Sabtu, 16 Februari 2008

Pertimbangan Memilih Gubernur

Pertimbangan dalam Memilih Gubernur di Jawa Tengah?
oleh :Akhmad Asikin MS,S.Ag

Sebentar lagi pilkada di Jawa tengah akan digelar seperti kita menonton tontonan yang lucu betapa tidak kadang kadang geli sendiri menghabiskan uang milyaran bahkan triliunan yang semua itu dalam rangka memilih pemimpin yang konon katanya untuk mensejahterakan rakyat .lagu lama pasti diputar dari saling menjegal saling berjanji dan saling promosi lalu bagaimana seharusnya kita sebagai masyarakat tentu ikut mensukseskan agar terpilih Gubernur yang betul betul peduli dengan rakyat dan memihak kepada kepentingan rakyat .

Terpenuhi atau tidaknya selera masyarakat terhadap pemimpin terpilih adalah sangat ditentukan oleh sikap amanah para pemilih (rakyat) itu sendiri. Memang, semua rakyat ingin memberi amanah kepemimpinan itu kepada orang-orang yang kapabel, amanah, jujur, dan bertanggung jawab, namun akibat ketidak-jujuran rakyat, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap rakyat yang diwakilinya, sering mengakibatkan pemimpin terpilih itu tidak memenuhi selera rakyat banyak. Hal ini, biasanya, terjadi akibat praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang telah mendarah-daging (be a blood relative) menghantui rakyat kita. Banyak yang memilih bukan mengikuti kata “hati nurani”, tetapi memilih hanya karena mengikuti bisikan materi. Realitas ini, persis seperti telah diklaim oleh Gordon Tullock (1976), seorang pendukung ‘Teori Suara Rakyat’ (Public Choice Theory), bukan ‘Teori Suara Partai’ (Partisan Theory), dalam bukunya, “The Vote Motive” sebagai berikut: “Bureaucrats are like other men…if bureaucrats are ordinary men, they will make most (not all) their decisions in terms of what benefits them, not society as a whole” (Para birokrat itu sama seperti manusia lain, jika para birokrat adalah manusia biasa, maka mereka akan membuat kebanyakan (bukan semua) keputusan untuk keuntungan mereka, bukan untuk keuntungan rakyat secara keseluruhan).

Walaupun tuduhan Tullock di atas hanya ditujukan terhadap para birokrat Amerika Serikat yang bukan beragama Islam, namun sungguh sangat menyedihkan bahwa tuduhan Tullock ini juga telah begitu intensif dipraktekkan di bumi Jawa Tengah, padahal rakyat Jawa tengah mempunyai background keislaman yang tidak meragukan dan tentunya ala jawa tengah ? Untuk menafikan tuduhan Tullock atas menjamurnya keadaan yang digambarka itu di jawa Tengah, maka mereka yang mengantongi hak untuk memilih (rakyat/anggota dewan) perlu membuktikan bahwa mereka mampu memilih orang yang tepat, amanah, jujur dan bijaksana, sehingga dalam menjalankan roda kepemimpinan selanjutnya akan lebih mengutamakan kepentingan rakyat banyak (altruism) di atas kepentingan pribadi (selfishness), ahli famili, partai dan golongannya.

Beberapa hal yang perlu kita perhatikan agar kita dapat memilih pemimpin Jawa Tengah masa depan yang benar-benar mampu menjadi pengayom (custodian) dan panutan atau idola (model) rakyat.

Pertama, sebagai pemegang amanah rakyat dan sekaligus amanah Rasul dan Allah SWT, dalam menjatuhkan pilihannya kita haruslah memilih orang-orang yang terlayak dan terbaik di antara calon-calon yang diajukan. Kalau tidak, maka kita telah melakukan sebuah “pengkhianatan yang tak termaafkan” (unforgiving betrayal) baik terhadap dirinya, rakyatnya maupun terhadap Rasul dan Khaliq. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang dikutip Ahmad Ibrahim Abu Sin (1991) dalam bukunya, “al-Idarah fi al-Islam, yang masing-masing, berarti: “Siapa yang dipertanggungjawabkan untuk mengurus urusan umat Islam lalu melantik seorang lelaki, sedangkan terdapat lelaki lain yang lebik layak darinya, sesungguhnya ia telah mengkhianati Allah dan Rasulnya” (al-Hadist); dan “Dan siapa saja yang melantik seseorang untuk memimpin sepuluh orang di antara kamu, sedangkan dalam kumpulan tadi masih ada orang yang lebih layak tetapi tidak kamu lantik, sesungguhnya kamu telah mengkhianati Allah, Rasulnya, dan seluruh masyarakat Islam. Dan siapa saja yang mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, ia tidak akan dapat mencium bau syurga” (al-Hadist).

Kedua, untuk dapat memilih pemimpin yang tepat, maka kita harus mengenal secara dekat dan detail (closer and in-depht identifications) terlebih dahulu para calon pemimpin yang akan dipilih. Hal ini seperti ditulis Imam Ibn Taymiyah (1979) dalam bukunya “al-Siyasah al-Syari’ah” bahwa hal yang paling penting diperhatikan sebelum memilih pemimpin adalah mengenal pribadi orang yang akan dipilih atau dilantik dengan tugas yang akan diembannya. Dan cara ini selalu dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab, ra dalam memilih Gubernurnya.


Ketiga, kita haruslah memilih pemimpin tidak berdasarkan sikap pilih kasih, hubungan darah (kekerabatan), dan statusnya (kedudukan) dalam masyarakat. Hal ini seperti nasehat yang terkandung dalam surat yang Khalifah Ali bin Abi Talib ra kirimkan kepada Asytar bin Nakhai ketika dilantik menjadi Gubernur Wilayah Mesir sebagai berikut: “…dalam melantik pegawai-pegawai baru hendaklah kamu melantik mereka secara pilihan, bukan pilih kasih dan kedudukan dan hindarilah daripada melantik orang yang dikasihi karena mereka bisa membawa kezaliman dan pengkhianatan. Utamakanlah orang yang suka memperbaiki tingkat kemahiran dan pelayanan mereka kepada masyarakat. Pilihlah daripada golongan pemalu dan warak serta mulia akhlaknya dan tidak tamak kepada pangkat dan kemuliaan serta lebih teliti dalam setiap tindak tanduknya”.

Keempat, sebagai pemegang amanah, kita harus memilih pemimpin yang amanah dan dilakukan melalui saluran dan proses yang amanah pula. Ketidakamanahan baik para pemilih maupun para pemimpin yang dipilih adalah merupakan awal dari keruntuhan moral penguasa sehingga akan mendegradasikan, bahkan menghilangkan kepercayaan rakyat di bawah kepemimpinan mereka. Lebih dahsyat lagi, bahwa hilangnya sifat amanah wakil dan pemimpin rakyat merupakan pertanda awal daripada kiamat dunia. Hal ini ditegaskan dalam hadist: “Rasulullah SAW bersabda: ‘Apabila amanah telah hilang dan tidak diamalkan lagi oleh manusia, tunggulah kiamat akan tiba’. Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana amanah bisa hilang? Rasulullah menjawab, “Apabila sesuatu jabatan telah dipegang oleh orang yang bukan ahlinya…” (al-Hadist).

Kelima, dalam menjatuhkan pilihannya, kita hendaklah tidak memilih para calon pemimpin yang mendatangi apalagi membujuk kita dengan berbagai ‘imbalan’, ‘bonus’, ‘hadiah’ atau apapun namanya untuk mendapatkan jabatan itu. Hal ini seperti ditegaskan Rasulullah SAW: “Demi Allah SWT, aku tidak sekali-kali akan menyerahkan sesuatu tugas kepada orang-orang yang datang memintanya atau mereka yang tamak terhadap jabatan itu”. Walaupun yang meminta jabatan itu adalah sanak saudara kita sendiri, mereka harus secara tegas menolaknya. Ini, seperti yang ditunjukkan Rasulullah SAW ketika Abbas bin Muthalib, pamannya sendiri yang datang memohon agar dirinya dipilih sebagai salah seorang gubernur pada masa itu, dengan berkata: “Untuk jabatan ini, demi Allah, wahai pamanku, tidak sekali-kali akan kuserahkan kepada mereka yang memohon atau yang tamak kepadanya ...dan wahai paman Nabi! Berhati-hatilah dengan soal kepemimpinan. Sesungguhnya ia amatlah berat”.

Dalam kisah yang lain nabi juga pernah menolak permintaan Abu Dzar al-Ghiffari, salah seorang sahabat yang telah dijamin Rasulullah SAW sendiri masuk syurga untuk menjadi salah seorang gubernurnya, karena menurut Rasulullah SAW Abu Dzar tidak berkemampuan dan tidak memiliki kelayakan yang sesuai untuk jabatan itu. Begitu juga dengan sikap Umar bin Khattab ra yang menolak permohonan para sahabatnya agar melantik Abdullah bin Umar, anaknya sendiri yang dikenal warak dan adil itu untuk dipilih sebagai salah seorang gubernur dengan berkata: “Dari keluargaku (Umar) cukuplah saya seorang saja yang akan dihisab nanti”. Tegasnya, sifat Umar bin Khattab ra agar para wakil rakyat itu tidak memilih sanak familinya sebagai pemimpin, maka beliaupun berkata: “Siapa saja yang melantik seorang kenalan atau sanak saudara mereka untuk memegang jabatan negara bermakna ia telah mengkhianati Allah swt dan Rasulnya”. Apalagi yang meminta jabatan itu adalah mereka yang menjanjikan ‘imbalan jasa’, hadiah atau apapun namanya, maka kita harus menolak dengan tegas permintaan tersebut, tanpa kompromi. Penolakan untuk menerima hadiah seperti dikatakan Rasulullah SAW bahwa: “Siapa saja yang dipercayakan rakyat untuk memilih para pemimpin dan pegawainya dan mereka dibayar gaji atas kerja-kerja yang dilakukannya, kemudian mereka menerima hadiah berarti mereka telah melakukan perbuatan khianat”; dan “si pemberi dan si penerima sogok kedua-duanya dalam neraka” (al-Hadist).

Dengan memahami beratnya tugas dan besarnya amanah yang kita embankan dalam memilih pemimpin kita, maka sebelum menjatuhkan pilihannya kita hendaklah mengenal secara lebih dekat dan detail para calon pemimpin yang diajukan dan tidak sama sekali bergeming apabila dipengaruhi dengan janji manis atau imbalan jasa yang ditawarkan, sehingga tidak mempengaruhi objektivitas suksesi. Mudah-mudahan dengan menyadari besarnya amanah yang kita embankan, kita dapat menggunakan saluran dan proses pemilihan yang amanah pula sehingga pemimpin-pemimpin Jawa tengah ke depan adalah mereka yang paling tepat, terlayak (the right man on the right place) dan “the best among the best”.

Selanjutnya, setelah beberapa pesan dan masukan kepada calon pemilih pemimpin masa depan kita dibahas, sekarang tibalah giliran kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Jawa tengah masa depan akan dideskripsikan di bawah ini.

Siapa yang Harus Dipilih?

Dengan merujuk pada kelima pesan dan masukan yang harus kita perhatikan dalam memilih dan mengamanahkan estafet kepemimpinan kepada pemimpin masa depan yang tepat, amanah, bertanggung jawab, jujur, arif, dan bijaksana, memenuhi aspirasi dan sekaligus tidak akan mengecewakan mayoritas rakyat, maka pemimpin yang akan dipilih haruslah, di antaranya, memiliki sifat-sifat berikut:

Pertama, calon pemimpin yang dipilih itu hendaklah kapabel dalam ilmu pemerintahan. Kapabilitas seseorang pemimpin tidak hanya terbatas pada kemahiran di bidang politik saja, tetapi harus meliputi semua aspek kehidupan umat, seperti aspek ekonomi, dan budaya serta kemahiran untuk menciptakan hubungan antara pemimpin dengan masyarakat, pemimpin dengan atasan, dan hubungan antar sesama masyarakat dengan pernuh keharmonisan. Hal ini seperti firman Allah SWT: “…sebaik-baik pekerja adalah orang yang kuat dan jujur” (Q.S. al-Qasas: 26). Dengan adanya kekuatan (kemampuan) tersebut, seseorang pemimpin itu akan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Kedua, pemimpin yang dipilih itu harus memiliki sifat jujur, amanah, dan adil sehingga dalam setiap sepak terjang politiknya, seorang pemimpin itu tidak bersifat pilih kasih terhadap rakyat jelata. Pemimpin harus menyayangi dan menghargai rakyatnya sama rata (secara adil) sebagaimana ia menyayangi dan menghargai setiap anggota tubuh sendiri, dan bahkan menempatkan kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan pribadinya. Siapa saja yang melanggar hukum harus ditindak dengan hukuman yang berkeadilan tanpa membedakan status, keturunan, kekayaan, dan jasanya kepada rakyat dan negara. Karena sifat pilih kasih baik dalam memprioritaskan alokasi kesejahteraan maupun dalam menegakkan hukum kepada rakyatnya akan menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya, dan bahkan akan mengundang malapetaka. Kemudian, dalam bertindak pemimpin itu haruslah mampu mengikuti praktek Rasulullah dalam menegakkan hukum, seperti sabdanya: “Sungguh Allah SWT telah membinasakan umat sebelum kamu, karena apabila ada di antara orang besar mencuri dibiarkan saja, tetapi jika orang kecil yang mencuri dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Demi Allah SWT yang jiwaku berada di tangan-NYA, andaikata anakku Fathimah putri Rasullullah mencuri pasti akan ku potong tangannya” (al-Hadits).

Ketiga, pemimpin yang dipilih itu hendaklah individu yang yang paling memahami atau memiliki pengetahuan luas terhadap daerah dan masyarakatnya. Keberhasilan Rasulullah SAW dan Khalifah Umar bin Khattab ra dalam memimpin rakyatnya, hingga diakui barat sebagai tokoh nomor satu dan Umar bin Khattab ra sebagai tokoh dari kalangan umat Islam yang masuk rangking sepuluh besar tokoh paling berpengaruh dalam sejarah umat, seperti disebutkan Michael Hart (1979) dalam bukunya, “The 100, Ranking of the Most Influential Persons in History” adalah, di antaranya, disebabkan oleh pengetahuan luas dan kedekatan mereka dengan rakyatntya.

Keempat, pemimpin yang akan dipilih haruslah individu yang bersikap hidup sederhana (moderation) dan segala atribut penampilannya tidaklah mencolok mata. Sifat ini penting dimiliki oleh seorang pemimpin agar tidak menimbulkan fitnah dan rasa iri hati rakyatnya yang, umumnya, hidup di bawah garis kemiskinan. Juga penampilan yang mencolok mata akan menjadi penghalang keakraban antara pemimpin dan masyarakat. Atas dasar inilah, Umar bin Khattab ra melarang untuk menjadi pemimpin mereka-mereka yang menunggang himar, memakan makanan lezat, memakai baju mewah, dan yang suka mendatangi rumah rakyatnya tanpa kepentingan.

Kelima, pemimpin yang akan dipilih harus mampu bekerjasama dengan masyarakat. Di samping itu, seorang pemimpin itu juga harus tidak sungkan-sungkan meminta pendapat para cerdik pandai dan ulama dalam setiap keputusannya untuk kepentingan rakyat. Karena menurut Umar bin Khattab ra, orang cerdik pandai adalah orang yang dapat mempertimbangkan sesuatu masalah dengan penuh kewarasan dan akal pikiran sehat sekalipun masalah itu tidak pernah diketahui dan diduga sebelumnya. Meminta pendapat pada para cerdik pandai ini telah dipraktekkan para Khulafa ar-Rasyidin dimana mereka selalu meminta pendapat dari Majelis Syura yang keempat-belas anggotanya itu terdiri dari para sahabat yang terkenal dengan keimanan, kewarakan, dan semangat keislamannya. Selanjutnya, dalam setiap pengambilan keputusan, pemimpin itu juga harus mampu melibatkan semaksimal mungkin peran serta pemuda didalamnya. Pentingnya melibatkan para pemuda secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan, seperti telah diprakktekkan Umar bin Khattab ra, tidak lain karena menurut beliau bahwa para pemuda, biasanya, mempunyai pemikiran yang tajam dan ide-ide cemerlang.

Keenam, pemimpin yang dipilih itu harus mengutamakan masyarakat golongan menengah ke bawah daripada golongan menengah ke atas, dan memprioritaskan kepentingan kaum hawa daripada kaum Adam. Hal ini seperti telah dikatakan Khalifah Umar bin Khattab ra: “Sesungguhnya orang yang lemah disisimu adalah kuat disisiku, karena aku tidak mempunyai kuasa untuk mengambil sesuatu dari mereka (golongan lemah), dan orang yang kuat disisimu, sesungguhnya adalah lemah disisiku karena aku berkuasa untuk mengambil sesuatu darinya”. Oleh karena itu, dalam setiap keputusannya, kepentingan golongan menengah ke bawah dan kaum hawa harus dikedepankan dari kepentingan golongan menengah ke atas dan kaum lelaki.

Ketujuh, dalam memenej setiap urusannya, seorang pemimpin itu harus bersikap lemah-lembut, tetapi tidak terlalu lembek dan bersikap tegas, namun tidak terlalu kasar. Sikap ini penting diperhatikan, karena kata Umar bin Khattab ra: “Janganlah bersikap terlalu lembut sehingga kamu akan dijajah dan jangan pula kamu bersikap terlalu keras (kasar) sehingga kamu hancur karenanya”. Namun, pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang memiliki kombinasi sifat ke-empat para Khulafa ar-Rasyidin, seperti dikatakan Rasulullah SAW sendiri: “orang yang mempunyai sifat paling belas kasihan terhadap umatku adalah Abu Bakar as-Siddiq ra; orang yang paling teguh dengan pegangan Allah ialah Umar bin Khattab ra. Sesungguhnya Allah telah menegakkan kebenaran melalui Umar; orang yang paling pemalu adalah Usman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Talib ra pula adalah orang yang paling adil dalam segala perkataannya”.

Kedelapan, pemimpin yang dipilih haruslah individu yang mampu bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan dan kepapaan atau maju-mundurnya ekonomi rakyatnya. Untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap rakyatnya, pemimpin itu harus mampu merespon setiap keluhan rakyat dan sekaligus memberikan solusi. Perlunya para pemimpin memiliki rasa tanggung jawab yang menyeluruh terhadap bawahannya, sebenarnya, dapat kita pedomani dari kata-kata Umar bin Khattab ra berikut: “Seandainnya ada keledai yang jatuh dari atas gunung di kawasan Irak sehingga patah kakinya, pasti Allah SWT meminta pertangungjawaban saya (Umar) karena tidak membuat jalan untuk dilintasi keledai tersebut”; dan “Kalau kambing tersasar dan hilang di pingiran sungai Eufrat, maka Umar akan bertanggung jawab pada hari akhirat”. Begitu juga Ali bin Abi Talib ra ketika melihat Umar bin Khattab ra sedang berlari lalu bertanya: “Kenapa kamu lari wahai Umar? Aku (Umar) berlari karena ingin mengejar unta sedekah yang telah lepas dari tambatannya”. Karena tingginya rasa tanggung jawab Umar terhadap kekhalifahannya, maka telah mendorong beliau hampir saban hari untuk mengecek sendiri situasi penduduknya dari rumah ke rumah baik secara formal maupun tidak formal. Karena keterbatasan waktu untuk mengelilingi dan memantau seluruh wilayah kepemimpinannya untuk dapat mengetahui keadaan sebenarnya yang menimpa rakyat, maka bila musim haji tiba, Umar bin Khattab ra selalu mengumpulkan rakyatnya untuk membuat pengaduan-pengaduan. Di samping itu, beliau juga telah mendirikan sebuah “Biro Pengaduan” (Complaining Bureau) untuk mengetahui semua keluhan dan kebutuhan rakyatnya.

Karena begitu tingginya tanggungjawab beliau terhadap kekhalifahannya, bahkan di akhir hayatnya, Umar bin Khattab ra berkata: “Sekiranya aku dapat hidup lebih lama lagi, maka akan kukelilingi semua wilayah rakyatku sehingga aku dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri keadaan mereka yang sesungguhnya. Aku tahu mereka mempunyai berbagai kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiranku”.

Kesembilan, pemimpin yang dipilih itu harus mampu mengadakan evaluasi terhadap kemajuan kepemimpinannya yang meliputi semua kemajuan bawahan dan rakyatnya secara reguler dari waktu ke waktu. Tindakan ini perlu, karena seperti kata-kata Umar bin Khattab ra yang dikutip Naceur Jabnoun (1994), dalam bukunya “Islam and Management” sebagai berikut: “Apakah kamu pikir jika saya (Umar) telah menunjuk seseorang sebagai wakil kamu untuk kebaikan umat dan memerintah mereka untuk melakukan keadilan, apakah umar telah melakukan tugasnya dengan baik? Ya, jawab para sahabat. Tetapi beliau menjawab tidak, sebelum saya melihatnya sendiri apakah orang yang saya tunjuk itu telah berbuat seperti yang diperintahkan”. Evaluasi ini juga, sebenarnya, harus dilakukan setiap rakyat atau anggota dewan terhadap pemimpinnya sehingga evaluasi ini akan menutupi ruang gerak bagi pemimpin untuk menyelewengkan amanat rakyat yang diembannya. Dan bila dalam evaluasi tersebut ditemui kejanggalan-kejanggalan dan penyelewengan amanat rakyat, maka tanpa segan-segan anggota dewan harus memecat pemimpinnya.

Begitu juga sebaliknya, kalau pemimpin menemukan kejanggalan dan penyelewengan yang dilakukan bawahannya, maka pemimpin harus memecat bawahannya. Hal ini terjadi ketika Umar bin Khattab ra menggantikan Hasnah, Gubernur Syria dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, lalu Hasnah bertanya kepada Umar: “Wahai Umar, kenapa kamu menggantikan saya? Apakah karena kamu marah? Bukan jawab Umar, kamu adalah orang yang bukan seperti kemauan saya, tetapi saya menginginkan pemimpin yang lebih kuat daripada kamu”. Ini menunjukkan bahwa “gonta-ganti” kepemimpinan dalam Islam itu adalah hal yang lumrah berlaku dan bahkan ia sangat digalakkan Islam sejauhmana pergantian kepemimpinan itu adalah semata-mata ditujukan untuk kebaikan dan kemaslahatan rakyat banyak.

Terakhir, kalau dalam memilih pemimpin, kita meragukan kelayakan pemimpin terpilih, maka pemimpin terpilih itu harus diberi masa percobaan untuk menguji apakah ia layak atau tidak untuk mengemban tugas kepemimpinan. Begitu juga dengan seorang pemimpin dalam memilih bawahannya, beliau harus mengetes kelayakan bawahan yang dipilih tersebut terlebih dahulu dengan memberi masa percobaan, katakanlah selama tiga bulan. Melalui masa percobaan ini, kita dapat menilai kelayakan pemimpin terpilih, dan begitu juga pemimpin itu dapat menilai kelayakan bawahan yang dipilihnya. Perlunya masa percobaan diberikan pada pemimpin terpilih adalah seperti yang dipraktekkan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq ra ketika melantik Yazid bin Abu Sufian dengan berkata: “Aku telah melantik kamu, tetapi pelantikan ini merupakan ujian dan percobaan kepada diri kamu, dan aku (Abu Bakar) berkuasa untuk memecat kamu. Jika kamu mampu melaksanakan semua tugas yang diberikan dengan baik dan sempurna, maka akan kukekalkan jabatan kamu. Sebaliknya, jika aku mendapati kamu tidak berupaya untuk melaksanakan tugas yang diberikan, maka kamu akan kupecat”. Proses pemecatan ketika masa percobaan selama tiga bulan diberikan, pernah dilakukan Rasullullah SAW ketika memecat Alak bin Hamdani dari jabatan Gubernur wilayah Bahrain, dan kemudian digantikan oleh Aban bin Said

Mudah-mudahan dengan menyadari amanah yang kita embankan diharapkan kita mampu membuat keputusan yang terbaik, utamanya dalam menentukan proses pemilihan pemimpin masa depan kita dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Dengan merujuk pada pengalaman kepemimpinan Rasulullah SAW dan ke-empat Khulafa ar-Rasyidin, pemilih dan yang terpilih dalam Pilkada Jawa Tengah nanti, Insya Allah akan mampu memberdayakan dan mengangkat kembali harkat dan martabat bangsa dan Islam.

Tidak ada komentar: