Minggu, 17 Februari 2008

Menomor Duakan Dunia

Bagaimana mungkin seseorang mengaku cinta kepada Allah, sementara ia masih cinta kepada dunia?” (Ali Bin Abi Tholib)

Dunia sebagai lahan kebencian bagi mereka yang merindukan perjumpaan dengan-Nya adalah keseluruhan dari hal-hal yang menghalangi manusia untuk mencurahkan ketaatan dan kecintaannya kepada Allah. Sementara akhirat sebagai lawan dari dunia adalah keseluruhan dari hal-hal yang mampu menjadi perantara bagi manusia untuk mencapai perjumpaan abadi dengan-Nya, sebagai puncak dari segala impian manusia. Maka, “dunia” sebagai “hijab” segala kecintaan kepada Allah bisa jadi tidak hanya identik dengan hal-hal yang bersifat materi ataupun amaliah keduniaan yang sehari-hari dijalani manusia. Namun, bisa jadi ia adalah hal-hal berbau ritual yang dilaksanakan di atas pondasi riya’. Bisa jadi ia adalah shodaqoh manusia yang di bangun atas dasar perasaan ujub. Bisa jadi pula, ia adalah tradisi intelektual positif yang menimbulkan arogansi dan kesombongan serta perasaan lebih tinggi di hadapan manusia lain.

Demikian pula, “akhirat” sebagai “washilah” bagi kecintaan terhadap Allah tidaklah ter-‘bingkai’ hanya dalam bentuk ritual yang identik dengan ajaran formal agama semata. Bisa jadi, ia adalah segala jenis perniagaan kita yang dilandasi semangat untuk menjamin kehidupan keluarga demi ketaatan kepada perintah Allah. Bisa jadi, ia adalah segala pekerjaan kita yang memiliki tujuan untuk mengangkat derajat kaum miskin dan mereka yang hatinya tengah hancur karena derita yang dirasakannya. Bisa jadi pula, “akhirat” adalah segala pengetahuan dan keterampilan yang kita kuasai dan kita gunakan untuk berkhidmat kepada hamba-hamba-Nya, semisal, sekedar menyelipkan sebersit senyum di tengah muramnya kesedihan di muka hamba-hamba Allah tersebut.

Sehingga, seseorang yang memiliki kejernihan hati akan mengatakan bahwa “dunia” dan “akhirat” adalah dua keadaan batin dari hati. Segala yang lebih dekat dan berkaitan dengan kehidupan sebelum mati adalah “dunia”. Dan segala hal yang berkaitan dengan upaya menggapai kedekatan dengan-Nya serta berkaitan dengan kehidupan setelah kematian adalah “akhirat”. Sehingga, sebagaimana definisi yang telah disampaikan di awal, segala hal yang mengantarkan manusia kepada kenikmatan lahiriyah, kebangkitan hawa nafsu dan kelalaian atas-Nya adalah “dunia”.

Dunia dan akhirat bukanlah alam yang berada jauh di luar diri manusia. Dunia dan akhirat adalah dua alam yang ada dalam diri setiap individu. Alam yang pertama merupakan alam yang terendah dalam diri manusia, yakni ketika ia terhempas bersama bala tentara kegelapan dalam dirinya ke dalam kubangan yang penuh kelalaian dan kedurjanaan atas setiap kehendak-Nya. Alam yang kedua adalah setiap upaya untuk mengangkat derajat manusia menuju hakikat tujuan dasar dari kehidupannya. Laksana seekor anai-anai yang mengelilingi cahaya, dan menjadikan “cahaya” itu sebagai tujuan akhirnya, walaupun ia harus terbakar di dalamnya. Alam akhirat merupakan satu kondisi batin yang membatalkan segala motif tindak tanduk kecuali harapan akan perjumpaan abadi dengan-Nya.

Ketika harapan ini terpenuhi melalui jalan “akhirat”, maka berbagai implikasi lain akan mengikutinya. Akan bersamanya, sejuk hawa telaga kautsar yang memancarkan mata air keabadian. Akan bersamanya, bidadari-bidadari yang telah dijanjikan sebagai sahabat dalam mereguk keindahan taman surga. Akan bersamanya, Rasul Agung, Sang kekasih, beserta keluarganya yang suci dan para pembelanya yang senantiasa hidup di bawah panji syahadah.

Maka, apa yang di dalam Alquran dan Hadits disebut sebagai “dunia yang tercela” dan sekedar permainan (yang menjebak), serta senda gurau belaka sesungguhnya tidak berlaku bagi dunia itu sendiri. Tetapi yang dimaksud dengan segala ketercelaan dan “senda gurau” tersebut tidak lain kecuali kondisi manusia yang tenggelam di dalamnya, diperbudak oleh kecintaan kepadanya, serta keterbelengguan manusia atasnya. Maka dalam hal ini, manusia akan senantiasa memiliki dua dunia; dunia yang dikutuk karena ia tidak mampu men”jinak”kannya dan dunia yang diagungkan karena ia mampu men”jinak”kan dan mentransformasikannya ke dalam “dunia” sebagai “akhirat”.

Dunia yang tercela atau dunia yang dikutuk adalah segala yang bila seseorang memperolehnya di setiap lahan, di setiap madrasah, di setiap pasar, di setiap ladang, dengan mempertaruhkan kedudukan ruhaniah yang tinggi hanya dengan secuil rasa congkak, rasa ujub dan merasa bangga akan diri serta melupakan “asal” segala eksistensi. Semuanya timbul dari secuil harta dunia yang fana, padahal segala tatanan yang ada di atas dunia ini diciptakan demi sesuatu yang memiliki keabadian.

Dalam kenyataanya, manusia merupakan putra alam yang sifatnya fisik. Alam semesta menjadi ibu bagi manusia. Sehingga kecintaan terhadap dunia telah tertanam secara mendalam di dalam batinnya seiring dengan roda waktu yang mengiringi pertumbuhannya. Cinta kepada dunia itu terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pergesekan antara dirinya dengan dunia yang setiap waktu dijalaninya. Jika ia memandang dunia sebagai lahan kesenangan serta kemewahan, dan kematian sebagai akhir dari semuanya, maka ia tidak akan bisa merasakan keakraban dan kemesraan dengan kehidupan abadi yang akan datang sesudah kehiodupan dunia itu. Tetapi jika hati kita menyadari akan kenyataan bahwa dunia ini adalah alam yang paling rendah dan eksistensinya tidak lebih selain tempat kerusakan, perubahan, alam ketaksempurnaan serta kehancuran, dan meyakini bahwa di luar itu masih ada alam yang di dalamnya terdapat segala keabadian dan kesempurnaan, maka hati kita dengan sendirinya akan mencintai alam itu dan menjadikan dunia sebagai sesuatu yang tidak berharga. Jiwa dan raga kita akan mengatakan bahwa eksistensi dunia yang ada di hadapan kita tak lain kecuali “jalan” dalam memperoleh keabadian.

Bagi, mereka yang memiliki “rasa” demikian, kematian adalah sesuatu yang begitu dirindukan dan terasa begitu dekatnya. Maka, malam-malamnya adalah munajat guna menangisi setiap langkah –langkah yang menyisakan noda dosa di dalam diri yang suci. Dan siang-siangnya adalah upaya meng”hambur-hambur”kan segala dunia demi meng-khidmat-kan diri kepada para hamba yang hancur hatinya guna benar-benar menundukkan dunia sebagai “jalan” memperoleh keabadian yang hakiki.

Puasa dan Ketundukkan “dunia”

Puasa sebagai media penyucian diri menuntut adanya upaya bagi manusia untuk membusungkan dada di hadapan “dunia”. Mampu menundukkannya dan pantang untuk tunduk kepadanya. Puasa yang secara etimologis (bahasa) berasal dari kata shoum, diartikan secara sederhana dengan kata “menahan”. Melalui hal ini, hendaknya kita menyadari bahwa setiap kenikmatan yang diperoleh manusia di atas dunia ini meninggalkan bekas kecintaan dan menjadi sebab bagi keterikatan manusia secara lebih jauh terhadap dunia. Makin banyak kenikmatan dan kesenangan yang diperoleh manusia di atas dunianya, maka makin kuat pula belenggu yang mengikat “diri”nya. Proses yang demikian akan terus berlangsung hingga hati manusia sepenuhnya menyerah kepada dunia dan segala daya tarik yang ditawarkannya. Hal ini merupakan satu pangkal dari segala dosa, pelanggaran dan kejahatan moral yang dilakukan manusia. Pemenuhan hawa nafsu dunia akan menjadi satu “momok” yang mewujud dalam pembunuhan, perampokan, pencurian, perzinahan, penyalahgunaan narkoba, dan berbagai kerusakan moral lainnya.

Transformasi konsep ritual puasa sebagai satu upaya untuk menahan dan membersihkan diri dari segala noda keduniaan harus memiliki implikasi bagi manusia dalam rangka membabat habis hawa nafsu kecintaan terhadap kefanaan dunia. Dan juga memupuk subur segala kecintaan terhadap keabadiaan. Satu eksistensi cinta yang diwujudkan dalam sedu sedan tangis di tengah keheningan pertanda sesal atas segala dosa dan pengkhidmatan atas segala

Tidak ada komentar: