Minggu, 17 Februari 2008

Poligami

Banyak negara, misalnya Turki, Mesir, Maroko dan seterusnya menganggap bahwa poligami sebagai tindakan yang menyimpang dari kostitusi, sehingga perubahan dan perbaikan terhadap undang-undang selalu disesuaikan dengan keyakinan dan budaya masyarakatnya. Indonesia adalah negara beragama dan berpenduduk mayoritas Muslim yang menganut budaya monogami (beristri satu). Seacara alami, masyarakat akan resah bila muncul budaya baru di tengah-tengah komunitas mereka. Mereka kemudian akan meng-hiba, menggunjing, menghujat dan mengkritik, akibatnya budaya ini tidak membawa rahmah bagi umat, justru memberikan “dosa” bagi umat. Hal ini barangkali yang terjadi dalam wacana poligami di Indonesia.

Masyarakat yang kontra dengan poligami beralasan keadilan, dalam arti keadilan imaterial (psikis). Keadilan yang sifatnya abstrak acapkali sulit untuk diukur, apalagi dikaitkan dengan pembagian kualitas waktu, persamaan dalam arti cinta, kasih, dan sayang, juga pada dukungan spiritual, moral dan intelektual. Ini sesuai dengan dalil Qurani yang secara tidak langsung melarang poligami dengan menetapkan syarat harus bersikap adil. Adil di sini dalam arti mengelola harta, adil terhadap anak yatim, dan adil terhadap para istri. Penegasan Allah SWT melalui firman-Nya surat an-Nisa’[4] ayat 129: “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri (mu), meskipun kamu sangat ingin berbuat demikian…

Firman ini dibuktikan oleh agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang memiliki figur teladan dalam berpoligami, yakni Ibrahim kholilullah. Abraham atau Ibrahim berpoligami dengan restu Siti Sarah (istri pertama), tetapi pada akhirnya terbuanglah Siti Hajar (istri kedua) dan anaknya dari rumah dan negerinya. Ini adalah contoh kongkrit bahwa manusia tidak bisa berbuat adil sepenuhnya dan menunjukkan bahwa poligami hanya akan menghilangkan rasa kemanusiaan baik bagi laki-laki ataupun perempuan (suami ataupun istri).

Pertimbangan psiko-fisik anak juga sangat berperan penting untuk beristri lebih dari satu. Pengasuhan dan perawatan anak tidak bisa hanya dibebankan pada istri, suami juga memiliki kewajiban yang sama untuk mengasuh dan merawat anak. Jika laki-laki sudah sibuk dengan pekerjaannya, dan ditambah lagi sibuk dengan istri-istrinya, kapan waktu disisihkan untuk anak-anak? Di sinilah pembagian kualitas waktu untuk anak juga diperlukan. Bagaimana istri atau anak-anak bisa mendapat perhatian dan kasih sayang sepenuhnya dari seorang suami atau ayah kalau suami atau ayah membaginya dengan istri dan anak-anak dari istri lain?

Anak sebagai amanat Ilahi dan pewaris sekaligus penerus keturunan akan tumbuh dan berkembang dengan normal dan baik, jika anak mendapat kasih sayang dan pengasuhan yang baik. Baik anak laki-laki maupun perempuan, figur ayah dan ibu sangat diperlukan untuk membentuk kepribadiannya Baik buruknya generasi penerus keluarga, agama, bangsa dan negara tergantung bagaimana seorang ayah dan ibu mendidik, memberi teladan, mengasihi dan merawatnya.

Sedang masyarakat yang pro poligami selalu berdalih ekonomi: dalam menghadapi persoalan ekonomi seperti pengangguran dan kemiskinan, laki-lakilah yang lebih mampu untuk membiayai kebutuhan hidup secara ekonomi. Alasan ini menampakkan bahwa perempuan dianggap sebagai beban ekonomi dalam kehidupan, dengan kata lain perempuan hanya bisa ber-reproduksi tetapi tidak mampu berproduksi. Di dunia dewasa ini banyak perempuan yang tidak bergantung lagi pada laki-laki. Sekarang ini sudah banyak perempuan yang bekerja produktif sejak bekerja menjadi buruh gendong sampai bekerja di parleman, dari pekerja pengangkut sampah sampai bekerja di dunia seni. Dengan demikian anggapan lama bahwa hanya laki-laki yang mampu bekerja, melaksanakan pekerjaan yang paling produktif, tidak bisa lagi diterima. Jadi poligami tidak lagi merupakan solusi untuk menyelesaikan kerumitan persoalan ekonomi.

Alasan berikutnya adalah kemandulan, karena perempuan yang dinikahinya tidak mampu memberikan keturunan. Memang keinginan memiliki keturuann dalam sebuah pernikahan merupakan sesuatu yang alamiah. Tetapi kalau kemandulan yang dijadikan dalih, maka itu sebenarnya alasan yang terlalu mengada-ada. Pasangan suami-istri yang tidak bisa melahirkan anak bukan berarti mereka tidak bisa memelihara dan membesarkan anak. Bagaimana jalan keluar yang memungkinkan dan menyenangkan bila suami atau istri itu mandul?

Dewasa ini bencana alam, konflik kekerasan, kecelakaan transportasi baik darat, udara dan laut banyak memakan korban nyawa, banyak anak-anak yang kehilangan orang tua, maka mereka akan sangat beruntung dan bahagia kalau memdapatkan kasih sayang dan pengasuhan dari pasangan yang tanpa anak ini. Memang hubungan darah dengan anak itu amatlah penting. Tetapi itu bukanlah satu-satunya unsur yang paling baik dalam pengasuhan anak.

Alasan lain juga kerapkali dikemukakan, yakni angka perbandingan banyaknya laki-laki dan perempuan. Memang angka perbandingan ini tidak dapat dipungkiri, sebab secara psikologis perempuan lebih mampu bertahan hidup (survive) daripada laki-laki. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya lansia (lanjut usia) perempuan daripada lansia laki-laki. Kalau mereka yang berpoligami memilih perempuan-perempuan lansia, kemungkinan besar tidak menimbulkan banyak polemik dan persoalan di masyarakat. Tetapi persoalannya akan menjadi lain jika istri-istri yang dipoligami melebih istri pertama. Dan inilah yang selama ini terjadi.

Alasan lain yang dikemukan pro poligami adalah daripada “kumpul kebo” (berzina). Dalih ini sangat mengandung unsur nafsu yang tidak terkendali. Jika nafsu atau naluri kebinatangan yang berbicara pada diri manusia, maka berapa perempuan yang bisa memuaskan dan mengendalikan naluri ini? Prinsip Alquran mengatakan: Jika kebutuhan seksual seorang laki-laki tidak terpenuhi dengan satu istri, maka ia sebaiknya memiliki dua istri, jika gairah laki-laki lebih besar lagi maka ia bisa memiliki tiga sampai empat istri. Jika masih tidak bisa juga maka hendaknya taat, bersikap sopan santun dan mengendalikan diri.

Pengendalian diri dan ketaatan tidak hanya berlaku bagi para istri saja, tetapi penting juga bagi para suami. Budaya manapun sangat mengecam habis perempuan yang meninggalkan laki-laki untuk berhubungan dengan laki-laki lain. Sebaliknya bagaimana manusia bisa bertanggungjawab bersama sebagai khalifah di muka bumi kalau “separuh nyawanya” sibuk mengembangkan kerajaan hayawaniyah-nya.

Poligami yang sarat pro dan kontra dan memuat “dilema psikologis” ini bak dua mata pedang: di satu sisi dengan berpoligami nafsu hayawaniah dapat tersalurkan, dan di sisi lain nurani kemanusiaan bisa tercampakkan. Sehingga kemungkinan besar jawaban yang paling pas atas persoalan ini sebagaimana yang tersebut dalam Alquran adalah masing-masing pribadi hendaknya mengendalikan diri, bersikap sopan santun, dan berperilaku taat kepada keyakinan dan adat budayanya.

1 komentar:

Tuti A mengatakan...

Iya Betul, sangat setuju.....
Manusia harus bisa mengendalikan diri dan melawan hawa nafsu, ini adalah yang terpenting.