Rabu, 19 Maret 2008

Menjadikan rosul sebagai uswah

“Bilamana bertambah-tambah penyelidikan manusia tentang perjalanan hidup Nabi Nuhammad SAW, niscaya orang akan mengetahui dan dapat memecahkan soal apa yang menjadi sebab beberapa juta hamba Allah memeluk agama Islam pada masa yang telah lalu dan pada masa sekarang”. (Monsieur John Serou, History of Muhammad, 2006)

Memasuki bulan Rabi’ul Awwal, kaum Muslimin khususnya di Indonesia selalu merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, baik dengan cara yang sederhana seperti menyelenggarakan pengajian-pengajian di rumah, langgar, musala, dan masjid, maupun memperingatinya secara besar-besaran dengan menyelenggarakan pengajian akbar di lapangan terbuka. Ada juga peringatan lain yang unik seperti menyelenggarakan pasar malam Sekaten.
Pemerintah Indonesia sendiri menjadikan peringatan maulid Nabi ini sebagai hari libur nasional, untuk menghormat dan mengenang keteladanan beliau. Meskipun sudah berpuluh-puluh tahun memperingati maulid Nabi SAW, umat masih tetap terbelakang. Ibadah yang dilakukan baru terbatas pada ritual-sakral bagi dirinya sendiri, sehingga belum memberikan kontribusi terhadap lingkungan sosialnya, apalagi untuk memecahkan masalah ekonomi, pendidikan, teknologi dan sebagainya.
Hal tersebut disebabkan karena mayoritas umat Islam masih parsial dalam menaati, mengikuti dan meneladaninya. Padahal Nabi Muhammad SAW adalah sosok sempurna untuk dijadikan sebagai uswah hasanah dalam segala hal, baik sebagai pribadi, sebagai kepala rumah tangga maupun sebagai pemimpin umat.

Rasulullah sebagai Pribadi
Sebagai manusia, Nabi Muhammad SAW adalah seperti manusia lain dalam hal naluri, fungsi fisik dan kebutuhannya, tetapi berbeda dalam sifat-sifat dan keagungannya. Beliau adalah manusia yang memiliki akhlak yang mulia. Sejak masih muda Muhammad sudah memperlihatkan budi pekerti yang luhur, sehingga ia di kenal dengan sebutan al-Amin (orang yang dapat dipercya).
Gelar al-Amin yang disandangnya menjadi berkah bagi penduduk Makkah. Pada waktu terjadi perselisihan antara kepala suku di kalangan kaum Quraisy, misalnya, tentang siapa yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad, maka Muhammad dipilih sebagai sosok yang dinilai layak untuk meletakkan batu hitam itu. Keputusan itu sekaligus dapat meredam munculnya konflik antarsuku saat itu
Dalam sejarah dikisahkan, saat beliau memberitahukan kepada istrinya tentang wahyu yang diterimanya, dan ia mengatakan: “Aku mencemaskan diriku”. Kemudian Khadijah menjawab: “Tidak, demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu, selamanya. Karena Engkau biasa menyambung silaturahim, memikul beban, dan membantu orang yang kehilangan akal”. (H.R. Bukhari).
Begitupula ketika ‘Aisyah ditanya tentang kepribadian beliau, ia mengatakan: “Akhlak Nabi adalah Al Qur’an.” Beliau adalah pribadi yang penyayang (Q.s. At Taubah: 128), dermawan, murah hati, zuhud terhadap dunia, merasa cukup dengan yang sedikit, lembut, pemaaf, tidak marah selain karena Allah, hormat kepada sesama, jujur, senang menyambung silaturahim dan mengabdi hanya kepada Allah.
Sifat-sifat tersebut diakui oleh semua orang termasuk oleh orang-orang yang memusuhinya. Dalam hal ini pula kita bisa menyimak kembali dialog antara Heraclius (raja Romawi) dengan Abu Sufyan (yang saat itu masih kafir), perihal Nabi Muhammad SAW.
Heraclius: “Siapakah di antara kalian yang nasab-nya (keturunan) lebih dekat kepada orang yang mengaku nabi ini?”
Abu Sufyan: “Saya orang yang paling dekat dari segi nasab.”
Heraclius (berkata kepada pembantunya): “Suruh dia mendekat kepadaku, juga kawan-kawannya, aku akan bertanya kepada kepadanya. Dan katakan kepada mereka (kawan-kawan Abu Sufyan) Jika ia berdusta, katakan dusta.”
Kata Abu Sufyan—saat menceritakan peristiwa ini kepada Ibnu ‘Abbas—”Demi Allah, seandainya bukan karena aku malu diteriaki pendusta oleh mereka, pasti aku akan berdusta tentang dia (Rasulullah SAW).
Heraclius: “Bagaimana nasab-nya di kalangan kalian?”
Abu Sufyan: “Dia memiliki nasab yang terhormat di kalangan kami.”
Heraclius: “Adakah sebelumnya orang yang mengaku nabi?”
Abu Sufyan: “Belum pernah ada.”
Heraclius: “Adakah di antara nenek moyangnya yang menjadi raja?”
Abu Sufyan: “Tidak ada.”
Heraclius: “Apakah para pengikutnya (berasal dari) orang terpandang atau orang-orang lemah?”
Abu Sufyan: “Orang-orang lemah.”
Heraclius: “Para pengikutnya semakin bertambah atau berkurang?”
Abu Sufyan: “Terus bertambah.”
Heraclius: “Adakah orang yang murtad karena benci kepada agamanya, setelah ia masuk?”
Abu Sufyan: “Tidak ada.”
Heraclius: “Pernahkah kalian menuduhnya berdusta sebelum ia mengaku sebagai nabi?”
Abu Sufyan: “Tidak pernah.”
Heraclius: “Pernahkah dia berkhianat.”
Abu Sufyan: “Tidak pernah. Dan kami saat ini tidak tahu apa yang sedang dia lakukan.” (kata Abu Sufyan-saat menceritakan hal itu: “Saya tidak bisa mengucapkan kata-kata yang dapat membuat keraguan di hati Heraclius selain kalimat itu.”).
Heraclius: “Kalian memeranginya?”
Abu Sufyan: “Ya.”
Heraclius: “Bagaimana (hasil) pertempuran kalian dengannya?”
Abu Sufyan: “Pertempuran antara kami dengannya silih berganti, kadang dia menang kadang kami yang menang.”

Tidak ada komentar: