahwa di balik alam itu ada kekuatan Mahaagung, yaitu Allah, maka berarti Allah sedang marah atau mungkin menguji kita, lantaran perbuatan kita. Entah perbuatan itu, dalam hukum kausalitas, mengakibatkan bencana bersangkutan secara langsung ataupun tidak langsung.

Celakanya, ada usaha untuk memutus keterkaitan bencana alam itu dengan (perbuatan) kita. Yang paling ekstrem adalah ulah sebagian dari anggota Dewan kita yang terhormat. Sudah jelas semburan lumpur di Sidoarjo itu akibat pengeboran. Sudah sejak lama pula para ahli menemukan fakta bahwa penyebabnya adalah keteledoran PT Lapindo Brantas yang tidak memasang pengaman (casing). Eh, tiba-tiba Tim Pengawas Penanggulan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) bentukan DPR RI menyimpulkan bahwa semburan lumpur itu bencana alam, bukan bencana akibat ulah manusia.

Ai, jangan-jangan sudah banyak orang Jawa yang tidak lagi njawani. Banyak orang Jawa yang tidak jowo (satu ungkapan yang berarti bijak)

1 komentar:

korban lapindo mengatakan...

Selamet masih ada mas Asikin, yang tetap kritis dan menyuarakan kebobrokan wakil rakyat kita tentang masalah Lapindo.

korbanlapindo