Minggu, 17 Februari 2008

Menyadari Perbedaan Untuk bersatu

Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar

(QS. Al-Anfaal [8]: 46)

Bukan lagi rahasia dan bukan pula sesuatu yang tersembunyi, baik bagi bagi kawan maupun lawan, bahwa umat Islam kini terjerumus ke dalam perselisihan yang sangat tajam. Sungguh sangat disayangkan, bahwa perselisihan dan perpecahan tersebut tidak dipandang sebagai hal negatif yang diwarisi oleh generasi muslim sekarang dari abad-abad sebelumnya. Padahal keadaan tersebut secara langsung telah memberikan pengaruh yang amat negatif. Kita tumbuh dalam perselisihan-perselisihan yang diwariskan kepada kita itu, sehingga kita kurang peka dan sensitif terhadap akibat buruk dari perselisihan tersebut.

Perselisihan yang terjadi dalam beberapa kelompok Islam, misalnya, membuktikan bahwa kaum muslimin masih begitu rentan dengan berbagai macam perbedaan pemikiran yang pada akhirnya menjurus pada perpecahan di dalam tubuh Islam sendiri. Allah SWT mencela orang-orang yang berpecah-belah dalam agama, sehingga mereka menjadi bergolong-golongan, berkelompok-kelompok yang menyalahi petunjuk Allah. Allah memperingatkan kepada kita agar tidak menjadi seperti golongan yang telah berpecah belah dalam agama mereka, sehingga masing-masing golongan merasa bangga dengan golongannya sendiri.

Sebagaimana firman-Nya, Kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS. Ar-Ruum [30]: 31-32). Cukuplah kekalahan umat Islam dalam perang Uhud menjadi pelajaran, bahwa berpecah dan berselisih merupakan faktor yang menyebabkan kehinaan, keruntuhan, dan kelemahan umat Islam.

Banyaknya ragam pendapat, perbedaan pemikiran, serta ijtihad merupakan hal yang bersifat naluriah. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan, kemampuan akal, dalil-dalil yang saling berlawanan serta tidak diketahuinya sebagian dalil oleh sebagian yang lain. Perbedaan pendapat dalam pengertian seperti ini merupakan suatu fakta yang tak dapat disangkal.

Akan tetapi, perbedaan pendapat ini tidak boleh dijadikan alasan permusuhan, perpecahan jama’ah, lalu menilai pihak yang berlawanan pendapat dengan dirinya sebagai orang yang tidak punya ilmu dan tidak adil. Karena perbedaan seperti ini sudah terjadi sejak zaman sahabat Nabi dahulu, misalnya ketika mereka membicarakan masalah-masalah fiqhiyyah yang beraneka ragamnya itu.

Oleh karena itu, alangkah baiknya para aktivis Islam dewasa ini bercermin kepada mereka dan meniti jalan yang telah mereka tempuh. Alangkah besarnya kebutuhan kita kepada metode semacam ini, ketika kita sekarang berada dalam kondisi lemah dan teraniaya, sehingga kita mampu menyatukan suara di bawah bendera tauhid untuk melawan kekufuran.

Sejak peristiwa pemboman WTC pada tahun 2001 silam, umat Islam berada dalam kondisi terpojok. Tidak sedikit dari saudara-saudara seagama kita di luar sana, terutama di negara yang kaum muslimin menjadi minoritas, yang mengalami perlakuan buruk akibat pandangan negatif yang dilabelkan terhadap Islam. Bahkan, terkadang mereka harus melawan sikap “arogansi” dari pemerintahan mereka sendiri. Sebutlah misalnya kasus pelarangan pemakaian jilbab oleh muslimah yang terjadi di sebagian negara eropa.

Belum lagi image negatif yang terus menjadi tren bagi agama Islam. Lalu diperparah dengan kejadian bom bali I dan bom bali II yang ternyata aksi-aksi itu memang didalangi oleh orang-orang muslim yang mengklaim aksinya sebagai jihad, maka semakin lekatlah istilah “terorisme” dengan Islam. Belum lagi akibat kejadian-kejadian tersebut, umat Islam semakin dibuat bingung dengan penafsiran yang berbeda tentang tindakan yang mengatasnamakan “jihad” dalam segala tindakannya itu.

Kalau kita telusuri, siapa yang diuntungkan oleh kejadian seperti ini? Tentu saja jawabnya adalah para musuh-musuh Islam. Mereka semua bersorak kegirangan sambil memikirkan strategi selanjutnya untuk membubarkan Islam. Sementara kita berdiam diri saja dan masih berdebat tentang bagaimana hukum “bom bunuh diri”? Kapan kita akan berpikir untuk kemajuan umat Islam, bila kita selalu disibukkan oleh perdebatan mengenai perbedaan pendapat.

Biarlah kita berbeda dalam penafsiran, tetapi jangan sampai kita saling menyalahkan dan merasa berada di pihak yang paling benar, apalagi sampai menganggap bahwa orang-orang yang tidak se”ideologi” dengan kita adalah orang sesat, yang harus kita musuhi. Sah saja kita beradu argumentasi, tetapi jangan sampai merusah ukhuwah. Jangan sampai kita memberikan kesempatan kepada faktor-faktor yang menyebabkan virus perpecahan tumbuh subur di sekitar kita.

Dalam firmanNya, Allah SWT menjelaskan, Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan bergolong-golongan, maka engkau (Muhammad) sedikit pun bukan dari golongan mereka. Urusan mereka terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberiahukan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan itu. (QS. Al-An’aam [6]: 159).

Dari uraian di atas, kita bisa melakukan beberapa hal untuk menyikapi banyaknya perbedaan kelompok dalam Islam sehingga tidak berdampak negatif terhadap masa depan Islam. Pertama, keberadaan kelompok-kelompok dalam Islam seharusnya bisa saling menguatkan, bukannya saling bermusuhan. Dengan begitu akan tercipta kekuatan besar umat Islam yang akan mampu menghadapi tantangan globalisasi. Kedua, perbedaan pendapat tidak seharusnya menyebabkan permusuhan, karena hal tersebut merupakan fitrah yang terdapat dalam diri manusia. Ketiga, semua orang harus memiliki keyakinan bahwa semua pendapat manusia, kecuali para nabi memiliki kemungkinan salah dan bersifat nisbi (tidak mutlak benar). Karena tidak ada manusia yang ma’shum (terbebas dari salah dan dosa) kecuali para nabi. Dengan keyakinan ini, pasti akan tercipta kemauan untuk belajar menghargai pendapat orang lain.

Sebuah bait puisi dari Muhammad Iqbal saya kira layak untuk kita jadikan bahan renungan:

Hias dirimu dengan warna ilahi

Hormati cinta dan tegakkan!

Tabiat orang Islam penuh cinta kasih

Muslim yang tak punya cinta jadi kafir

Seluruh gerak hidupnya bergantung kepada Allah semata

Segala kehendaknya merupakan iradah ilahi

Mari kita berjalan bersama dan saling bergandeng tangan mewujudkan kebaikan dalam Islam. Yakinlah, tanpa persatuan, umat ini mustahil bisa maju.

Tidak ada komentar: