Jumat, 30 Mei 2008

Menyedihkan

MENYEDIHKAN! Kata itulah yang bisa diterapkan pada sebagian remaja kita. Remaja kita tengah berada di persimpangan jalan. Mereka gamang. Di satu sisi remaja harus menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan kecemasan-kecemasan atas perkembangan yang terjadi pada tubuh mereka, khususnya menyangkut pematangan organ-organ reproduksi yang seolah-olah asing baginya. Sementara di sisi lain, mereka juga tengah terseret oleh satu arus besar berupa pergeseran nilai-nilai global menyangkut paradigma atau cara pandang terhadap seksualitas. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan multimedia merupakan salah satu kendaraan yang mampu menyeret remaja kita pada pusaran revolusi nilai-nilai dan moralitas seksual tersebut.

Pada tahap remaja, bisa dikatakan perasaan seksual demikian menguat. Gejala tersebut tak bisa tidak harus dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda antara satu remaja dan remaja lain. Demikian pula kadar kemampuan mengendalikan gejolak perasaan seksual juga berbeda. Sayangnya, ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berusaha keras menyembunyikan segala hal tentang seks. Atau dengan kalimat yang lebih halus, masyarakat tidak mampu menjadi mentor yang membimbing remaja ke arah yang benar berkaitan dengan seks.

Akibatnya, remaja merasa ditinggalkan begitu saja dengan sejuta tanda tanya di kepala mereka. Pandangan bahwa seks adalah sesuatu yang tabu, telah sekian lama tertanam dan bersemanyam dalam moralitas ketimuran, membuat remaja enggan bersikap terbuka. Misalnya berdiskusi tentang segala aspek menyangkut seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja (KRR), baik dengan orang lain atau malah dengan saudara dan orang tua mereka. Mereka merasa tidak nyaman bila membahas persoalan seks.

Celakanya, di tengah tidak tersedianya sumber informasi yang akurat dan benar tentang seks dan KRR, untuk memuaskan keingintahuan mereka, para remaja justru bergerilya mencari akses dan eksplorasi diri lewat berbagai cara dan media. Ada yang lewat buku, majalah, film, obrolan dengan teman, atau lewat internet. Sayangnya, sumber informasi yang mereka dapat memberikan substansi yang salah dan menyesatkan. Buku, majalah, film, dan internet yang mereka akses cenderung bermuatan pornografi, bukan pendidikan seks. Remaja pun kemudian berubah, dari semula seorang yang mencari tahu apa itu seks, menjadi penikmat seks di media yang diaksesnya.

Karena seks hampir sama dengan candu, para remaja yang kebetulan berada pada usia penuh gejolak pun terus dilanda kecanduan seks. Mereka terjebak dan ketagihan oleh materi di buku, majalah, atau film porno yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa diimbangi suatu sikap tanggung jawab yang harus disandang dan risiko yang bakal mereka hadapi. Situs-situs porno di internet pun seolah menjadi “lokasi hiburan” para remaja dalam memuaskan hasrat seksualitasnya. Meski saat ini aktivitas situs porno baru mencapai 2-3% saja dari total pengguna internet, kecenderungan remaja untuk membuka internet karena ingin mengakses ke situs porno tetap harus menjadi hal yang perlu diwaspadai.

Kalau saja berbagai tindakan keliru dalam mencari sumber referensi mengenai seks itu tidak diikuti oleh perbuatan — dalam pengertian melakukan aktivitas dan praktik seksualitas — kekhawatiran kita tidak terlalu besar. Persoalannya, bersamaan dengan maraknya perbuatan mencari sumber informasi itulah, praktik-praktik seksualitas di luar “jalur legal” kian memprihatinkan. Berdasarkan data UNICEF, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu, kini sudah mulai berani melakukan hubungan seks di usia dini, yakni 13-15 tahun. Memang hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan bahwa seks pranikah belum terlampau banyak dilakukan. Misalnya di beberapa daerah seperti Jateng, Jatim, Jabar, dan Lampung angkanya baru berkisar 0,4% - 5%. Di daerah perkotaan Jawa Barat angkanya mencapai 1,3% dan pedesaan 1,4%, sedangkan Bali angkanya 4,4% di perkotaan dan 0% di pedesaan.

Namun demikian, beberapa penelitian lain menemukan jumlah remaja yang melakukan seks pranikah jauh lebih fantastis. Misalnya saja hasil survei dasar KRR yang dilakukan BKKBN Jabar terhadap 288 responden usia 15-24 tahun di enam kabupaten di Jabar pada Mei 2002 diperoleh data sekira 39,65% remaja Jabar pernah melakukan hubungan seksual pranikah, sedangkan hasil survei BKKBN-LDFE UI memperlihatkan di Indonesia terjadi 2,4 juta kasus aborsi per tahun dan sekitar 21%-nya dilakukan oleh remaja, angka penyakit menular seksual (PMS) pada remaja mencapai 4,18%, 50% dari jumlah penderita HIV/AIDS di Jabar berusia sekisar 15-29 tahun dan pengguna narkoba mencapai 2.736 orang.

Data yang membuat para orang tua ”merinding” ini bisa jadi menunjukkan angka lebih besar, karena memang yang muncul ke permukaan hanyalah segelintir. Bayangkan jika para remaja kita yang terkena HIV/AIDS itu kelak berhubungan seks dengan orang yang sehat, berapa banyak mereka yang akan tertular penyakit yang menyerang daya imunitas seseorang itu.

Menurut sejumlah pakar, angka-angka hasil penelitian berbagai lembaga tersebut cenderung memperlihatkan fenomena “gunung es” dengan kaki gunungnya terbenam di bawah samudera. “Angka hubungan seksual sebelum nikah, kehamilan tak diharapkan, penggunaan narkoba, pengidap AIDS/HIV, dan kasus-kasus aborsi di kalangan remaja menunjukkan gejala yang cukup mengkhawatirkan,” kata Kepala Bidang Pengendalian Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Jabar Drs. Suryadi Danuwisastra.

**

KELALAIAN untuk menanggapi kebutuhan remaja akan informasi tentang KRR dan seks yang bertanggung jawab ternyata berbuah pahit. Begitu populernya perilaku berisiko, begitu banyak korban berjatuhan, begitu tinggi biaya sosial yang harus kita bayar. Masa depan remaja yang terampas tentu saja tidak mungkin bisa dikembalikan oleh uang, betapa pun besarnya uang itu. Mengenai besarnya biaya atau beban sosial yang harus dibayar, bisa dilihat dari beberapa fakta di bawah ini.

Percaya atau tidak, angka statistik pernikahan dini — dengan pengantin wanita berusia di bawah 16 tahun — secara keseluruhan mencapai lebih dari seperempat dari total pernikahan. Bahkan di beberapa tempat, angkanya jauh lebih besar, misalnya Jatim 39,43%, Kalimantan Selatan 35,48%, Jambi 30,63%, Jawa Tengah 27,84%, dan Jawa Barat 36%. Di banyak daerah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama. Padahal, pernikahan dini berarti mendorong remaja untuk menerabas alur tugas perkembangannya, menjalani peran sebagai dewasa tanpa memikirkan kesiapan fisik, mental dan sosial mereka.

Lantas, perjalanan apa yang bisa kita petik dari fenomena di atas? Tak lain, kekukuhan kita untuk terus mengingkari kenyataan bahwa remaja butuh pengetahun dan informasi yang benar tentang seks serta KRR telah menjerumuskan remaja ke dalam kondisi yang menjadikan mereka tidak berkualitas. Mereka menapaki jenjang kehidupan berikut berupa keluarga dengan bekal informasi yang salah. Akibatnya, lembaga keluarga yang mereka bangun pun tidak berkualitas, ayah dan ibu masih muda dan tidak siap menjadi orang tua. Mereka kemudian melahirkan anak-anak yang juga tidak berkualitas. Begitu seterusnya.

Sudah saatnya kita memperbaiki fungsi keluarga, yang barangkali untuk beberapa hal menunjukkan berbagai distorsi. Keluarga adalah segalanya, dengan ayah dan ibu yang bisa menjadi sumber pertama yang mampu memberi informasi mengenai seks kepada remaja secara benar dan tepercaya. Tentu saja, keluarga saja belum cukup. Peran sejumlah lembaga yang berkaitan dengan masalah pendidikan seks, konseling seks, dan KRR, tetap perlu dilibatkan. Yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana orang tua menanamkan nilai-nilai agama sejak usia dini sambil terus memberikan pengertian dan penyadaran mengenai seksualitas dan KRR.

Remaja adalah mata rantai dalam pembentukan masa depan dan sejarah perjalanan bangsa. Remaja rusak berarti juga menyiapkan bangsa ini jadi rusak. Oleh karena itu, mereka harus diselamatkan sebab jika remaja kita berkualitas rendah, hal itu akan berakibat pada kehancuran bangsa. Untuk itulah kita para orang tua, juga para remaja hendaknya bersama-sama mencegah keadaan tersebut menjadi lebih gawat.

Memang tidak mudah, tapi juga tidak ada lagi alasan bagi orang tua untuk berleha-leha menghadapi anak-anak mereka yang sudah memasuki usia remaja

Tidak ada komentar: