Rabu, 19 Maret 2008

Tawasuth sebaik baik Perkara

Nabi pernah bersabda bahwa khoirul umuuri aussaathuha (sebaik-baik perkara atau tindakan ialah yang tengah-tengah atau moderat). Dalam Al-Baqarah 238 Tuhan berfirman: “khaafidluu ‘alaa shalawaati wa al-shalaati al-wustha” (peliharalah segala shalatmu dan perliharalah shalat wustha). Sebagian menafsir shalat wustha ialah shalat di tengah-tengah dan yang paling utama. Ada yang menafsir shalat ashar, tapi mayoritas memahami sebagai mengerjakan shalat sebaik-baiknya.

Berbagai tafsir itu sebenarnya semakna yakni moderat dalam arti kebaikan yang meliputi semua hal seperti Hadits Nabi di atas. Lalu apa makna dakwah tawasuth seperti judul artikel ini? Pertanyaan itu bisa dijawab dengan penjelasan dalam uraian berikut yang berkaitan dengan model dakwah terbaik sesuai dengan objek atau sasaran dakwah.
Dari sini pula makna toleransi terkait dengan tawasuth tersebut. Seringkali makna ini dikaitkan kedudukan pemeluk Islam sebagai ummatan wasathan ketika Islam seperti merangkum ajaran yang diwahyukan kepada para rasul dan nabi sebelum Muhammad saw. Di sisi lain sebutan itu mengandung idealisasi hipotetis posisi terbaik keadaban madani bagi pemeluk agama tersebut.
Makna itu berkait dengan pluralitas keagamaan dan tradisi sosial sebagai bagian pengalaman historisnya. Di suatu daerah penanda warga meninggal ialah pemasangan bendera putih, di tempat lain merah atau kuning. Di suatu daerah keranda jenazah dibuat sesaat, di lain tempat dibuat permanen. Namun, ada kesamaan mengenai pemasangan bendera dan alat angkut jenazah tersebut. Penanda ini berlaku bagi warga dengan agama berbeda. Cara melamar gadis, jumlah dan bentuk mahar berbeda-beda, meski semuanya memeluk Islam atau memeluk agama berbeda. Demikian pula dalam pesta perkawinan, perayaan desa, 17-an atau muludan dan muharoman (suroan).
Bentuk-bentuk kelakuan publik itu pun terus berubah dan berkembang, walaupun terdapat sejumlah hal yang tetap dipertahankan. Di suatu daerah cara duduk yang dinilai sopan di tempat lain bisa dipandang melecehkan. Kadang seorang warga marah ketika warga dari tempat lain mengecam tradisi yang biasa dilakukannya.
Satu Islam dan Al-Qur’an muncul dalam seribu tradisi yang asal-usulnya dikenali, banyak yang tidak. Semangat ber-Muhammadiyah sama, tapi dalam seribu bentuk berbeda. Di kawasan pesisir dan pasar cenderung lebih keras dibanding pedalaman. Tradisi gerakan ini di Sumatera atau luar Jawa berbeda dengan di Jawa. Di Jawa Tengah berbeda dengan Jawa Barat dan Jawa Timur, dan seterusnya.
Suatu masa gerakan ini tampak anti sufi, di masa Kiai Ahmad Dahlan banyak yang nyufi. Di satu sisi dakwah kultural dipandang kurang murni, di sisi lain dipandang sebagai strategi cerdas. Seluruhnya menunjuk perubahan gerakan ini akibat pergesekan budaya yang masih terus berlangsung. Di sini pluralitas merupakan keniscayaan yang membutuhkan tolerensi atau tawasuth.
Sering kepentingan ekonomi, politik, dan pekerjaan menjadi sumber kekuatan muncul dan berlakunya sejumlah nilai; baik-buruk, benar-salah, dan ideologi di suatu masyarakat. Sering pula sesorang atau sekelompok orang tidak menyadari sebagai pembawa dan penyebar nilai dan keyakinan ideologis tertentu.
Soalnya, bagaimana pengamalan Islam mampu menunjukkan bukti kerahmatan bagi semua orang dalam beragam kepemelukan dan tradisi keagaman. Di sinilah makna ide Kiai Ahmad Dahlan membuat sekolah, panti asuhan, rumah sakit, walaupun dicap sebagai praktik kekafiran. “Mitos” Al-Ma’un semestinya dipahami sebagai cara menafsir Al-Qur’an dan Islam sehingga benar-benar bisa memecahkan problem sosial dan ekonomi yang dihadapi rakyat. Cara inilah yang dikonsep Fazlur Rahman sebagai gerak dua arah atau double movement atau tafsir pragmatis.
Dakwah tawasuth didasari strategi bagaimana Islam bisa disajikan dalam beragam menu sesuai tingkat sosial-ekonomi dan tradisi di atas prinsip: manusiawi (ngewongke - jw), mempermudah dan menggembirakan (taisir dan tabsyir). Di sini pula maksud rasionalisasi di pedesaan dan spiritualisasi (sufistisasi) bagi masyarakat kota. Demikian pula aksi pemberdayaan sosial-ekonomi melalui pemanfaatan tradisi lokal bagi masyarakat desa dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah.

Tidak ada komentar: