Rabu, 19 Maret 2008

Partisipasi politik perempuan

Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan memiliki beban yang sama untuk berkiprah dalam dakwah dan arena publik lainnya, sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Allah berfirman dalam QS At-Taubah ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka yang ta’at kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa kewajiban amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan) dan nahy munkar (mencegah kemungkaran) dalam artian seluas-luasnya, berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Taklif (beban) perempuan sama dengan laki-laki dalam berbagai kewajiban syariat, kecuali sesuatu yang dikhususkan oleh Allah bagi laki-laki atau perempuan.
Ayat di atas menekankan satu bentuk tanggung jawab manusia untuk berdakwah. Dalam perspektif dakwah, dunia politik hanyalah salah satu media untuk berdakwah (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) - disamping lewat media sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dengan pemahaman tersebut, perempuan memiliki tanggung jawab dakwah yang sama dengan laki-laki, termasuk dapat pula hadir di kancah politik untuk kepentingan dakwah. Dalam prespektif yang lebih luas, dakwah bisa dipahami sebagai upaya menghadirkan perbaikan atau reformasi serta menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Kalau kita runut sejarah kenabian, tercatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran publik bersama kaum laki-laki. Dalam baiah aqobah kedua (sumpah setia muslimin kota Madinah), yang menyatakan kesetiaan kepada agama Islam dan kepemimpinan Rasulullah SAW, maka masyarakat muslimin Madinah mengutus 70 orang, dua orang di antaranya dalah perempuan, untuk mewakili komunitas muslim Madinah. Dalam konteks kultural pada waktu itu, pengakuan akan eksistensi dan perwakilan perempuan adalah sebuah perlawanan budaya yang sangat tegas. Karena di zaman itu memiliki anak perempuan saja masih malu dan aib, apalagi melibatkan perempuan dalam kancah publik.
Dalam rentangan sejarah Islam, sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Mereka mengobati yang luka dan bahkan memanggul senjata di medan juang. Imam Bukhari meriwayatkan perkataan salah seorang shahabiyat (muslimah yang hidup di zaman Nabi): “Kami dulu berperang bersama Rosululloh SAW, memberi minum dan melayani tentara dan kami juga membawa pulang mereka yang terbunuh dan terluka ke Madinah”.
Para istri Nabi, seperti Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan Fathimah (Putri Nabi) juga tampil ke kancah publik. Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manager pasar di Madinah.
Kiprah perempuan dalam arena publik juga dapat ditelusuri dalam pentas sejarah nasional bangsa Indonesia. Perjuangan kaum perempuan di masa penjajahan kolonial tak kalah heroiknya dengan kaum pria. Kita kenal Cut Nyak Dien, tokoh pejuang perempuan yang tangguh asal Aceh, Cut Meutia, juga Kartini, yang hingga kini namanya sering dijadikan simbol gerakan emansipasi perempuan.
Dewasa ini, banyak dijumpai perempuan yang aktif berkiprah di ruang publik (politik). Seperti aktif menjadi politisi, anggota parlemen, menteri, dan meraih posisi di jabatan publik lainnya. Oleh karena itu, upaya berbagai kalangan untuk menuntut kuota 30% bagi perempuan dalam politik, menurut saya, cukup relevan dengan dinamika masyarakat saat ini.
Dari paparan itu sudah sangat jelas bahwa Islam tidak pernah dan tidak akan memasung perempuan untuk berkiprah di sektor publik, termasuk berpartisipasi di dunia politik, sepanjang tidak melanggar fitrah dan norma-norma Islam yang sudah sangat jelas. Resistensi terhadap kiprah perempuan di dunia politik terjadi karena adanya kekhawatiran dengan terjunnya kaum perempuan ke sektor publik, seperti politik, bisa mengabaikan fungsi fitrahnya, sebagai ibu bagi anak-anak dan sebagai istri bagi suaminya, sebuah peran yang sangat dihargai dalam pandangan Islam. Sepanjang fitrah perempuan itu tidak terabaikan dan kaum perempuan bisa menjaga integritasnya sebagai seorang muslimah yang baik, menurut hemat saya, tidak ada halangan bagi perempuan Islam untuk berpartisipasi dalam dunia politik.
Persoalannya kembali kepada kaum perempuan sendiri. Mampukah di tengah rimba perpolitikan yang begitu kompleks, keras dan banyak wilayah abu-abu, kaum perempuan tetap menjaga marwah dan izzah-nya sebagai seorang ibu, istri dan muslimah yang baik

Tidak ada komentar: