Minggu, 17 Februari 2008

Pesan Moral

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

(Q.S. Al Ahzaab [33]: 21).

Rasulullah SAW bersabda: ”sesungguhnya aku diutus untuk menyenpurnakan akhlaq.” Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa Allah mengutus nabi Muhammad SAW adalah untuk menegakkan akhlaq. Dari sini dapat ditarik sebuah pemahaman yang lebih luas bahwa Allah mengutus para nabi dan rasul-Nya tidak lain adalah untuk menegakkan akhlaq atau moral manusia. Untuk memperlancar tugas suci ini Allah memberikan tuntunan melalui wahyu yang kemudian disebut dengan kitab suci. Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi terakhir dituntun dan dibantu dengan Al-Quran sebagai panduan yang dalam konteks ini adalah sebagai kitab pokok tuntunan moral, bukan karya ilmiah, bukan juga kitab hukum, tidak juga kitab politik, pun juga bukan kitab ekonomi dan lain sebagainya. Bahwa ada sebagian kecil ayat yang membicarakan masalah-masalah tersebut, hanyalah prinsip-prinsip dasar yang harus dikembangkan oleh manusia sendiri yang dikaruniai akal. Pesan dasarnya adalah bahwa semua kegiatan tersebut harus dilakukan sesuai dengan pesan moral agama yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut.

Adanya ayat-ayat hukum misalnya, ia dicantumkan sebagai ajaran untuk ditegakannya hukum yang pada dasarnya adalah sebagai pengawal nilai moral yang ada dalam Alqur’an. Dengan adanya aturan-aturan hukum maka manusia diharapkan dapat menegakkan keadilan yang merupakan ajaran moral yang universal. Sebagai perangkat untuk menciptakan keadilan, hukum, sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam General Theory of Law and State (1965), harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral, demikian dikatakan juga oleh Jeffrie Murphy dan Jules Coelman dalam The Philosophy of Law (1984).

Hukum adalah jaring terluar sebagai pengawal moral, artinya, minimal manusia menjalankan yang diperintahkan oleh hukum dan meninggalkan hal yang dilarangnya. Adapun maksimal adalah tidak terbatas, yaitu menjalankan moral-moral yang terekam dalam barisan ayat-ayat Alqur’an dan Sunnah. Oleh karena itu wajar bila ada yang mengatakan bahwa apabila masyarakat sudah bermoral maka ia tidak memerlukan hukum, karena moral lebih tinggi dari hukum. Demikian juga dalam masalah-masalah lainnya, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

Islam sebagai agama moral sudah kaya akan konsep-konsep, baik terkait dengan ketuhanan maupun kemanusiaan, konsep relasi yang sehat secara vertikal dan horizontal; seperti konsep tauhid, keadilan, persamaan, toleransi, sampai yang terkait dengan kebersihan. Konsep-konsep ini diturunkan dan disyariatkan adalah sebagai ajaran moral demi terciptanya relasi yang sakral vertikal antara manusia dengan Tuhannya dan relasi harmonis, dinamis, dan konstruktif fungsional horizontal yang profan antara manusia dengan manusia, serta dengan seluruh makhluk di muka bumi ini. Kedua relasi ini harus berjalan secara seimbang, karena kalau tidak maka manusia akan merasakan kehinaan. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran [3] ayat 112:

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.

Melihat fenomena sosial yang muncul dalam kehidupan sehari-hari kita Islam seolah tidak mempunyai konsep-konsep yang indah ini. Lalu apakah konsep hanya sekedar konsep yang hanya tertulis dalam kertas? Atau apakah pada dasarnya umat Islam sudah memahami konsep tersebut, akan tetapi membiarkannya mengendap dalam alam pikirannya dan bersemayam di dalam kantongnya? Atau kita sudah memahaminya dan melaksanakannya tapi hanya sekedar sebagai sarana untuk menciptakan keshalihan spiitual individu dan tidak tertransfomasikan secara luas ke dalam kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari?

Urgensi Transformasi Nilai Moral

Akhir-akhir ini, kerusakan alam sekitar kita semakin parah. Kerusakan yang terjadi bukan hanya kerusakan lahir, akan tetapi lebih dari itu, adalah kerusakan yang lebih parah, yaitu kerusakan batin atau kerusakan moral. Kerusakan lahir misalnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia, seperti penebangan hutan secara illegal (illegal loging), penambangan yang tidak mengindahkan prosedur, dan pembuangan sampah sembarangan yang mengakibatkan kerusakan besar yang sifatnya mikro yaitu timbulnya bencana, seperti banjir, dan tanah longsor, atau yang sifatnya makro yaitu pemanasan global. Pemanasan global telah menyebabkan perubahan cuaca dan iklim.

Belum lagi kerusakan antar sesama anggota masyarakat yang merugikan banyak orang seperti korupsi, kolusi, suap dan lain sebagainya. Pun juga bentuk tindak kekerasan, dan tindakan amoral yang terjadi antar sesama anggota masyarakat atau bahkan sesama anggota keluarga. Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang pembunuhan, perampokan, pergaulan bebas, pencabulan, aborsi, penggunaan obat-obatan terlarang dan lain sebagainya. Karena terlalu sering hal ini kta dengar sampai-sampai kita terbiasa dan kita seakan menganggapnya legal dan sesuai dengan norma kesusilaan. Padahal kita hidup dalam negara yang diklaim sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar sedunia. Juga diklaim sebagai negara hukum, negara bermoral, Negara dengan masyarakatnya yang religius, beradab dan klaim-klaim indah lainnya yang apabila didengar sangat menjukkan hati.

Kerusakan-kerusakan ini semua terjadi pada dasarnya berpangkal pada kerusakan moral atau akhlaq manusia. Hal ini terjadi salah satunya akibat manusia tidak menangkap pesan moral yang dibawa oleh nabinya, pesan moral yang terdapat dalam Alqur’an dan Sunnah. Atau mereka sebenarnya menangkap pesan-pesan tersebut hanya saja menjadikannya sebagai bahan kajian, sebagai mata pelajaran dan setelah itu dibiarkan mengendap di dalam otak tanpa ditransformasikan dalam perilaku sehari-hari.

Aktifitas sehari-hari yang kita kerjakan sering terjebak dalam arus kepentingan-kepentingan pragmatis yang selalu disertai dengan sikap egois. Kita mengklaim telah bermu’amalah sesuai dengan ajaran Alqur’an dan Sunnah, telah melaksanakan aktifitas ekonomi sesuai dengan syari’at Islam, telah melakukan kegiatan politik sesuai dengan ajaran nabi, atau telah mengembangkan kebudayaan sesuai dengan ajaran agama.

Klaim tersebut tidaklah sepenuhnya salah, namun sudah tentu tidak sepenuhnya benar. Saat ini harus diakui banyak terjadi kezhaliman dan penzhaliman dalam aktifitas-aktifitas tersebut. Dari aktivitas ekonomi, politik sosial, dan kebudayaan. Hal ini, sekali lagi, terjadi karena kita melupakan pesan moral yang ada dalam ajaran agama dan terjebak dalam kepentingan pragmatis kita, sehingga - misalnya - dalam kegiatan ekonomi kadangkala kita bersikap seperti kapitalis dan menzhalimi saudara kita dan kita tetap berdalih bahwa apa yang dilakukan telah sesuai dengan syari’at Islam. Atau dalam politik, menggunakan ayat-ayat dan hadits serta simbol-simbol agama, padahal semuanya adalah untuk kepentingan pragmatis pribadi dan golongan/ kelompok saja, jauh dari moralitas Islam.

Penulis berpandangan bahwa banyaknya kerusakan yang terjadi adalah bukan karena kegagalan agama dalam membangun masyarakat bermoral, melainkan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial. Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang wujudnya bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal (yang jumlahnya amat sedikit), agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tentram, tertib, dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dari sini juga dapat dipahami bahwa pada dasarnya syariat agama hanya untuk kebaikan dan kepentingan manusia. Tuhan sama sekali tidak mempunyai kepentingan sedikitpun akan syari’atnya, sebagaimana dikatakan “inna syari’ata mabnaha wa asasuha mashalihul ‘ibadi fi dunyaahum wa ukhraahum, bahwa sesungguhnya syariat itu dibangun dengan asas dan landasan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhiat.

Berangkat dari kenyataan di atas, melalui tulisan ini, penulis mengajak kaum muslimin untuk kembali memahami dengan seksama pesan-pesan inti agama, yaitu pesan moral, dan kemudian mentransformasikannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun sosial. Jangan sampai kita hanya bisa memahami namun tidak mau beraksi. Transformasi ajaran moral Islam dalam kehidupan masyarakat bisa dikatakan sebagai proses refleksi memahami wahyu paling dalam, the depth hermeneutic, dan ini harus berjalan secara dialogis agar menghasilkan aksi. Tujuan akhir dari transformasi ajaran moral agama ini adalah praksis sosial dalam masyarakat, baik dalam ekonomi, politik dan sebagainya agar tercipta masyarakat yang aman, tentram, sa’idun fil dunya wal akhirah

1 komentar:

Ardy mengatakan...

Assalamualaikum Wr. Wb. selamat berdakwah dengan tausiyahnya. Mas gimana hukumnya dalam membuat Warnet?