Minggu, 17 Februari 2008

Suka dg penderitaan lain

Selesai sudah sebuah riwayat seorang anak Adam. Usai dirawat sekian lama dan menyedot perhatian yang begitu luar biasa, akhirnya malaikat Izrail datang mencabut nyawanya, pertanda Sang Khalik sudah memanggilnya.

Beragam reaksi yang muncul. Ada yg bersedih, ada yg bergembira, ada yg bersorak-sorak, ada juga yg menanggapi dengan biasa.

Soeharto, bagi banyak kalangan, dianggap mempunyai dosa yang begitu menggunung. Banyak korban aturan/kebijakannya yg merasa diperlakukan begitu tidak adil. Bahkan banyak yg mati tidak ketahuan rimbanya.

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap?

Terlepas dari kesalahan2 yg pernah dilakukan, seorang muslim tidak etis dan tidak pantas merayakan kematian seseorang (sekalipun dianggap musuh), terlebih orang tersebut masih saudara kita (sesama muslim). Mari kita tengok contoh dari suri tauladan kita, Rasululloh SAW, ketika salah satu musuh terbesar beliau, Abu Jahal, tewas di kancang perang Badr. Apakah beliau lantas bersuka cita dan ‘mensyukuri’ matinya, apalagi bersorak sorai.

Sepanjang sejarah yg aku baca, aku tidak temukan perasaan suka cita yang dilakukan Rasululloh SAW setiap ada musuh2nya mati. Beliau tetap tenang, karena beliau tahu jauh ke depan.

Setiap yg wafat/berpulang ke Rahmatullah, akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan amalannya di dunia. Jika di dunia sering berbuat onar/ricuh serta melakukan banyak kejahatan, insya ALLOH siksaan dari malaikat sudah menunggu. Demikian juga halnya jika banyak berbuat kebajikan selama di dunia, insya ALLOH kemudahan akan didapat.

Daripada kita meributkan keadaan Soeharto, lebih baik kita tengok dan muhasabah diri kita sendiri. Seberapa banyak amal yg sudah kita siapkan untuk menyongsong ajal yg akan datang (tanpa kita ketahui)? Siapkah kita jika malaikat Izrail datang mencabut nyawa kita? Apa yang kita lakukan saat kita wafat nanti? Sedang beribadah dan berbuat kebajikan? Atau malah sedang asyik berbuat maksiat?

Jangankan meributkan, untuk mengomeli saja rasanya sudah tidak pantas.

Langkah ‘netral’ untuk menyikapi wafatnya Soeharto adalah bersikap sesuai dengan hak dan kewajiban kita selaku muslim. Sebagai seorang muslim yg wafat, maka sudah haknya untuk disholatkan (sholat jenazah) dan didoakan serta dikuburkan dengan layak.

Sementara kasus pengadilan yang dialamatkan kepadanya, ‘lupakan’lah. Pengadilan dunia sudah saatnya diarahkan kepada kroni2nya yang masih hidup dan menikmati hasil korupsi. Soeharto akan mendapat jatah pengadilannya (sesuai amalannya) sejak masuk liang lahat kelak, insya ALLOH.

Tidak ada komentar: