Minggu, 17 Februari 2008

Makna Berpakain Dalam Islam

Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah pohon itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga.

(Q.S Al-A’raaf [7]: 22)

Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Lepizig, Jerman di bawah pimpinan Dr. Mark Stoneking - yang dikutip oleh Koran Tempo, edisi 3 Oktober 2003 dari jurnal ilmiah ‘Current Biology’ - menemukan bahwa ternyata kutu kepala merupakan cikal bakal dari kutu badan, sedangkan kutu badan yang senang bersembunyi di tempat-tempat yang gelap hanya muncul setelah manusia mengenakan pakaian.

Di sini para peneliti mencoba menghitung jumlah mutasi DNA pada kutu badan dan kutu rambut sehingga dengan penelitian tersebut mereka berpendapat bahwa manusia baru mengenal pakaian pertama kali sekitar 72.000 tahun yang lalu. Menurut mereka, nenek moyang kita – homo sapiens - yang berasal dari Afrika merasa gerah dan kemudian sebagian ada yang berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain, dan ada yang bermukim di daerah dingin. Di sanalah konon awal mula mereka mengenal pakaian yang terbuat dari kulit hewan guna menghangatkan badan. Barulah sekitar 25.000 tahun yang lalu ditemukan cara menjahit kulit.

Anda boleh setuju atau tidak \dengan pandangan di atas. Terlepas dari benar tidaknya, Alqur’an telah menceritakan kisah Adam dan Hawa, bahwa keduanya tidak hanya sekedar menutupi auratnya dengan selembar daun, akan tetapi daun di atas daun agar auratnya benar-benar tertutup. Ini menunjukkan bahwa menutup aurat merupakan fitrah manusia yang diaktualkan kembali dalam kisah Adam a.s. dan istrinya. Apa yang dilakukan oleh pasangan nenek moyang kita itu dinilai sebagai awal usaha manusia untuk menutupi kekurangan-kekurangannya, menghindar dari apa yang tidak disenanginya serta memperbaiki penampilan dan keadaan yang mendorong terciptanya sebuah peradaban.

Upaya mereka berpakaian rapi, dengan menutup aurat juga mengisyaratkan bahwa berpakaian rapi - sebagaimana dikehendaki agama - dapat memberikan rasa tenang dalam jiwa pemakainya. Ketenangan batin ini merupakan salah satu dampak yang dikehendaki oleh agama. Betapapun agama atau kepercayaan, bahkan masyarakat memperkenalkan pakaian-pakaian khusus yang sesuai selera, kebutuhan atau bahkan simbol suatu kepercayaan tertentu. Masyarakat Tuareg di gurun Sahara, Afrika Utara misalnya, menutupi seluruh tubuh mereka dengan pakaian, agar terlindungi dari panas matahari dan debu pasir.

Masyarakat di kutub, lebih memilih pakaian tebal yang terbuat dari kulit domba untuk menghangatkan tubuh mereka. Kini tersebar pakaian jas buat pria. Walau, pakaian ini pada mulanya dipakai oleh buruh pabrik untuk menunjukkan rasa tidak senang kepada para bangsawan yang berpakaian mewah tetapi kini yang terjadi adalah sebaliknya, justru orang-orang kaya dan berkedudukan sosial tinggi yang memakainya. Di Mesir ada sekelompok biarawan Kristen Ortodoks yang memakai pakaian beserta alas kaki yang berwarna hitam. Bahkan mereka membiarkan jenggot dan rambut mereka yang hitam terurai tanpa dicukur. Mereka merasa bahwa dalam pakaian serba hitam itu mereka menemukan kedamaian. Warna hitam itupun mereka pertahankan hingga masuk liang lahat. Sementara negara menetapkan pakaian-pakaian dengan model dan warna tertentu bagi angkatan perangnya, untuk membedakan dengan angkatan perang negara lain. Hal ini disebabkan karena pakaian dianggap sebagai pembeda antara seseorang atau masyarakat dengan orang atau masyarakat lain. Bahkan, ada lambang-lambang dan tanda-tanda khusus dalam angkatan bersenjata untuk membedakan status dan pangkat seseorang. Begitulah fungsi pakaian sebagai pembeda atau pengenal.

Di sisi lain, pakaian juga berkaitan erat dengan rasa estetika atau keindahan. Seseorang yang berada di pedalaman papua ketika mengenakan pakaian koteka ratusan tahun yang lalu, pastilah ada unsur keindahan yang ditampilkanya sebagaimana dengan para diplomat di negara maju yang mengenakan jas dan black tie pada acara khusus. Demikian, pandangan terhadap keindahan berbeda antara satu dengan yang lain.

Islam tidak menekankan suatu pakaian tertentu, bahwa yang ditekankan hanyalah batas minimal yang harus ditutup serta fungsi pakaian. Alqur’an mengisyaratkan lima fungsi pakaian antara lain: 1) melindungi dari sengatan panas dan angin, 2) menjadi perisai dalam peperangan. Allah SWT berfirman: ”Dan Dia jadikan bagi kamu pakaian yang memelihara kamu dari panas dan pakaian dari (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan” (Q.S. An-Nahl [16]: 81), 3) sebagai perhiasan, 4) sebagai penutup apa yang dianggap buruk oleh agama dan atau oleh pemakainya, dan 5) sebagai identitas/ pembeda antara seseorang dengan yang lainnya. Allah SWT berfirman:”Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ’Hendaklah mereka mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu’. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Ahzaab [33]: 59).

Warna pun sebenarnya tidak ditetapkan, walau warna putih merupakan warna yang sangat disenangi dan yang paling sering menjadi pilihan Nabi Muhammad saw. Namun tentunya, warna ini menjadi pilihan beliau SAW bukan saja karena warna putih tidak menyerap panas matahari, yang merupakan iklim umum di jazirah Arab dan sekitarnya, tetapi juga mencerminkan kesenangan pemakainya terhadap kebersihan karena sedikit saja noda pada pakaian putih akan segera tampak. Di sisi lain, ini menunjukkan kesederhanaan, karena dengan memilih satu warna tertentu, orang tidak akan mengetahui berapa jumlah pakaian Anda.

Adanya pakaian merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jiwa, karakter, tingkah laku, serta emosi pemakainya. Bahkan identitas seseorang dan garis besar cara berfikirnya-pun dapat diketahui dari pakaiannya. Orang tua yang memakai pakaian anak muda dapat mengalir di dalam dirinya jiwa anak muda. Begitu pula dengan seseorang yang memakai pakaian kyai, dia akan berusaha berlaku sopan, demikian seterusnya. Namun, walau demikian, Alqur’an menyatakan bahwa pakaian ruhani (takwa) itu jauh lebih baik. “Dan pakaian takwa itulah yang paling baik” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 26).

Jika pakaian takwa ini dikenakan seseorang, maka akan terpelihara identitasnya dan lagi anggun penampilannya. Anda akan menemukan dia selalu bersih walau miskin, hidup sederhana walau kaya, terbuka tangan dan hatinya. Tidak membawa fitnah, tidak menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain. Bila beruntung dia bersyukur, bila diuji dia bersabar, bila berdosa ia istighfar, bila bersalah ia menyesal, dan bila dimaki ia tersenyum.

Keterbukaan aurat jasmani dapat ditoleransi oleh Allah bila ada kebutuhan mendesak, misalnya dalam rangka pengobatan. Sebab keharaman membukanya bertujuan menghindarkan manusia agar tidak terjerumus dalam sesuatu yang haram. Sebaliknya, tertutupnya aurat ruhani mengantar manusia untuk menutup jasmaninya.

Adalah suatu kekeliruan jika mengingkari pentingnya pakaian, tetapi lebih keliru lagi jika tidak selektif dalam memilih pakaian yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Demikian juga, sangat keliru jika mereka mengabaikan petunjuk-petunjuk agama dalam hal berpakaian. Maka, salahlah apabila seseorang dipuji karena memilih pakaian yang dianggapnya baik. Tetapi lebih salah lagi jika melarangnya suatu pakaian yang dinilai oleh agamanya baik.

”… yang demikian itu adalah sebahagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 26).

Tidak ada komentar: