Rabu, 19 Maret 2008

Keteledoran umat

Ketika Timur Tengah dijajah oleh dunia Barat, maka sejak dari Afghanistan sampai Mesir dan Turki, para pemikir Islam mencuatkan gagasan-gagasan kemerdekaan dan kedaulatan negeri-negeri Muslim.
Setelah Perang Dunia II, muncul persaingan keras antara Kapitalisme dan Sosialisme, maka para ulama Timur Tengah, terutama ulama-ulama Al-Azhar, mencoba mencuatkan pemikiran Islam, yang sesungguhnya lebih dekat ke Kapitalisme atau lebih dekat ke Sosialisme. Ternyata, dengan sedikit banyak ekstrapolasi, maka dikatakan Sosialisme lebih dekat kepada Islam. Tetapi juga banyak yang mengatakan, Kapitalisme sesungguhnya tidak terlalu bertabrakan dengan Islam. Karena di sana, digarisbawahi pentingnya kerja keras, kompetisi yang fair, serta keinginan untuk membawa kemakmuran di tengah-tengah masyarakat. Tetapi itulah yang berkembang di Timur Tengah, selalu merupakan reaksi belaka dari perkembangan situasional.
Sekarang, saya yakin bahwa yang sedang menggelayuti para pemikir Islam selalu berkaitan dengan masalah globalisasi. Kemudian, masalah Palestina yang tidak atau belum pernah selesai. Begitu juga masalah-masalah yang berkaitan dengan proteksi atau perlindungan terhadap sumber daya alam yang diincar oleh kekuatan-kekuatan Barat.
Kalau persoalan wanita menggunakan jilbab atau tidak, boleh menjadi sopir, menjadi polisi atau bahkan tentara, kontes kecantikan boleh diadakan atau tidak, itu semua sesungguhnya sudah merupakan masalah laten dari zaman ke zaman. Tetapi, tidak pernah ada finalisasi terhadap masalah-masalah tersebut. Taruhlah masalah jilbab. Masalah ini menjadi kontroversi yang berkepanjangan. Kemudian, apakah wanita boleh menjadi sopir, mendapatkan SIM, dan lain-lain, itu semua juga tidak ada henti-hentinya.
Sesungguhnya, kalau dikembalikan kepada prinsip Al-Qur’an yang jelas, maka tidak perlu kontroversi-kontroversi seperti itu. Karena, pada dasarnya, tinggal pertanyaan tunggal, apakah mereka mau mentaati Al-Qur’an atau tidak. Jadi, kalau tidak mau mentaati Al-Qur’an, tidak usah membuat dalih-dalih. Seperti misalnya, orang tidak bisa mengendalikan diri minum alkohol, tidak usah dia mengatakan bahwa yang dilarang itu yang memabukkan, kalau tidak memabukkan dianggap boleh, dan lain-lain. Sementara alkohol itu sendiri, secara umum, punya potensi memabukkan.
Oleh karena itu, saya tidak terlalu prihatin dengan hal-hal yang seperti itu, kontroversi masalah-masalah fiqhiyyah. Saya justru lebih prihatin mengenai masa depan dunia Islam yang diberi kesempatan oleh Allah untuk bangkit kembali, tetapi karena keteledorannya, maka sebagian dari mereka dicengkeram kembali oleh kekuatan Barat.
Secara politik-militer, memang umumnya dunia Islam sudah merdeka dari imperialisme. Tetapi, imperialisme itu kemudian kembali lewat saluran ekonomi, jalur perdagangan, dan finansial, menduduki dominasi mereka di Timur Tengah dan dunia Islam pada umumnya.
Di sini, memang ada negara-negara Islam yang berhasil mendepak imperialisme secara total. Tetapi, ada juga yang masih menyisakan imperialisme tetap bertengger di negeri mereka. Contoh yang menarik saya kira tetangga kita, Malaysia. Jadi, Malaysia itu bebas politiknya, bebas ekonominya, dan bebas diplomasinya, dari cengkeraman dunia Barat. Sementara kita, secara politik, kelihatannya sudah merdeka, tetapi secara ekonomi, keuangan, perdagangan, bahkan mungkin pertahanan, masih tunduk di bawah kepentingan asing.
Nah, hal-hal seperti ini barangkali yang perlu ditonjolkan dalam perdebatan pemikiran Islam. Mana yang lebih fundamental, mana yang sifatnya cabang atau ranting, dan bukan masalah-masalah ushul atau masalah-masalah pokok.l

Tidak ada komentar: