Minggu, 17 Februari 2008

Ramah Lingkungan Sudahkah?

Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi.

(QS. Fathir [35]: 39)

Berapa banyak dalam sehari ini kita melanggar peraturan lalu lintas, melampaui marka garis tengah jalan, atau melewati lampu merah? Berapa banyak hari ini kita menghamburkan bensin dengan memain-mainkan pedal atau handle gas secara berlebihan? Berapa lama kita membiarkan lampu-lampu rumah kita menyala tatkala hari telah terang? Berapa kali kita membiarkan air mengucur di kran-kran atau AC menyala tanpa ada orang di dalamnya? Berapa kali dalam sebulan ini kita sudah membakar sampah? Sadarkah kita bahwa asap yang kita timbulkan mengganggu tetangga? Atau suara knalpot yang memekakkan telinga banyak orang? Seberapa banyak batang pohon yang pernah kita tanam selama kita hidup? Berapa kali kita berwudlu sambil berpikir untuk berhemat dalam pemakaian air? Berapa kali kita mempersilakan pemulung mengambil sampah yang masih bisa digunakan atau didayagunakan? Atau justru menghardiknya dengan menempeli rumah dan lingkungan kita dengan “Pemulung dilarang Masuk!”

Manusia adalah penyebab kerusakan bumi. Asap hasil bakaran sampah rumah tangga yang biasa kita dapati di permukiman-permukiman, terutama bahan-bahan non organik yang ikut terbakar, ternyata ribuan kali lebih beracun dari asap rokok. Terlebih lagi, asap yang tidak bisa dikontrol akan mengakibatkan terganggunya lingkungan sosial. Belum lagi kenyataan bahwa asap secara umum menghasilkan CO2 yang menjadi salah satu penyebab timbulnya pemanasan global. Bangunan-bangunan gedung yang dipakai dengan tidak bijaksana ternyata menghamburkan energi yang juga berkontribusi terhadap pemanasan global sebesar lebih dari 30%. Air yang kita pakai, tidaklah gratis, karena ia harus didukung oleh lingkungan alami berupa ruang hijau, dan hutan yang terjaga kelestariannya. Tanpa hutan dan ruang hijau - yang terus dibabati itu - air tanah yang seharusnya terserap segera akan berubah menjadi air bah. Hasilnya adalah sebuah paradoks dimana di satu sisi kita kebanjiran, di sisi lain air menjadi langka. Bahkan di kota-kota besar di dunia, air sudah lebih mahal daripada bensin. Dan pemulung - yang sering kita lihat dengan sebelah mata - dari sisi pengelolaan sampah (waste management) adalah pahlawan lingkungan karena mampu menerapkan strategi 3R (reuse, reduce, dan recycle atau penggunaan kembali, pengurangan volume, dan daur ulang sampah).

Manusia modern - kita semua - adalah penyebab kerusakan bumi yang paling ganas dibandingkan dengan peradaban-peradaban masa lalu. Modernisasi di segala bidang serta pertambahan penduduk yang sangat pesat telah membuat kerusakan bumi jauh lebih cepat dan lebih destruktif. Tak mengherankan, manusia modern pulalah yang menuai bencana-bencana global. Perubahan iklim global adalah akumulasi akibat dari akselerasi proses industri dan cara hidup yang tidak selaras dengan siklus alami. Penyakit-penyakit seperti Flu Burung, SARS dan HIV-AIDS menjadi penyakit global karena akumulasi perubahan cara hidup manusia yang cenderung berlebihan, merusak daur kehidupan alami, dan kecenderungan pola hidup yang menyimpang. Modernisasi di satu sisi adalah karunia, buah dari akal budi manusia dalam mengelola bumi, sebagai khalifah di bumi. Namun di sisi lain, modernisasi juga menyimpan potensi merusak yang lebih besar. Manusia modern, apapun agama dan kepercayaannya, tak kebal terhadap kenyataan paradoksal ini. Dalam konteks ini peringatan Allah yang telah mewanti-wanti manusia untuk tidak berbuat kerusakan menjadi sangat relevan dan bersifat universal. Dalam Alqur’an Surat Al-Qashash [28] ayat 77 dinyatakan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash [28]: 77).

Bukan kebetulan pula ayat ini berada di tengah-tengah cerita tentang Qarun, orang kaya yang berlebih-lebihan lagi menyombongkan ilmunya dan kemudian dibenamkan oleh Allah ke dalam bumi. Kebinasaan Qarun adalah sebuah potret datangnya bencana dahsyat karena tabiat manusia yang ‘berbuat kerusakan di muka bumi.’ Di sini kita dapat mengambil pelajaran berharga bahwa kekayaan dan ilmu - yang dalam makna yang luas sering dianggap ‘tujuan’ dari kehidupan modern ini - juga mengandung resiko bila tanpa didasari oleh keimanan dan keshalihan.

Lantas bagaimana kita sebagai muslim harus bersikap dalam kehidupan modern yang sangat tidak ramah lingkungan ini? Islam mempunyai perhatian yang sangat tinggi terhadap lingkungan. Tidak hanya sumpah Allah dalam Alqur’an yang sering memakai elemen lingkungan yang berguna secara simbolis sebagai pengingat kita, tetapi juga secara praktis memberi pesan-pesan yang menyeru pada timbulnya sikap yang shalih terhadap lingkungan. Khalifah fil Ardh dalam konteks ini seharusnya diterjemahkan sebagai manusia yang mampu mengelola bumi dan seluruh isinya dengan penuh kebijaksanaan: sebuah keshalihan lingkungan.

Dalam cara pandang ini, kita tidak menolak modernisasi, tetapi kita seharusnya juga menolak kedzaliman perilaku terhadap lingkungan hidup yang pada akhirnya akan menenggelamkan kita ke dalam bencana-bencana. Perilaku sosial yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat pun mencerminkan hal itu. Sebidang tanah kosong yang ditelantarkan, secara hukum (syariat), diperbolehkan untuk ‘diambil alih’ dan dikelola oleh masyarakat. Secara umum Islam menghendaki setiap jengkal lahan di muka bumi ini mempunyai peran bagi kesejahteraan manusia di mana sebagai timbal baliknya, manusia juga harus menjadi khalifah - pengelola - yang bijaksana.

Peran tersebut di atas tentu saja tidak hanya dimaknai sebagai ‘lahan budi daya’ dari sisi ekonomi, tetapi juga lahan yang berperan sebagai penyangga kelangsungan hidup semua makhluk di dalamnya - peran sebagai bagian dari ekosistem. Tak mengherankan, tradisi Islam dalam konteks pengelolaan lahan ini sangat didominasi dengan citra keindahan Taman Islam. Taj Mahal di India, taman-taman di Isfahan Iran, Spanyol, Maroko hingga Taman Sari di Yogyakarta diciptakan dengan cita rasa keindahan sangat tinggi, teknik pengairan yang canggih, pemilihan jenis tanaman yang teliti dan konfigurasi ruang terbuka - tertutup yang sempurna, yang semuanya mencerminkan ekspresi keindahan dan kecintaan terhadap Tuhan. Tentu saja ekspresi simbolis ini juga bermanfaat secara praktis, yaitu taman-taman dan ruang terbuka hijau yang bermanfaat secara luas sebagai penyangga ekosistem lingkungan hidup kita. Gambaran surga di dalam Al Quran, kecintaan terhadap Allah, sangat memengaruhi perilaku umat kala itu yang kemudian diekspresikan dengan menciptakan lingkungan yang indah secara visual dan sangat ramah dari sisi keberlanjutan lingkungan.

Di masa kini, sesungguhnya peluang untuk menjadi shalih lingkungan ini sangat luas. Menciptakan taman hijau di rumah dan lingkungan kita, misalnya dengan memanfaatkan lahan-lahan ‘tidur’, atau menanami lahan pinggir jalan dengan tanaman peneduh adalah contoh kecil saja. Lebih jauh lagi adalah perlunya kepedulian pada persoalan-persoalan global dan mampu memberi tanggapan dengan perilaku yang shalih. Pemanasan global, membesarnya lobang ozon, berkurangnya air tanah, krisis energi, banjir dan polusi adalah daftar persoalan yang kompleks yang perlu dipelajari dengan seksama. Perilaku apa yang akan memperparah keadaan dan kegiatan apa yang dapat mengurangi risiko kerusakan adalah perkara yang harus dipelajari dan diajarkan karena tidak semua orang memahami implikasi-implikasi tindakannya dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup. Paparan di awal tulisan ini hanyalah sekelumit daftar perilaku kita sehari-hari yang sangat jarang kita perhatikan – atau kita pedulikan – bahwa ia berimplikasi negatif pada lingkungan, yang ternyata juga berimplikasi pada lingkungan global.

Di sinilah perlunya penyadaran akan pentingnya perilaku yang shalih terhadap lingkungan sebagai sebuah pengejawantahan Islam, umat Islam sebagai sebaik-baik umat, dan muslim sebagi khalifah di muka bumi. Keshalihan pada lingkungan ini juga harus dipelajari, dikaji dan diajarkan sejalan dengan pembelajaran kita terhadap tauhid, ibadah, ataupun ‘ilmu agama’ yang lain. Tanpa adanya pembelajaran ini, maka umat Islam akan senantiasa berada dalam ‘kegelapan’ dengan tetap mempraktikkan perilaku yang pada hakikatnya ‘membuat kerusakan di muka bumi.’ Secara ilahiah, perilaku kita telah melanggar larangan Allah. Dalam konteks duniawi, umat Islam akan dengan mudah dituduh sebagai umat yang tidak punya kepedulian lingkungan yang kuat. Di sini perlu sebuah gerakan penyadaran akan pentingnya kajian keshalihan lingkungan ini. Para ilmuwan Muslim harus turut mendidik masyarakat luas dengan dakwah lingkungannya. Para dai harus turut memelajari wacana lingkungan agar kajian-kajian mereka memuat pesan-pesan yang gayut dengan problem lingkungan saat ini.

Tidak ada komentar: