Selasa, 13 Mei 2008

SIKAP MENGHADAPI NIKMAT

Katakanlah: Jika sekiranya lautan menjadi tinta untuk menuliskan perkataan Tuhanku (maksudnya nikmat, rahmat dll), niscaya lautan itu menjadi kering sebelum habis perkataan (nikmat) Tuhanku dituliskan, walaupun kamu datangkan sebanyak itu pula (tinta) tambahannya.
( Al Kahfi : 109 )

NIKMAT YANG MELIMPAH RUAH
Tidak ada satu mesin komputer mutakhir yang mampu mencatat berapa banyak nikmat yang dikaruniakan Allah SWT kepada manusia.
Pada ayat yang dikutip diatas, dilukiskan oleh Tuhan sendiri dengan memakai kata-kata kiasan (perbandingan), bahwa kalaupun air laut dijadikan tinta untuk mencatat nikmat itu, maka lautan itu akan kering lebih dahulu, sedang nikmat itu masih belum tercatat seluruhnya.
Pada ayat yang lain ditegaskan oleh Tuhan :
Artinya : “Kalau kamu hitung nikmat Tuhan itu, niscaya tidak dapat kamu menghitungnya “ (Ibrahim 34)
Dalam suatu Hadits digambarkan oleh Rasulullah tentang rahmat (nikmat) itu, sebagai berikut :
Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT memiliki 100 rahmat (nikmat) satu rahmat dari padanya diturunkan Nya dan dibagi-bagi diantara jin, manusia, hewan-hewan besar dan kecil. Dengan rahmat yang satu itu, semua makhluk tersebut. Saling sayang menyayangi dan kasih mengasihi. Dengan rahmat yang satu itulah seekor keledai liar menyayangi anaknya.
Adapun rahmat yang 99 lagi disediakan Tuhan buat kehidupan di akhirat.
Dengan rahmat yang 99 itulah Tuhan akan mengasihi hambaNya pada hari kiamat”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Secara mathematika digambarkan pada hadist tersebut, bahwa nikmat yang dirasakan dan dilihat oleh manusia didunia ini, kekayaan negara dan alam, berupa tambang emas, tambang perak, tambang minyak, mutiara dilaut, karet, tembakau, kopi dan hasil-hasil bumi lainnya, harta milik kaum multi-millioner dan lain-lain sebagainya. Semua itu barulah 1 % dari nikmat-nikmat yang dimiliki Tuhan.
Itupun hanya sekedar hitungan yang gampang untuk menanggapinya.
Oleh sebab itu dapatlah disimpulkan, bahwa nikmat dilimpahkan Tuhan kepada makhluq, terutama umat manusia, melimpah ruah.
Bagaimanakah sikapjiwa manusia menghadapi nikmat itu ? Dalam Al Qur’an sendiri dikemukakan tiga macam sikap jiwa manusia dalam menghadapi nikmat yang diterimanya. Pertama, sikap yang kufur (membangkang), kedua bersikap syukur, ketiga bersikap seperti baling-baling yang terpancang diatas bukit.
Marilah kita uraikan secara singkat ketiga sikapjiwa itu satu demi satu.

1) Sikap Kufur
Banyak manusia yang mendapat nikmat yang melimpah ruah. Berupa kekayaan, kekuasaan, wewenang dll. Akan tetapi, nikmat itu hanyalah semakin menjauhkannya dari ridha illahi. Kekayaan itu dipergunakannya untuk melampiaskan hawa nafsunya, berfoya-foya, menghabiskan waktunya di night-club, bercumbu-cumbuan dengan wanita cantik, berzina, selingkung meminum minuman yang diharamkan, ekstasi, berjudi dan lain-lain sebagainya. Atau kalau di mendapat nikmat berupa kekuasaan dan wewenang. Maka hak-hak itu dipergunakannya untuk memperkosa hak-hak orang lain.
Nikmat yang melimpah ruah itu membuatnya menjadi sombong, angkuh, takabbur.
Pada hakekatnya, nikmat itu adalah semacam cobaan terhadap seseorang sampai dimana dia dapat mengenal dan mengendalikan dirinya.
Tuhan mengatakan dalam Al-Qur’an :
Artinya : “ Kami (Tuhan) akan mencobai kamu dengan yang buruk dan yang baik, untuk ujian dan kepada kami nanti kamu akan dikembalikan “ (Al Ankabut : 35)

Dalam hubungan inilah perlunya norma-norma dan ukuran keagamaan yang selalu memberikan bimbingan dan pedoman kepada manusia dalam menghadapi setiap keadaan dan situasi. Tanpa bimbingan dan pedoman itu, tak obahnya seperti kapal yang kehilangan kemudi di tengah-tengah lautan, dan akhirnya karam dan tenggelam ke dasar laut.
Mempergunakan nikmat yang dikaruniakan Tuhan itu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dimurkai Ilahi adalah satu sikap menantang, membangkang, yang dalam istilah akidah dinamakan Kufur.
Sejarah selalu menunjukkan, bahwa orang-orang yang bersikap kufur itu pada umumnya akan menerima pembalasan dalam kehidupan di dunia ini. Kadang-kadang merupakan kejatuhan, ditimpa musibah dan malapetaka yang bertubi-tubi, kegoncangan dalam kehidupan, dan di akhirat kelak, orang-orang yang kufur nikamt itu akan mendapat azab Ilahi.

2) Sikap Syukur
Adapun manusia golongan (macam) kedua ialah yang menunjukkan sikap syukur ketika mendapat nikmat.
Dia merasa wajib menyatakan syukur itu sebagai ucapan terima kasih. Sedangkan sesama manusia yang memberikan sesuatu pertolongan dirasakan perlu mengucapkan terima kasih. Kononlah lagi kepada Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan nikmat yang tidak terhitung jumlahnya.
Tatacara bersyukur ini diwujudkan dalam bentuk ta’at kepada Allah dan mendekatkan diri (taqarrub) kepadaNya, mengerjakan ibadah dan amal-amal, melaksanakan kebajikan-kebajikan yang diridhaiNya dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dimurkaiNya.
Apabila mendapat nikmat kekuasaan dan wewenang dan yang seumpamanya maka kekuasaan dan wewenang itu hendaklah dipergunakan untuk menegakkan keadilan, menolong orang-orang yang lemah dan teraniaya, membangun sarana-sarana yang bermanfa’at kepada umum.
Jika mendapat nikmat berupa kekayaan itu hendaklah disumbangkan untuk mendirikan bangunan-bangunan yang bersifat sosial, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, masjid-masjid dan amal-amal kebajikan lainnya, memberi modal usaha untuk yang tidak mampu, bantuan SPP.
Haruslah diyakini, bahwa pemberian (pengeluaran) yang disumbangkan itu tidak berarti berkurang, tapi pasti bertambah dalam bentuk-bentuk yang lain, seperti yang dinyatakan dalam Al Qur’an :
Artinya : “ Jika kamu bersyukur, maka Saya (Allah) akan menambah (nikmat) itu kepada kamu, dan kalau kamu membangkang (kufur), maka sesungguhnya siksaKu sangat pedih.” (Ibrahim :7)

Selain dari itu, apabila ditimpa musibah, bencana, kesukaran dan yang seumpamanya, hendaklah berlaku sabar, menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan hati yang tabah. Jangan berkeluh kesah, menggerutu, menyesali nasib, untung dan takdir. Hendaklah selalu bersikap optimistis, sebab dibelakang kesulitan pasti ada kelapangan, sesudah hujan, matahari akan memancarkan sinarnya kembali.
Allah SWT akan memberikan kelapangan kepada orang-orang yang sabar, seperti yang dinyatakan dalam Al Qur’an :
Artinya : “ Dan akan kami berikan kepada orang-orang yang sabar itu pembalasan, menurut yang telah mereka kerjakan dengan sebaik-baiknya ” (An Nahl : 96).

Sikap sabar itu bukan saja ditunjukkan dalam bencana yang mengenai kehidupan, tapi juga sabar dalam menghadapi perjuangan.
Contohnya ialah kesabaran kaum Muslimin dizaman Rasulullah menghadapi perjuangan melawan kaum musyrikin / munafikin dalam peperangan Ahzab, yang mempunyai kekuatan dan senjata yang berlipat ganda. Dengan sikap sabar itu, akhirnya Tuhan memberikan pertolongan dan kemenangan kepada kaum Muslimin.
Tatkala menghadapi pasukan yang kuat itu, kaum Muslimin tidak kecut, malah sebaliknya semakin bertambah keimanan mereka, seperti yang dilukiskan dalam Al Qur’an :
Artinya : “ Setelah orang-orang yang beriman melihat pasukan kaum serikat (Ahzab) mereka berkata :
Inilah yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya kepada kita dan Allah serta Rasul itu (senantiasa) berkata benar. Hal itu hanyalah semakin menambah keimanan dan kebulatan tekad kaum Muslimin “ (Al Ahzab 22)

3) Manusia “Baling-baling”
Golongan (macam) ketiga dapat dinamakan “manusia baling-baling” sebab sikap hidup dan pendiriannya adalah laksana baling-baling yang terpancang diatas bukit, yang bertiup menurut arah angin berhembus.
Orang-orang yang demikian, apabila mendapat nikmat, sikapnya gembira dan melonjak-lonjak, dan umumnya lupa daratan. Tetapi, jika ditimpa malapetaka, mereka menggerutu, bahkan kadang-kadang sikap dan pendiriannya berputar 180 derajat. Tuhan melukiskan dalam Al qur’an tentang manusia yang demikian :
Artinya : “Sebagian manusia ada yang menyembah Tuhan di pinggir-pinggir saja (ragu-ragu, tidak sungguh-sungguh), sehingga kalu dia mendapat kebaikan hatinya senang.
Tetapi kalau mendapat cobaan, dia berputar ke belakang, orang-orang yang demikian itu akan mendapat kerugian di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata ” (Al Haj : 11)

Sikap hidup dan pendirian yang demikian adalah karena iman yang tipis, tauhid belum kuat dan mendalam. Apabila iman dan tauhid sudah teguh, maka keadaannya seperti dilukiskan dalam Al Qur’an sendiri- tak ubahnya laksana pohon besar, daunnya rindang, buahnya lebat, akarnya tertancap ke dalam bumi.
Bukan saja pohon yang demikian dijadikan tempat berlindung diwaktu panas terik, tapi juga memberikan manfa’at kepada makhluq yang lain. Bahkan yang terpenting, mempunyai pendirian yang teguh, tidak roboh dan tumbang walaupun dipukul oleh angin taufan.
Sudah menjadi tabi’at dan watak sebagian manusia bersikap positif waktu mendapat kesenangan, kelapangan, nikmat dan bersikap negatif tatkala mendapat ujian atau ditimpa kesusahan. Hal inilah yang dilukiskan oleh Tuhan dalam Al Qur’an :
Artinya : “ Adapun manusia, apabila diuji oleh Tuhannya, diberiNya kemuliaan dan kesenangan hidup, dia mengatakan: Tuhanku memuliakan aku tetapi, apabila Tuhan mengujinya dibatasiNya rezekinya, maka dia berkata : Tuhanku menghinakan aku “ (Al Fajr : 15-16)

Bagi manusia yang demikian, ukuran yang dipakainya ialah materialistis / nilai-nilai lahiriah, soal kebendaan (materi). Yang nampak baginya ialah benda-benda yang mengambang di permukaan air, sedang bend

Tidak ada komentar: