Minggu, 16 Maret 2008

Renungan Perbedaan Maulid boleh dan tidak

MOHON DI RENUNGKAN DAN HORMATI PENDAPAT SAY INI.
“Andai aku punya emas sebesar gunung Uhud, aku akan lebih suka menginfakkannya untuk merayakan Maulid Nabi” (Hasan al-Bashri)
erdebatan mengenai tradisi Maulid telah mengemuka sejak abad edelapan Hijriyah. Perdebatan ini bisa dibaca dari banyaknya karya para intelek kontemporer (ulama khalaf) yang berbicara mengenai tradisi ini. Diantaranya, al-Lafzh al-Ra’iq fi Maulid Khair al-Khala’iq, karya al-hafizh Muhammad bin Abi Bakrar bin Abdullah al-Qisi al-Dimasyqi al-Syafi’i (w. 842H). Al-Mauridu al-Hani fi al-Maulid al-Sani, karya Al-hafizh Abdurrahim bin al-Husain bin Abdurrahman al-Mishri, yang dikenal dengan al-hafizh al’Iraqi (w. 808 H). Al-Maurid al-Rawi fi al-Maulid al-Nabawi, karya Al-hafizh al-mujtahid Mulla ‘Ali al-Qari bin Sulthan bin Muhammad al-Harawi (w. 1014 H) dan masih banyak karya lain yang tidak perlu disebut.

Bila dirunut sejarahnya, ada dua pendapat yang menengarai awal munculnya tradisi Maulid. Pertama, tradisi Maulid pertama kali diadakan oleh khalifah Mu’iz li Dinillah, salah seorang khalifah dinasti Fathimiyyah di Mesir yang hidup pada tahun 341 Hijriyah. Kemudian, perayaan Maulid dilarang oleh Al-Afdhal bin Amir al-Juyusy dan kembali marak pada masa Amir li Ahkamillah tahun 524 H. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Al-Sakhawi (w. 902 H), walau dia tidak mencantumkan dengan jelas tentang siapa yang memprakarsai peringatan Maulid saat itu.

Kedua, Maulid diadakan oleh khalifah Mudhaffar Abu Said pada tahun 630 H yang mengadakan acara Maulid besar-besaran. Saat itu, Mudhaffar sedang berpikir tentang cara bagaimana negerinya bisa selamat dari kekejaman Temujin yang dikenal dengan nama Jengiz Khan (1167-1227 M.) dari Mongol. Jengiz Khan, seorang raja Mongol yang naik tahta ketika berusia 13 tahun dan mampu mengadakan konfederasi tokoh-tokoh agama, berambisi menguasai dunia. Untuk menghadapi ancaman Jengiz Khan itu Mudhaffar mengadakan acara Maulid. Tidak tanggung-tanggung, dia mengadakan acara Maulid selama 7 hari 7 malam. Dalam acara Maulid itu ada 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju dan 30.000 piring makanan. Acara ini menghabiskan 300.000 dinar uang emas. Kemudian, dalam acara itu Mudhaffar mengundang para orator untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin. Hasilnya, semangat heroisme Muslimin saat itu dapat dikobarkan dan siap menjadi benteng kokoh Islam.

Sejatinya, dua pendapat di atas sama-sama benar. Alasannya, karena peringatan Maulid tidak pernah ada sebelum abad ketiga dan diadakan pertama kali oleh Mu’iz li Dinillah, dan ini hanya bertempat di Kairo dan masih belum tercium ke lain daerah. Sedangkan Mudhaffar adalah orang pertama yang memperingati Maulid di Irbil, yang dari Mudhaffar inilah peringatan Maulid mendunia.

Maulid sebagai Bidah Hasanah

Hal baru yang tidak ada di masa para pendahulu (salaf salih) tidak bisa diklaim sebagai bid’ah sesat secara keseluruhan. Bila sedemikian, maka banyak sekali tradisi-tradisi —yang memiliki tendensi hukum syara sebab dicakup oleh kaidah universal— diklaim sebagai bid’ah sesat.

Tentang bid’ah, Imam Syafi’i, Izzuddin bin Abdissalam, Imam Nawawi dan banyak imam lain mengatakan bahwa bid’ah diklasifikasi menjadi lima. Ada wajibah, mandubah, makruhah, mubahah dan muharrmah. Termasuk tradisi peringatan Maulid.

Ulama sepakat bahwa tradisi Maulid bukan sunnah. Bahkan, bila ada yang meyakini bahwa tradisi Maulid harus diadakan pada hari-hari tertentu maka dia telah berbuat bid’ah (ibtida’) yang keji dalam agama. Demikian ini telah ditegaskan Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki. Menurutnya, tradisi Maulid adalah bid’ah yang hasanah (mandubah). Dia mengatakan, tradisi Maulid dinilai bid’ah dilihat dari sisi berkumpul bersama-sama dan dinilai hasanah karena memiliki tendensi-tendensi hukum syara dalam entri-entri kegiatan di dalamnya. Di dalam peringatan Maulid terdapat dzikir, shalawat, memuliakan Nabi dan sedekah, yang kesemuanya dianjurkan oleh syara.

Pendapat lain juga dijelaskan oleh Abu Bakar Sayyid Bakri ibn Sayid Muhammad Syatha al-Dimyathi. Dia mengutip banyak pendapat yang sepakat atas hukum bid’ah hasanahnya memperingati Maulid, diantaranya, pendapat Imam Suyuthi, Imam as-Subki, Ahmad bin Zaini Dahlan dan Imam Abu Syamah.

Abu Syamah mengatakan memperingati Maulid adalah paling baiknya bid’ah. Perayaan Maulid itu, di samping juga sebagai momen bersedekah, sebagai bukti akan kebahagiaan dan kecintaan Muslimin kepada Nabi Muhammad saw. Untuk hal ini, ada baiknya dikutip pendapat Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah mengatakan Muslimin yang memperingati Maulid atas niat yang tulus dan atas dasar cinta kepada Nabi Muhammad saw, maka akan mendapat pahala, bukan atas bid’ahnya. Oleh karena itu, pada saat yang sama Ibnu Taimiyah memberikan solusi agar bid’ah yang terjadi dalam peringatan Maulid diganti dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan syara. Jadinya, peringatan Maulid akan mendapatkan pahala penuh.

Maulid Sebagai Media Dakwah

Di era ini Muslimin berada dalam hegemoni Barat dan cenderung menjadi bulan-bulanan. Tidak jarang Muslimin saat ini menangkap informasi tidak berimbang dan selalu menguntungkan Barat. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa sejarah Barat adalah sejarah kebohongan yang ditampilkan dalam frame yang begitu sistematis.

Pada keterjebakan posisi ini Muslimin mendambakan kembalinya kejayaan Islam pada abad-abad terdahulu dan Muslimin tahu bahwa kekalahan Muslimin berada pada titik kurangnya konsolidasi antar-negara Islam dunia. Pertanyaan, di mana kiprah OKI (Organisasi Konfrensi Islam) selaku organisasi persatuan Islam dunia, sering muncul namun tidak pernah mendapat jawaban riil.

Artinya, momen-momen show of force (unjuk kekuatan), seperti peringatan Maulid dan perayaan besar lainnya, sudah sepantasnya tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Momen-momen besar Islam seperti itu sangat berpotensi dan efektif untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin, bukan hanya pada taraf nasional tapi internasional. Di Indonesia saja, peringatan Maulid ini telah diposisikan sebagai hari libur nasional dan satu-satunya hari besar nasional yang diperingati di dalam Istana Negara.

Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki menyatakan bahwa peringatan Maulid adalah kesempatan emas (furshah dzahabiyah) untuk membangkitkan kembali semangat membela Islam dalam tubuh Muslimin. Bahkan, kesempatan ini dinilai sebagai target utama diperingatinya hari kelahiran Nabi Muhammad ini.

Bila kembali pada sejarah, di atas sudah dijelaskan bahwa peringatan Maulid awal mulanya diadakan sebagai langkah untuk menyalakan api semangat dalam tubuh Muslimin ketika berhadapan dengan ancaman asing. Padahal, untuk masa ini Muslimin lebih berkepentingan untuk menyalakan kembali semangat Islam. Karena kondisi masa yang sedemikian ruwet, dan ditambah dengan keterjebakan Muslimin di bawah hegemoni asing, sudah saatnya peringatan Maulid tidak dilihat dari sisi bid’ah hasanah-nya, sebab sisi ini telah disepakati memiliki ekses yang positif bagi Muslimin. Tapi dipandang dari sisi sebagai momen konfederasi-konsolidasi Muslimin tingkat internasional demi ‘izzul Islam wal muslimin.





Refrensi:

- Al-Maliki, Sayyid Muhammad bin Alwi. Haul al-Ihtifal bi Dzikra al-Maulid al-Syarif.

- Al-Maliki, Sayyid Muhammad bin Alwi. Mafahin Yajibu an Tushahhah.

- Sayyid Bakri, Abi bakar bin Muhammad Syatha al-Dimyathi. I’anat al-Thalibin. Der al-Fikr (1422/2002).

- Mahfudz, Syaikh Ali. Al-Ibda’ fi Madlar al-Ibtida’. Der al-Kutub al-Ilmiyah (1422/2001)

- Ensiklopedi Islam untuk Pelajar.

Tidak ada komentar: