Kamis, 28 Februari 2008

Anti Stress Terapi Islami

Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang

melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak

akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

(QS. Ath-Thalaaq [65]: 7)

Kali ini saya ingin menceritakan kisah jenaka untuk Anda. Siapa tak kenal Nasrudin Hoja? Tokoh sufi khayalan yang satu ini sangat masyhur karena tingkahnya yang jenaka. Pernah suatu hari, ia terlihat duduk termenung. Pandangannya sesekali kosong. Dan jangankan lagi santai, sedang bekerja pun ia bisa terhanyut dalam kehampaan sesaat. Seseorang lalu menghampirinya. Ia heran, kenapa Nasrudin kelihatan tak bergairah. Ada apa gerangan? “Aku lagi stres. Pusing, tak jelas harus berbuat apa. Padahal, aku sudah serius bekerja,” katanya sembari menarik nafas panjang. Tarikan nafas itu cermin ketertekanan.

Ternyata, Nasrudin stres karena di mata majikannya, tak ada pekerjaannya yang dianggap beres. Ini salah, itu juga salah. Begitu pula di rumah. Istrinya selalu menyalahkannya. Hingga pernah suatu saat ia mengeluh pada istrinya: “Dulu, waktu baru nikah, setiap kali aku pulang ke rumah, kau membawakan sandalku, dan anjing kita menyambut dengan gonggongan. Kini terbalik, anjing kita malah yang membawakan sandal, dan kau yang menggonggong.”

Mendengar kegusaran Nasrudin, istrinya tak kalah tangkas menangkis. Perang mulut pun tak terelakkan. Masalah bertambah runyam karena anaknya ikut-ikutan mengatur. Tak disangka, rumah pun bisa jadi sumber “malapetaka” baginya. Tiada hari tanpa masalah. Nasrudin pun jadi uring-uringan. Karena itu, ia lebih senang menyendiri. Mungkin saja Nasrudin memahami sebuah ungkapan, “Kebenaran itu bukan untuk dipelajari, melainkan ditemukan dalam diam.”

Tidak mau terus-menerus dibebani masalah, Nasrudin pun putar akal. Ketemu obatnya. Ia lalu membeli sepatu nomor 40, kendati kakinya berukuran 42. Anda bisa bayangkan, Nasrudin yang disiksa stres lalu menciptakan stres tandingan dengan memakai sepatu kekecilan. Hasilnya, ia merasa plong kala melepas sepatunya, setelah seharian dirongrong stres. “Uh, leganya,” ujar Nasrudin cerah.

Ada-ada saja kelakuan Nasrudin. Namun, dari cerita ini bisa ditarik garis apa saja. Misalnya, bahwa sebenarnya kehidupan itu intinya ada di hati. Jika “hati itu gelap”, sulit menemukan kebenaran. Jadi, butuh “cahaya” Ilahi. Cahaya inilah yang akan menuntun kita menemukan kebenaran. Akan tetapi, cahaya itu tak selalu menyala terang. Saat angin bertiup sangat kencang, cahaya itu bisa padam dan keadaan menjadi gulita. Saat seperti itu, kita takkan mampu memahami masalah sendiri dengan dalam. Maka yang muncul kemudian adalah stres.

Hidup Tanpa Stres

Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia dilahirkan, manusia sudah mulai belajar mengenal sifat-sifat lingkungannya. Pun bagaimana cara menghadapinya. Proses ini berlangsung terus menerus dalam kehidupannya. Dalam proses itu, ada tuntutan terhadap masalah yang mewarnai kehidupan emosional seseorang. Entah itu emosi positif, seperti cinta, bahagia, dan senang; atau emosi negatif, seperti rasa takut, cemas, marah, tertekan, dan rasa bersalah. Situasi yang menekan tersebut merupakan pemicu timbulnya stres.

Stres merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, stres sudah menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Stres menyerang tidak pandang bulu. Ia datang akibat adanya situasi eksternal atau internal yang menimbulkan tekanan dan gangguan pada keseimbangan hidup seseorang. Stres biasanya menampilkan diri melalui berbagai gejala, seperti meningkatnya kegelisahan, ketegangan, dan kecemasan. Juga dapat tampil dalam perubahan pada perilaku: jadi tidak sabar, lebih cepat marah, atau menarik diri dari lingkungan sosial. Namun begitu, meski cukup sering mengganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif. Dalam hal-hal tertentu, stres memiliki implikasi positif. Istilah psikologisnya, eustress atau stres dalam artian positif, yakni keadaan yang dapat memotivasi dan berdampak menguntungkan. Misalnya, karena merasa tertinggal, seseorang memotivasi diri sendiri sehingga dapat berprestasi gemilang.

Dalam kajian psikologi populer, stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang dirasakan sebagai ancaman terhadap kesehatan fisik maupun psikologisnya. Karena itu, sebagian orang mendefinisikan stres sebagai tekanan, desakan, atau respon emosional. Dengan kata lain, stres merupakan keadaan tertekan di mana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuannya untuk mengatasi beban tersebut. Makanya, jika tidak ingin dirongrong stres terus menerus, kita perlu melakukan usaha-usaha untuk menguasai, mengurangi, menoleransi, dan meminimalkan tekanan-tekanan tersebut.

Lima belas abad silam, Allah ‘azza wa jalla telah memberi pencerahan. Dia yang Maha Pengasih menganjurkan manusia untuk bersabar ketika menghadapi berbagai kenyataan hidup. Kesabaran dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menghayati realitas yang terjadi, menyadari bahwa realitas itu diciptakan oleh Allah, dan kesediaan untuk menerima kenyataan yang boleh jadi tidak menyenangkan secara fisik pun psikis. Istilah ini juga dikenal sebagai kelapangdadaan (al-basith). Ketahuilah, tidak ada anjuran dari Sang Khaliq kecuali secara potensial manusia mampu melakukannya. Tidak ada anjuran untuk bersabar atau berlapangdada tanpa ada potensi untuk memiliki kelapangdadaan atau kesabaran. Karena itu, tidak ada alasan untuk stres. Mahabenar Allah dalam firman-Nya:

“Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu namamu (derajatmu)? Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah [94]: 1-5)

Tahajud sebagai Terapi

Telaah psikoneurologi menyebutkan bahwa masyarakat modern menjalankan aktivitas yang didominasi oleh keterlibatan otak kiri. Konsekuensinya adalah terbentuknya individu-individu yang mengedepankan rasionalitas seraya cenderung menihilkan keterlibatan emosionalitas dalam pelbagai aktivitas mereka. Daya analisisnya canggih, namun empatinya rendah. Retorikanya gegap-gempita, tapi penghayatannya akan masalah sunyi senyap. Sebuah fenomena yang umum sebagai hasil dari digunakannya satu sisi otak saja.

Untuk merekonstruksi masyarakat yang bertindak-tanduk demikian, dibutuhkan wahana yang mampu mengaktifkan kembali kebutuhan setiap individu untuk dapat menjadi lebih cerdas secara emosional dan spiritual. Tanda-tanda munculnya kembali rasa rindu khalayak luas akan kejernihan emosi dan kebeningan spiritual menunjukkan peningkatan belakangan ini. Hal tersebut tampak dari menjamurnya berpuluh-puluh pelatihan serta seminar tentang emosi dan spiritualitas. Juga ramai sekali diselenggarakan majelis dzikir dan doa secara massal.

Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress” yang dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values (2001) menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan di dalam hidup. Kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang, mengandalkan Tuhan atau suatu kekuatan yang lebih tinggi (The Higher Power), merasakan kedamaian, atau merasakan hubungan dengan alam semesta.

Satu anjuran yang kerap digemakan sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan adalah shalat tahajud. Hal yang menggembirakan, shalat malam ternyata bermanfaat untuk kesehatan. Khasiat ini dibuktikan melalui sebuah riset. Adalah Dr. Mohammad Soleh dalam bukunya Terapi Shalat Tahajud mengungkapkan bahwa tahajud bisa mencegah stres dan meningkatkan daya tahan tubuh manusia. Tentu bila itu semua dikerjakan secara teratur dan ikhlas. Saking utamanya shalat di sepertiga malam terakhir ini, Rasulullah SAW bersabda:

“Setan mengikat pada tengkuk tiap orang di antara kamu, ketika ia tidur, dengan tiga ikatan (simpul). Setiap simpulnya ditiupkan ucapannya, ‘Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.’ Maka apabila ia bangun dan menyebut nama Allah, terurailah satu simpul. Bila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan ketika ia shalat, maka terurailah simpul terakhir; lalu di pagi hari, dirinya menjadi segar, bersemangat dan hatinya pun terang. Jika tidak, maka di pagi hari jiwanya dililit kekalutan dan malas untuk beraktivitas.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Agaknya, benar kata orang bijak, “Take time to pray. It is the greatest power on earth.” Jadi, shalatlah tahajud dengan ikhlas jika ingin hidup tenang dan sehat. Ibnu Mubarrak berkata dalam bait syairnya, “Saat malam tiba berselimut gulita// Kala manusia lain lelap dalam tidurnya// Mereka lawan beratnya malam dengan ibadah// untuk merebak cahaya Yang Kuasa// Rasa takut kepada-Nya menerbangkan kantuk mereka// Sedang orang yang merasa aman dari murka-Nya// terbuai dalam mimpi-mimpinya.

Tidak ada komentar: