Minggu, 17 Februari 2008

Menipu Allah Bisakah?

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah [2]: 186).

Setiap kita tentu pernah berdoa. Akan tetapi sadarkah kita, bahwa doa yang kita lakukan berpotensi menjadi sebuah upaya menipu dan membohongi Allah? Melalui tulisan ini saya ingin mengajak saudara-saudara pembaca untuk mengevaluasi doa-doa yang pernah kita lakukan, mengapa dan kapan ia berpotensi menjadi upaya menipu Allah. Kemudian, juga untuk mengetahui apakah doa kita selama ini sudah benar atau belum.

Berdoa adalah sebuah aktivitas spiritual-transenden yang telah diajarkan sejak kecil, bahkan sejak sebelum kita bisa berpikir dan bernalar dengan sempurna. Sehingga terkadang ia kini terasa seperti rutinitas yang tampak kosong. Menjadi pertanyaan sekaligus misteri: kapan doa dikabulkan dan kapan tidak dikabulkan? Mengapa dikabulkan dan mengapa tidak? Sebagai manusia, kita tentu tidak bisa menjawab dengan pasti pertanyaan-pertanyaan tersebut karena tidak ada yang tahu apa alasan-alasan Allah SWT ketika mengabulkan atau tidak mengabulkan doa seorang hamba. Namun, kita bisa mengetahuinya melalui tuntunan agama yang bersumber dari Alqur’an dan Assunnah tentang bagaimana doa bisa diterima atau tidak.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 186 di atas, Allah SWT telah memberi patokan bilamana doa hamba diterima. Yakni harus memenuhi dua syarat utama, patuh (fal yastajiibuulii) dan beriman (fal yu`minuu bii). Quraish Shihab menafsirkan bahwa yang pertama dan utama dituntut dari setiap hamba yang berdoa adalah memenuhi dan mematuhi segala perintah Allah SWT. Nabi SAW pernah menyindir keadaan seseorang yang menengadah ke langit sambil berseru, ”Tuhanku, Tuhanku! (perkenankan doaku),” tetapi makanan yang dimakannya haram, pakaian yang dikenakannya haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?”.

Salanjutnya, ayat di atas memerintahkan agar seorang hamba yang berdoa percaya kepada-Nya. Bukan saja dalam arti mengakui keesaannya, tetapi juga percaya bahwa dia akan memilih yang terbaik untuk si pemohon. Bisa jadi Allah memperlakukan si pemohon seperti seorang ayah kepada anaknya. Kadang memberi sesuai permintaannya, di kali lain diberi-Nya yang tidak dia mohonkan, tetapi diberi-Nya yang lebih baik untuknya. Tidak jarang pula Allah menolak permintaannya, namun memberinya sesuatu yang lebih baik di masa mendatang. Nabi Muhammad SAW dalam hal ini bersabda, “Berdoalah kepada Allah disertai keyakinan penuh bahwa Allah akan memperkenankan.” (Shihab, 2005).

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa pengertian doa yang dikabulkan adalah ketika seorang hamba mendapat segala sesuatu yang terbaik (ingat, ‘terbaik’ di sini adalah relatif, kadang tidak bisa dinalar dengan logika manusia yang terbatas) dalam hidupnya dan juga orang-orang di sekelilingnya. Ia juga relatif, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Jadi, manusia tidak bisa memastikan apa bentuk pengabulan dan kapan pengabulan doa oleh Allah SWT itu datang.

Sekarang mari kita mengingat kembali doa-doa kita selama ini. Di antara hal-hal yang sering kita lakukan - yang mungkin menjadi salah satu sebab mengapa Allah SWT ‘enggan’ mengabulkan doa kita - adalah ternyata kita sering membohongi Allah. Kita bertindak pura-pura bodoh dan pura-pura tidak tahu bahwa Allah tidak bisa dibohongi. Biasanya kita akan rajin berdoa, beribadah, dan menjauhi maksiat kalau kita membutuhkan pertolongan Allah atas sesuatu yang sangat penting dan itu berada diluar jangkauan kemampuan kita untuk memutuskan. Jika tidak, kita jarang atau bahkan tidak pernah benar-benar berdoa. Kalaupun berdoa, biasanya doa-doa yang kita lakukan hanya sekedarnya saja. Hanya untuk pantas-pantasan setelah sholat berjamaah. Masak habis sholat langsung kabur, nanti malah dibilang seperti anak TK. Lain halnya kalau sholat sendiri, mau berdoa atau tidak, tak ada yang tahu.

Contoh sederhana, kita sebenarnya bukan termasuk tipe orang yang alim alias rajin beribadah. Kita bahkan termasuk orang yang sekali-kali atau mungkin seringkali melakukan kemaksiatan. Nah, suatu hari kita akan, sedang atau telah ikut ujian semester atau ujian skripsi. Tiba-tiba saja kita menjadi orang yang merasa atau sok paling dekat dengan Allah. Kita tiba-tiba menjadi orang yang paling alim sedunia. Sholat tahajjud tidak pernah surut, sholat lima waktu selalu tepat waktu - yang dilanjutkan dengan dzikir dan doa panjang, dst. Kita lalu berharap, bahwa dengan pendekatan yang kita lakukan, Allah akan bersedia ikut campur dalam pengambilan keputusan hasil ujian semester atau ujian skripsi yang kita jalani. Namun setelah semuanya jelas - apakah hasil ujian kita bagus atau tidak - kita segera mengucapkan selamat tinggal kepada sholat tepat waktu, sholat tahajjud, sholat dhuha, dan doa-doa khusyu’ yang pernah kita lakukan. Kita kembali menjauhi Allah SWT.

Terus terang, saya sendiri juga pernah melakukan hal ini, sering malah. Kadang saya tertawa-tawa sendiri kalau mengingat ketololan saya tersebut. Kalau kita sadar, apa yg kita lakukan sebenarnya adalah tindakan bodoh. Mengapa? Kita telah terang-terangan membohongi dan menipu Allah dengan berpura-pura menjadi orang alim dan rajin beribadah di saat kita butuh pertolonganNya. Pendekatan kita kepada Allah yang kita lakukan ternyata karena ada pamrih, karena ada kepentingan. Sedangkan ketika kita tidak merasa punya kepentingan apapun, kita menjauhiNya. Dan kita pura-pura tidak tahu bahwa Allah Maha Tahu dan tidak bodoh. Allah adalah Dzat Maha Segala. Dia bukan makhluk. Jangan pernah menganggap-Nya bersifat seperti manusia. Tidak seperti si Sissy, teman kuliah yang mudah dirayu dan dikibuli hanya dengan kata-kata gombal. Kalau kita mengikuti standar sufi agung, apa yang kita lakukan bisa jadi sudah termasuk kategori syirik, karena menyamakan Allah dengan makhluk. Menyamakan Allah dengan manusia yang bisa ditipu.

Allah SWT sendiri telah berfirman: Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlash [112]: 1-4).

***

Pada dasarnya doa adalah media komunikasi seorang hamba dengan Sang Pencipta. Doa adalah komponen pokok dari hampir semua amalan ibadah wajib maupun sunnah. Ibadah sholat misalnya. Kalau kita perhatikan, bacaan-bacaan sholat hakikatnya adalah doa dan dzikir. Dan sholat sendiri salah satu makna harfiahnya adalah doa. Artinya, ada kepentingan atau tidak, butuh pertolongan atas sesuatu atau tidak, berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT adalah sebuah keniscayaan bagi setiap mereka yang mengaku sebagai seorang mukmin dan muslim, kapanpun dan dimanapun.

Tidak ada komentar: