Minggu, 17 Februari 2008

Memberi Kesempatan

etan berhasil menggelincirkan Adam dan Hawa, lalu mengeluarkan mereka dari surga itu. Kami perintahkan, “Turunlah kamu, kamu semua akan saling bermusuhan, dan di bumi kamu akan mendapatkan tempat tinggal sementara, juga kesenangan terbatas.”

(Q.S. Al Baqarah [2]: 36).

Salah satu anugerah terbesar Allah SWT kepada nabi Adam dan Hawa adalah diberikannya kesempatan untuk bertaubat setelah menikmati buah terlarang di surga. Kesempatan tersebut sangatlah berharga bagi mereka berdua untuk menebus dosa di bumi sehingga derajat ketaqwaannya bisa terangkat kembali. Demikian pula kesempatan yang diberikan oleh nabi Muhammad SAW kepada Umar bin Khaththab yang hendak berniat jahat kepadanya. Di kemudian hari sahabat Nabi SAW ini dikenal pembela Islam yang sangat pemberani. Pun demikian ketika Raden Mas Said bekas berandal diberi kepercayaan bertaubat oleh Sunan Bonang, dan sejarah mencatat Sunan Kalijaga menjadi wali sebenar-benarnya bagi “wong Jowo” yang membuat wali sanga yang lain segan dan menaruh hormat padanya.

Memberi kesempatan, menggelar peluang atau membuka kemungkinan bagi orang lain untuk berubah adalah perbuatan mulia. Memang sikap dan perilaku ini berat dan butuh latihan. Biasanya kita sudah mencap orang lain dari luarnya dulu atau dari torehan sejarah mereka. Jarang di antara kita yang mampu melihat potensi atau masa depan seseorang, sehingga kita tidak memberi kesempatan, peluang atau kemungkinan baginya. Latihan akan kita mulai dari introspeksi diri, bagaimana kita bersikap pada orang lain.

Sudahkah kita memberi kesempatan pada orang yang lebih muda untuk maju melebihi kita? Sudahkah kita sebagai orang tua menggelar kesempatan pada anak kita untuk mengungkapkan pengalamannya di sekolah? Sudahkah kita sebagai guru atau dosen membuka kesempatan murid atau mahasiswa untuk dialog, diskusi bahkan membantah pernyataan kita? Sudahkah kita bertanya pada bawahan kita, bagaimana kita harus bersikap pada mereka?

Bilakah kita memberi kesempatan orang lain berbicara mengungkapkan isi hatinya? atau kita sibuk merecoki mereka dengan “doktrin” yang kita anggap “pencerahan.” Atau bisakah kita memberi peluang pada lawan bicara untuk menyelesaikan kalimatnya dulu, kemudian baru kita gantian bercakap? Bilakah parkir kendaraan kita memberi kesempatan kendaraan orang lain untuk parkir juga? Atau apakah jalannya kendaraan kita di jalan memberi peluang orang lain untuk mendahului? Atau bilakah tandatangan kita dikolom paraf memberi kesempatan orang lain untuk menorehkan tandatangannya juga?

Judul diatas seharusnya adalah “Memberikan Kesempatan adalah Sebagian dari Iman”, tetapi saya belum menemukan landasan dalilnya, sehingga judul tersebut yang saya gunakan, dengan tidak mengurangi maksud dan tujuan dalam tulisan ini.

Definisi iman sendiri adalah seperti jawaban Rasulullah SAW ketika Jibril bertanya padanya tentang iman: “Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitab-Nya, para rasulNya, kepada hari akhir Akhir dan engkau ber-iman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (H.R. Al-Bukhari, I/19,20 dan Muslim, I/37).

Iman adalah perkara pokok, sedangkan amalan merupakan perkara cabang. Cabang-cabang iman bermacam-macam, jumlahnya banyak, lebih dari 72 cabang. Dalam hadits lain disebutkan bahwa cabang-cabangnya lebih dari 70 buah. Dalil cabang-cabang iman adalah hadits Muslim dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih; yang paling utama adalah ucapan “la ilaaha illallaahu” dan (iman) yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedangkan rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim, I/63).

Al-Hafizh Ibnu Hajar telah meringkas perihal iman tersebut dalam kitab Fathul Baari. Sesuai keterangan Ibnu Hibban, beliau berkata, “Cabang-cabang ini terbagi dalam amalan hati (24 cabang), lisan (7 cabang) dan badan (38 cabang).” Salah dua cabang iman adalah berakhlak yang baik atau berbudi perangai yang baik dan bermurah hati. Saya yakin bahwa memberi kesempatan adalah termasuk di dalamnya. Sehingga memberi kesempatan, kalaupun bukan merupakan “cabang utama” dari keimanan, bolehlah dianggap sebagai ‘ranting keimanan.”

Kalimat “…menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan…” pada hakikatnya adalah memberi kesempatan orang lain untuk melewati jalan tersebut, bahkan menjamin keselamatannya selama berada di jalan tadi. Cabang iman “terendah” ini bukan sekedar mendoakan keselamatan orang berjalan atau mengingatkan secara lisan akan bahaya atau rintangan, tetapi hadits ini menganjurkan untuk memberi kesempatan dan menjamin keselamatan orang berjalan di atasnya.

Belajar mendengar, berusaha diam dan berlatih memahami orang lain merupakan rangkaian “workshop memberi kesempatan.” Memberi kesempatan, sekali lagi, merupakan “ranting keimanan.” Niscaya bila ranting keimanan banyak dan mantap, maka kokohlah cabang keimanan dan diharapkan subur pula pohon “keberagamaannya.” Sehingga buah yang dihasilkannya pun bukan “buah terlarang” tetapi “buah tersilahkan”. Tersilahkan untuk dipersembahkan kepada Allah SWT dan dinikmati oleh umat dan alam (perwujudan rahmatan lil’aalamiin).

Buah keimanan tersebut dapat disaksikan, dinikmati dan dipelajari juga oleh kita. Bagaimana kita mendorong orang maju melebihi kita? Bagaimana kita menggelar kesempatan pada anak kita untuk mengungkapkan pengalamannya? Bagaimana kita membuka kesempatan mahasiswa untuk dialog? Bagaimana kita membiarkan bawahan bicara? Atau bagaimana kita memberi kesempatan orang berbicara? Atau bagaimana kita memberi peluang orang untuk menyelesaikan kalimatnya? Atau bagaimana kita memberi kesempatan kendaraan orang lain untuk parkir? Atau bagaimana kendaraan kita memberi peluang untuk didahului? Atau bagaimana tandatangan kita memberi kesempatan tandatangan orang lain ditorehkan?

Atau saat ini, bagaimana kita memberi kesempatan pada khatib untuk menyampaikan khutbahnya?, tidak hanya dengan berdiam tetapi menyimak apa yang diutarakannya. Atau bagaimana cara duduk kita, apakah sudah memberi kesempatan jamaah lain untuk beribadah di samping kita atau sekedar lewat mengisi shaf didepan? Mari kita mulai menyuburkan pohon agama kita dengan merawat “ranting-ranting keimanan” kita, saat ini, dimulai dari hal yang kecil.

1 komentar:

Tuti A mengatakan...

Wah agak repot juga ya...
Tapi memang harus sedikit demi sedikit belajar untuk memberikan kesempatan pada orang lain, karena mereka juga punya hak seperti kita.
Thanx thausiyahnya