Rabu, 19 Maret 2008

Nalar Pendidikan islam

nouck Hurgronye pernah mengatakan, untuk melemahkan bangsa Indonesia caranya adalah dengan memisahkan generasi mudanya dari pendidikan agama (waktu itu pendidikan masih terpusat di pesantren-pesantren). Apa yang diucapkan Snouck Hurgronye itu disambut cermat oleh penjajah Belanda dengan menerapkan kebijakan “politik etis”, dengan program utamanya adalah mendidik anak-anak boemi poetra.

Dalam perkembangannya terkuaklah niat busuk Belanda dalam pendidikan ala politik etis itu. Motivasinya tidak lain hanyalah untuk mencetak pekerja-pekerja administratif di pabrik-pabrik yang dibangun untuk kerja paksa, karena untuk mendatangkan te­naga ahli dari Belanda memerlukan gol­den yang sangat tinggi.
Sekelumit petikan sejarah di atas seti­daknya menggambarkan bagaimana se­jarah pendidikan bangsa ini berlangsung. Kalau pendidikan ala politik etis bertu­juan menjadikan generasi bangsa ini se­bagai budak dan robot kapitalistik, maka pola pendidikan Barat saat ini bertujuan me­nciptakan agen-agen pengembang ka­pitalisme. Sejak berproses dalam dunia pen­didikan mulai tingkat dasar hingga jen­jang perkuliahan, kita hanya disuguhi dan dicekoki dengan pola pendidikan Barat, yakni, pola pendidikan yang hanya men­cetak generasi materialistik, egois dan abai dengan moralitas.

Hakikat Pendidikan Islam
Proses penanaman ideologi kapitalis­me dalam dunia pendidikan di Indonesia sudah berlangsung sangat lama semenjak Orba berkuasa di negeri ini, dan upaya tersebut telah berhasil membentuk main­strem bangsa. Tidak bisa dimungkiri keba­nyakan orangtua yang menyekolahkan anak­nya selalu menginginkan anaknya itu mu­dah mendapatkan pekerjaan. Bahkan, parameter kesuksesannya adalah ketika sang anak mendapatkan pekerjaan yang ma­pan. Padahal dalam Islam tujuan pen­didikan adalah untuk mencerdaskan ge­ne­rasi bangsa. Kalau generasi bangsa ter­sebut cerdas maka Allah akan mengang­kat derajat bangsa tersebut di atas bang­sa-bangsa yang lain: “…niscaya Allah akan mengangkat beberapa derajat di antara kamu orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu…” (Q.s. Al-Mujadilah [58]: 11).
Pemikir Barat selalu mengatakan pen­didikan adalah proses memanusiakan ma­nusia. Maksudnya membiarkan manusia berkembang sesuai dengan kehendaknya masing-masing (how to be) atau setiap in­dividu bebas menentukan keinginannya. Asas utama pendidikan Barat ini jelas men­citrakan kepentingan ego atau liberalis­me. Sehingga, wajar jika di Barat masya­rakatnya lebih menuntut “hak” ketim­bang menunaikan “kewajiban” manusia satu dengan yang lainnya, dan HAM yang kita lihat sebenarnya berakar untuk me­ngu­kuhkan semangat liberalisme.
Pendidikan dalam Islam sangat ber­beda dengan pandangan Barat. Dalam Is­lam kata pendidikan artinya mengendali­kan diri, memelihara, menguasai dan mem­bina. Yang dibina dari diri atau indivi­du tentu saja adalah potensi kodrati yang dimiliki manusia.
Manusia secara kodrati dikaruniai tiga potensi, yakni akal (kognisi), indra (afeksi), dan nurani (hati). Hal ini diperjelas dalam Al-Qur’an surat An-Nahl [16]: 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu­mu dalam keadaan tidak mengetahui se­suatu pun, dan Dia memberi kamu pende­ngaran, penglihatan dan hati, agar kamu ber­syukur.” Tiga komponen itulah yang akan mempengaruhi perilaku manusia (psikomotorik), maka dalam pendidikan ke­tiga potensi tersebut harus dikem­bangkan secara seimbang. Apabila salah satu dari ketiga potensi itu tidak seimbang maka seseorang akan tumbuh secara tidak normal.
Pendidikan yang hanya menekankan pada pengoptimalan kognisi (IQ) akan mencetak manusia cerdas dan pintar namun berkepribadian buruk. Pendidik­an yang hanya berorientasi pada pengem­bangan rasa atau afeksi (EQ) akan meng­ha­silkan manusia yang berbudi pekerti namun cenderung pasif seperti robot dan menerima kondisi apa adanya (pasrah atau fatalistik). Sedangkan pendidikan yang hanya memfokuskan pada perbaikan nurani atau spiritualitas (SQ) akan meng­hasilkan hamba yang shalih namun tidak tanggap terhadap realitas dan kesenjang­an sosial sehingga cenderung egois.
Di dunia Barat yang tingkat individua­li­tas dan materialistiknya tinggi sebenarnya merupakan dampak dari pola pendidikan yang hanya mengembangkan kognisi belaka. Ciri khas pendidikan Barat ada dua, yakni konsepsi egoistik—seba­gaimana yang disebutkan sebelumnya— yang mengajarkan bagaimana manusia menjadi (how to be) dan konsepsi mate­rialistik yang mengajarkan bagaimana ma­nusia bekerja (how to do). How to be meng­ajarkan manusia menjadi egois dan how to do mengajarkan manusia menjadi ka­pitalistik. Hal penting yang dilupakan Ba­rat adalah mengajarkan bagaimana ma­nusia hidup bersama dengan lainnya ber­sama-sama (how to live with others together).
Bila ditilik lebih jauh Islam lebih kom­prehensif, yakni, menginginkan pola pen­didikan totalitas untuk menciptakan insan kamil, yakni, manusia yang memiliki akh­lak dan prilaku yang baik, berpengeta­huan, cerdas dan kreatif, serta peduli de­ngan yang lain. Dalam paradigma Qur’ani out put pendidikan itu selain mening­kat­kan kecerdasan juga menambah kepe­kaan sosial, sekaligus meningkatkan ke­takwaan. Kata lainnya pendidikan itu me­ngembangkan keshalihan individual, sosial dan spiritual.
Problem Filosofi Pendidikan
Persepsi awal seseorang tentang pen­didikan sangatlah berpengaruh pada pro­ses pendidikan itu sendiri. Sudut pan­dang yang berbeda mengenai pendidikan akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda pula tentang pendidikan. Dalam pendidikan Barat, perbedaan persepsi ter­sebut akhirnya menghasilkan tiga alir­an pendidikan, yakni nativisme, empi­risme dan konvergensi.
Nativisme berasal dari kata natives yang artinya pembawaan. Pengertian na­tivisme dalam kamus paedagogik diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebakatan. Aliran ini menyatakan bahwa, perkembangan manusia ditentukan oleh sifat-sifat bawaan sejak lahir. Untuk kali per­tama, aliran ini dikembangkan oleh Scho­penhaeuer, seorang filosof berke­bangsaan Jerman. Ia beranggapan yang ja­hat tidak akan berubah menjadi baik ka­rena pendidikan, paling tinggi hanya ber­hati-hati. Begitu pula sebaliknya, yang baik tidak akan berubah menjadi buruk ka­rena teladan yang negatif. Jadi, baik dan bu­ruknya manusia menjadi bawaan sejak lahir, taken for granted.
Empirisme berasal dari kata empiris yang artinya pengalaman. Penganut aliran ini beranggapan bahwa, pembawaan itu tidak ada, yang dimiliki seseorang adalah akibat dari pendidikan entah itu sifat baik dan buruk. Selanjutnya aliran ini berpan­dangan bahwa, pendidikan sangat ber­kuasa membentuk seseorang. Seorang anak menurut John Locke, dengan teori ta­bula rasa, diumpamakan seperti selem­bar kertas yang dapat ditulis menurut ke­hendak yang menulis. Jadi, baik dan bu­ruknya anak itu disebabkan karena, faktor eks­ternal yang membentuknya. Apabila, ling­kungannya baik maka anak tersebut akan menjadi baik. Begitu pula sebaliknya apa­bila, lingkungannya buruk maka anak itu akan menjadi buruk.
Aliran ini berpandangan bahwa, ke­dua komponen, baik itu internal (nativ­isme) dan eksternal (empirisme), sama-sama bekerja membentuk kepribadian se­seorang. Jadi, proses perkembangan indi­vi­du itu adalah hasil dari kerja sama dari bakat dan lingkungan yang memben­tuknya.
Berbeda dari aliran di atas, Islam me­miliki pandangan dan konsepsi tersendiri tentang manusia. Dalam surat An-Nahl [16]: 78, dijelaskan bahwa manusia terlahir dalam keadaan suci (fitrah) dan tidak tahu apa pun, seperti kertas putih. Untuk per­tama kali yang akan mempe­ngaruhi bayi tersebut lingkungannya, dalam hal ini Hadits menyebut orang tuanyalah yang akan membentuk ia menjadi majusi, Na­srani dan muslim. Kemudian Allah meng­ajarkan manusia segala sesuatu yang tidak diketahui (Al-‘Alaq [98]: 5). Dengan tiga po­tensi dasar (akal, rasa dan nurani) manu­sia berproses untuk menjadi baik mau­pun buruk (asy-Syams [91]: 8-10).
Surat asy-Syams [91]: 8-10, “Maka Allah meng­ilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguh­nya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”, menjelaskan bahwa, baik dan buruk itu sudah digariskan oleh Allah. Tinggal bagaimana manusia bersikap. Ingin menyucikan diri atau tidak? Konteks pendidikan Islam adalah mengelola diri sehingga, yang tampak adalah fungsi ketakwaan. Jadi, dengan sendirinya dua aliran lainnya, empirisme dan nativisme runtuh.

Tidak ada komentar: