Rabu, 12 Maret 2008

Sahabat Juga bermaulid

Dalam kitab-kitab maulid atau rawi, kita dapat menjumpai kalimat-kalimat pujian atas Rasulullah saaw yang sebenarnya dikutip dari Al-Qur`an, hadits, atau pun perkataan para shahabat.

Paman Nabi, Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib pernah berkata: Wahai Nabi, engkau adalah cahaya Allah SWT yang diletakkan pada sulbi Nabi Adam as, sehingga ketika Nabi Adam as turun ke muka bumi ini, engkau ikut turun ke muka bumi bersama Nabi Adam as. Lalu nabi Adam as melahirkan anaknya, dan anaknya melahirkan keturunan, sehingga engkau bersama Nabi Nuh as ketika banjir besar melanda kaumnya, sehingga engkau berada di sulbi para laki-laki mulya yang menikahi wanita-wanita suci, sehingga engkau dilahirkan oleh ibumu dengan cahaya yang terang benderang, dan sungguh hingga kini kami masih dalam naungan cahayamu.

Kalimat-kalimat pujian di atas itu akan kita dapati di dalam kitab-kitab maulid seperti dalam kitab maulid Ad-Diba’i. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa Sayyidina Abdullah bin Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi saaw bersabda: Sesungguhnya ada seorang Quraisy yang saat itu masih berwujud nur di hadapan Allah 2000 tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu bertasbih kepada Allah. Dan bersamaan dengan tasbihnya itu bertasbih pula para malaikat mengikutinya. Ketika Allah akan menciptakan Adam, nur itu pun diletakkan pada tanah liat asal kejadian Adam. Lalu Allah menurunkan nur itu ke muka bumi melalui punggung Nabi Adam. Dan Allah membawaku ke dalam kapal dalam tulang sulbi Nabi Nuh as, dan menjadikan aku dalam tulang sulbi Nabi Ibrahim Al-Khalil, ketika ia dilemparkan ke dalam api. Tak henti-hentinya Allah memindahkan aku dari rangkaian tulang sulbi yang suci, kepada rahim yang suci dan megah. Hingga akhirnya Allah melahirkan aku melalui kedua orangtuaku yang sama sekali tidak pernah berbuat serong.
(Jika kita melihat silsilah Yesus dalam Alkitab, tentu kita akan tercengang oleh moyang Yesus yang pernah berbuat serong, yaitu Yehuda dan Tamar.)

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa para shahabat pun terkadang berkumpul bersama Nabi saaw, dan mereka membacakan syair-syair pujian di hadapan Nabi saaw dan beliau saaw tidak melarang mereka, bahkan Rasulullah saaw mendoakan mereka sebagai tanda keridhoan beliau saaw atas perkataan mereka yang sesungguhnya tidak menyimpang dari Syari’atul Muthohharoh.

Bukan Muhammad namanya jika tidak boleh dipuji. Beliau dinamakan Muhammad, karena beliau memang pantas dipuji. Ketika kita memuji beliau saaw, sesungguhnya kita telah memuji Pencipta beliau. Jika Anda telah memuji istri dan anak Anda dengan ‘cahaya mata’, mengapa Anda enggan memuji Muhammad Rasulullah? Jika Anda telah memuji kecantikan isteri Anda, mengapa Anda tidak memuji keluhuran Muhammad Rasulullah saaw? Jika Anda mengagungkan Ka’bah sebagai qiblat Anda, mengapa Anda tidak mengagungkan Muhammad Rasulullah? Memuji dan mengagungkan Rasulullah bukanlah suatu bentuk penyembahan kepada beliau, sebagaimana ketika kita shalat menghadap Ka’bah bukanlah suatu bentuk penyembahan kepada Ka’bah.

Jika Anda beri’tiqad bahwa memuji dan mengagungkan Rasulullah itu syirik, maka jangan lagi Anda shalat menghadap Ka’bah, toh kemana pun Anda menghadap, disitu Anda dapati Wajah Allah. Dan jangan lagi Anda mencium Hajar Aswad. Jangan lagi Anda bersa’i antara Shofa dan Marwah. Jangan lagi Anda berthawaf mengelilingi Ka’bah. Karena berdasarkan i’tiqad tersebut, semua itu adalah merupakan penyembahan kepada Ka’bah, Hajar Aswad, Shofa, dan Marwah.

Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 158]

Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. [QS. Al-Hajj: 30]

Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [QS. Al-Hajj: 32]

Adakah sesuatu yang lebih terhormat dari Muhammad Rasulullah saaw di sisi Allah? Siapakah yang namanya berdampingan dengan Nama Allah di pintu surga? Siapakah nama yang disebut Nabi Adam as untuk bertawassul ketika beliau melakukan suatu kesalahan? Tidak layakkah Muhammad Rasulullah saaw untuk diagungkan oleh orang-orang yang bertaqwa? Tidak ada makhluq yang lebih layak untuk diagungkan daripada Muhammad Rasulullah saaw. Kerena beliau saaw adalah makhluq paling terhormat di sisi Allah.

Dari Umar ra. Ia berkata: Rasulullah SAAW bersabda, “Tatkala Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Rabbku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad akan dosa-dosaku, agar Engkau mengampuniku.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana kamu mengenal Muhammad sedang Aku belum menciptakannya (sebagai manusia) ?” Adam menjawab: “Wahai Rabbku, tatkala Engkau menciptakanku dengan Tangan-Mu dan meniupkan ruh-Mu ke dalam diriku, maka Engkau Mengangkat kepalaku, lalu aku melihat di atas kaki-kaki arsy tertulis ‘Laa Ilaaha illallaah Muhammadur Rasuulullaah’ sehingga aku tahu bahwa Engkau tidak menambahkan ke dalam Nama-Mu kecuali makhluq yang paling Engkau cintai.” Lalu Allah Berfirman: “Benar engkau wahai Adam, sesungguhnya Muhammad adalah makhluq yang paling Aku cintai, berdoalah kepadaku dengan haq dia, maka sungguh Aku Mengampunimu. Sekiranya tidak ada Muhammad, maka Aku tidak menciptakanmu.” [HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz 2 halaman 615, dan beliau mengatakan shahih. Juga Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Ibnu Taimiyah mengutipnya dalam kitab Al-Fatwa juz 2 halaman 150, dan beliau menggunakannya sebagai tafsir/penjelasan bagi hadits-hadits yang shahih]

Pembacaan rawi dalam perayaan-perayaan maulid bukanlah suatu perkara bid’ah, karena sebenarnya hal itu juga telah dilakukan para shahabat di hadapan Rasulullah saaw. Begitu juga dengan berdiri ketika “Asyroqol” atau pun “Thola’al”, itu bukanlah suatu bid’ah. Karena kita hanya meniru-niru shahabat. Dengan demikian, kita bisa merasakan apa yang dirasakan shahabat pada saat itu, yaitu kegembiraan yang hanya bisa dirasakan dan sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Dengan meniru tindakan para shahabat tersebut, kita merasa bahwa jiwa kita menyatu dengan jiwa mereka, atau jiwa kita seakan kembali ke masa ketika Rasulullah saaw tiba di Madinatun Nabi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Pembacaan Maulid/Rawi dan segala kaifiatnya itu bagaikan pertunjukkan drama dimana kita berperan sebagai para shahabat yang sedang menyambut kekasih mereka saaw; bagaikan napak tilas kehidupan para shahabat ketika mereka hidup berdampingan dengan sang kekasih saaw. Kita memang tidak hidup sezaman dengan Rasulullah saaw, tetapi kita dapat merasakan bahwa Rasulullah saaw selalu mendampingi kehidupan kita. Spirit seperti inilah yang dicoba untuk dibangkitkan oleh ulama, yaitu kehidupan ummat yang selalu merasakan kehadiran Rasulullah saaw. Spirit yang timbul dari pancaran jiwa Muhammad Rasulullah saaw. Rasa seperti ini tidak dapat dipahami, kecuali oleh mereka yang selalu merindukan pertemuan dengan kekasih mereka, Muhammad Rasulullah saaw.

Tidak ada komentar: