Minggu, 17 Februari 2008

Nuzulul Qur`an

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

(QS. Al-Fajr [97]: 1-5)

Bagi umat Islam, peristiwa nuzulul Qur’an adalah peristiwa spiritual yang agung, dimana Alquran di turunkan saat Lailatul Qadar, dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia, yang kelak dikenal sebagai “malam lebih seribu bulan”. Tetapi mengapa kita tidak menyongsongnya dengan kesiapan-kesiapan spiritual sehingga transformasi moral yang bisa berpengaruh terhadap proses kebangsaan belum terwujud semestinya?

Hanya ada dua jawaban terhadap pertanyaan seperti itu. Pertama, karena cara dan semangat menyongsong cahaya Alquran yang turun, tidak dengan spirit inklusif yang bisa membumikan Alquran dalam dataran kebangsaan, bahkan Alquran banyak dimanupulasi untuk kepentingan-kepentingan kelompok dan politik. Kedua, karena Alquran telah diacuhkan nilai-nilainya, sehingga banyak umat yang hanya memahaminya secara formal dan ritual saja, yang lalu dijadikan sebagai legitimasi pandangan-pandangan ideologisnya. Alquran terasa kering maknanya dalam kehidupan, hampir-hampir tidak muncul fenomena teosofianya dalam perilaku, khususnya pada kaum elit bangsa ini.

Dalam peristiwa nuzulul Qur’an, selain cahaya-cahaya Ilahiah yang turun ke muka bumi, sesungguhnya Allah juga menentukan “nasib” kita dalam nuansa takdir-Nya, untuk satu tahun ke depan. Karena itu jika Lailatul Qadar disebut “Malam Kepastian”, berarti ada bentangan sejarah yang bergulat antara Kehendak-kehendak Ilahi dengan kehendak-kehendak manusiawi, antara egoisme dan kesombongan-kesombongan dengan sikap-sikap kepasrahan hamba atas kelemahan dan keterpedayaan dirinya.

Inilah yang disebut dengan bisikan-bisikan moral, dimana menurut Sufi besar Ibnu Athaillah as-Sakandary, Allah swt memberikan petunjuk kepada umat manusia melalui dua simponi. Yang pertama, Allah memberi bisikan simponi lembut melalui anugerah nikmat dan karunia, agar hambaNya begitu mudah mengenalNya, mengingatNya, dan meyakini kebajikan-kebajikanNya. Jika cara ini ternyata masih harus berhadapan dengan pintu gerbang keangkuhan manusia, maka Allah melakukan dengan cara “membentak” dalam alunan nada simponiNya. Lalu bentakan Ilahiyah itu terwujud dalam bencana, tragedi dan cobaan-cobaan yang begitu keras.
Semua bisikan itu, begitu tampak aktual dalam keseharian bangsa kita. Simponi yang mengalun, terkadang terasa begitu merdu dan indah, terkadang begitu keras memilukan. Lebih memilukan ketika muncul vonis-vonis sejarah yang hanya didasarkan pada kepentingan penguasa, kalah dan menang, mayoritas dan minoritas, sehingga kebenaran dan kepastian-kepastian sejarah harus terhijab oleh gerakan-gerakan rekayasa elit yang membawa korban rakyat kecil.

Apa yang bisa kita bayangkan, ketika Alquran turun, bukan pada zaman Rasulullah Muhammad saw, tetapi turun pada saat ini, dan di negeri ini? Tentu saja, kita hanya bisa membuat metafora-metafora, tentang sebuah era yang disebut zaman kegelapan (jahiliyah), lalu muncul zaman pencerahan (an-Nuur), melalui siklus sejarah yang berulang, dengan simbol-simbol maknawi yang berinteraksi dengan sejarah kita hari ini. Sampai saat ini pun, kita tidak tahu persis, dimana sesungguhnya posisi bangsa ini dalam simbiosis Qurani; apakah kita dalam situasi dan kondisi yang digambarkan oleh surat-surat tertentu, atau ayat-ayat tertentu, ataukah kita sedang menuju suatu era pencerahan baru, setelah meninggalkan era jahiliah kita, dengan resiko-resiko perjuangan moral yang amat keras? Atau kah kita akan menjadi salah satu bangsa yang punah dan lalu digambarkan sebagai bangsa yang durhaka?

Inilah yang menjadi tantangan bagi para Mufassir negeri ini, yang selama era Orde Baru hingga era Reformasi, harus menghadapi kegagalan-kegagalan “pembumian Alquran”, hanya karena para Ulama Tafsir itu, sering terpaku oleh kepentingan yang berbeda-beda. Apalagi, Departemen Agama, tidak banyak berperan dalam membangkitkan penafsiran-penafsiran kontekstual (maudhu’iy) bagi landasan spiritualitas bangsa ini. Karena itu setiap peristiwa nuzulul Qur’an diperingati, yang muncul hanya aktivitas ritual yang tidak menyentuh esensi yang sesungguhnya dari semangat Qurani itu sendiri.


LAILATUL QADAR DAN KRISIS KEBANGSAAN

Kalau kita kembalikan pada siklus organik dari turunnya Alquran pada Surat Al-Qadr, ada beberapa hikmah bagi kebangsaan kita hari ini, yang bisa kita jadikan refleksi teosofis maupun sosial:

Pertama, Alquran secara global turun di malam hari, pada “malam kepastian”. Ini menunjukkan bahwa persoalan-persoalan bangsa sedang berada dalam eskalasi kegelapan global yang membutuhkan titik-titik cahaya pencerahan yang belipat ganda, lebih dari seribu bulan atau satu generasi. Bangsa ini membutuhkan sebuah pembaharuan yang benar-benar memberi lompatan sejarah yang bercahaya, dimana nilai-nilai ruhani harus membimbing organisme penyelenggaraan kebangsaan, dan bukan sebaliknya, rasionalisme dan teknokratisme “memaksa” elemen-elemen moral Ketuhanan untuk kepentingan sejarahnya, sebagaimana kita saksikan dewasa ini.

Kedua, turunnya para malaikat disertai spirit agung (ar-ruuh) ke muka bumi dengan membawa misi perdamaian, adalah isyarat bahwa konflik-konflik antar bangsa, dan konflik bangsa dengan masalahnya sendiri, hanyalah akibat sirnanya spirit keagungan dan keluhuran. Malaikat yang senantiasa menjadi simbol bagi “kebenaran langit”, sesungguhnya harus juga dimaknai sebagai “simbol keprihatinan” global, ketika sebuah bangsa tidak lagi berdaya untuk keluar dari lingkaran dilemanya. Ketidakberdayaan itu juga akibat dari keangkuhannya sendiri, yang terus menerus menjadi koloni bagi kehidupan sosial kemanusiaan. Sampai Malaikat harus “turun” ke bumi membawa solusi-solusi bagi persoalan-persoalan bumi.

Ketiga, bahwa Lailatul Qadar itu berakhir ketika fajar terbit, memberikan petunjuk lebih jauh, bahwa apa pun hebatnya pencerahan yang ingin kita lakukan bersama, hanya akan mengalami kegagalan, apabila kesiapan-kesiapan psikologis kita untuk menyongsong “rahmat Allah” dibalik cahaya yang bakal terbit itu tidak pernah terkondisikan baik secara kultural maupun struktural. Faktanya memang demikian, di tahun-tahun reformasi ini, yang muncul adalah kebijakan-kebijakan pemerintah secara instan dan rapuh dari berbagai sektor birokrasi, peradilan maupun HAM, bahkan begitu kuat dalam tarik menarik proyek-proyek yang begitu politis.


Sentuhan Qur’ani

Dari ketiga hikmah itu, kita bisa belajar bagaimana simponi kebangsaan kita bisa mengalunkan ayat-ayat Suci Alquran dalam kemerduan-kemerduan sejarah. Tentu saja, tanpa mengurangi hak-hak demokrasi suatu kelompok yang cenderung mengalunkan ayat-ayat suci Alquran dalam sebuah simponi yang kering dan verbal, kita terus menerus diingatkan agar semangat Alquran menyadarkan kita dalam sudut paling netral bahkan di titik nol sekali pun, untuk sebuah generasi baru yang mampu memainkan sebuah simponi yang lebih agung, indah dan damai. Jauh dari aroganis intelektual, pemenuhan hasrat-hasrat primordial, dan hegemoni maniak yang menjijikkan.

Sentuhan-sentuhan Qurani tidak akan pernah hidup dalam perilaku sehari-hari, manakala bangsa ini tidak pernah melakukan “penyucian jiwa”, sebagimana disebutkan dalam ayat, “Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang menyucikan jiwanya” (Laa yamassuhuu illal muthahharuun). Pencucian psikologis, menjadi prasyarat, bagaimana kita bisa menyongsong abad pencerahan kebangsaan kita di masa depan (mathla’il fajr).

Apakah berarti perjalanan kebangsaan kita masih panjang? Bahkan butuh lahirnya suatu generasi baru yang benar-benar bersih dari lingkungan kegelapan masa lalu? Harapan futurologis, memang senantiasa memberikan jendela-jendela baru bagi keterbukaan masa depan. Namun, kita akan menjadi monumen-monumen cacimaki anak cucu kita di masa mendatang, manakala kita tidak pernah bersedia menjadi “ibu kandung” bagi lahirnya generasi baru itu, dengan sikap kita yang hanya memikirkan diri sendiri, kepentingan-kepentingan sendiri, nama besar kita sendiri, sementara generasi yang hendak meneruskan perjuangan merasa kehilangan cinta dan kasih sayang dari “orang tua”.

Alangkah mengerikannya, kalau mereka harus tumbuh dengan kepribadian konflik yang diwariskan oleh pendahulunya. Tetapi, janganlah kemudian kita trejebak oleh rasa naif, manakala perjuangan menghantar ke gerbang pencerahan ini, mengalami hambatan yang luar biasa, bahkan mendekati kegagalan bahkan juga kekalahan. Sebab simponi yang mendendangkan nada kekecewaan dibalik kesusahan yang menimpa kita, sesungguhnya merupakan suara-suara putus asa yang tidak sedikit pun memberikan keuntungan kita bersama. Dalam kitab Sufi Al-Hikam, disebutkan, “Hilangnya semangat energi kebangkitan dibalik kesusahan yang menimpa, adalah tanda-tanda kita terjebak oleh lingkaran nafsu.” Lalu kita akan kehilangan simponi yang lembut dan merdu, minimal untuk kita yang terus berjuang membersihkan debu-debu yang menjadi penghalang bagi pantulan cermin diri kita dalam mosaik kebangsaan ini.

Tidak ada komentar: