Selasa, 13 Mei 2008

MEMAHAMI AYAT AYAT ALLAH

Saudara-saudara kaum Muslimin sidang jum’ah Rakhimakumullah;

Al-Qur’an dan fenomena alam dinamai oleh al-Qur’an sebagai ayat-ayat Allah. Ayat berarti tanda atau rambu-rambu. Yakni tanda-tanda perjalanan menuju kebahagiaan dunia akherat.
Al-Qur’an al-Karim adalah kitab yang oleh Rasulullah saw. dinyatakan sebagai; “Tali Allah yang terulur dari langit ke bumi, di dalamnya terdapat berita tentang umat masa lalu, dan khabar tentang situasi yang akan datang. Siapa yang berpegang dengan petunjuknya dia tidak akan sesat”. Kitab suci ini juga memperkenalkan dirinya sebagai hudan li al-nas (petunjuk bagi seluruh umat manusia). Sekaligus menantang manusia dan jin untuk menyusun semacam al-Qur’an. Dari sini kitab suci al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat (bukti kebenaran), sekaligus kebenaran itu sendiri.
Lima belas abad yang lalu ayat-ayat Allah itu diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad saw.

Menurut orientalis Gibb, “ Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini, yang telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan yang demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh nabi Muhammad saw., yakni al-Qur’an”.

Bahasanya yang demikian mempesonakan, redaksinya yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung, telah mengantarkan kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum, walau nalar sebagian mereka menolaknya.
Nah, terhadap yang menolak itu al-Qur’an tampil sebagai mukjizat, sedangkan fungsinya sebagai hudan ditujukan kepada seluruh umat manusia, sekalipun yang memfungsikannya dengan sebagai hudan hanyalah orang-orang yang bertakwa. Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 1-2;

Artinya; “Alif, lam, mim. Itulah (al-Qur’an) kitab yang sempurna, tiada keraguan di dalamnya. Ia adalah petunjuk untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 1-2)

Kaum muslimin rahimakumullah
Ayat-ayat Allah yang terdapat di alam raya, telah terhampar jauh dan luas sebelum turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Ia juga sangat mempesonakan. Sedemikian mempesonakan sehingga banyak orang yang terpaku dan terpukau, bahkan berusaha menguasai dan meraihnya sebanyak mungkin. Sikap ini mengacu pada materialisme sehingga ayat-ayat itu tidak lagi dijadikan ayat atau tanda perjalanan, tetapi telah menjadi tujuan.

Siapa yang tidak terpesona melihat indahnya alam ini; gunung yang begitu tinggi dan besar menjulang, lautan luas tanpa batas dihiasai ombak yang tiada berhenti yang dipenuhi oleh ikan yang berwarna-warni, embun pagi disertai sinar matahari menyambut datangnya pagi yang diramaikan dengan kicau burung bernyanyi, sawah-ladang-dan hutan yang subur tanahnya, rimbun pohonnya membuat manusia ingin menguasainya. Sebetulnya semua itu merupakan sekedar tanda yang harus dibaca dan dipahami untuk mencapai kebahagiaan, bukan merupakan tujuan akhir.

Kita bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau rambu-rambu lalu lintas demikian indah mempesonakan sehingga yang seharusnya menjadi tanda yang menunjuk ke arah yang dituju tidak lagi menjadi tanda dan petunjuk jalan, tetapi membuat si pejalan malah terpaku dan terpukau di tempatnya. Ia terpaku memikirkan untuk memperolehnya sebanyak-banyaknya.

Telah menjadi kebiasaan manusia, jika berpikir dan berbicara tentang dunia tidak pernah berhenti, sampai-sampai yang lainnya terlupakan. Padahal Allah menciptakannya hanya sekedar ayat atau tanda bagi manusia yang ingin mencapai kebahagiaan dunia akherat. Namun saying kebanyakan mereka terpukau dan terpaku pada keinginan menguasai tanda tersebut sebanyak-banyaknya, sehingga tidak sampai pada hakikat yang sebenarnya. Manusia ingin menguasainya sebanyak-banyaknya, ia tidak merasa puas, inginya terus menambah dan hidup bermegah-megahan.
Allah melarang orang-orang yang hidup bermegah-megahan sehingga melalaikan Tuhannya. Firman Allah dalam Surat al-Takatsur ;

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ {1} حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ {2} كَلَّا سَوْفَ
تَعْلَمُونَ {3} ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ {4} كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ
عِلْمَ الْيَقِينِ {5} لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ {6} ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا
عَيْنَ الْيَقِينِ {7} ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ {8

Artinya; “Bermegah-megahan menyebabkan kamu melupakan Allah sampai masuk ke liang kubur. Jangan begitu nanti kamu akan mengetahui. Kemudian jangan begitu nanti kamu akan mengetahui. Jangan begitu nanti kamu akan mengerti dengan pengetahuan yang yaqin. Kamu akan mengetahui neraka jahim”

Larangan Allah kepada manusia yang hidup bermegah-megahan dalam ayat di atas, disebutkan sebanyak tiga kali dengan kalimat “kalla”. Hal ini menunjukkan bahwa larangan tersebut sangat keras, dan menunjukkan bahwa hidup bermegah-megahan menjadikan pelakunya melupakan kewajiaban dirinya kepada sesama dan kewajiban dirinya kepada Allah. Ia menjadikan dunia ini sebagai tujuan akhir, padahal dunia seisinya hanya sekedar tanda yang akan menunnjukkan atau mengantarkan manusia mencapai tujuan hidupnya. Allah menciptakan manusia dan jin adalah untuk beribadah. Dan dalam beribadahnya harus ditujukan hanya kepada Allah semata.

Kalam Ilahi yang merupakan ayat-ayat Allah, yang juga sangat mempesonakan, itu mengakibatkan sebagian kita hanya terhenti dalam pesona bacaan ketika ia dilantunkan, seakan-akan kitab suci ia hanya diturunkan untuk dibaca (secara lafdhiah).

Memang, wahyu yang pertama turun adalah Iqra’ bismirabbik… (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu), bahkan kata Iqra’ diulangi dua kali. Akan tetapi, kata ini bukan sekedar perintah membaca dalam pengertian yang sempit, melainkan juga mengandung makna “telitilah, dalamilah” karena dengan penelitian dan pendalaman itu manusia dapat meraih sebanyak mungkin kebahagiaan.
Allah berfirman;

Artinya; “Kitab yang telah Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar ulul albab mengingat/menarik pelajaran darinya”. (QS. Shad/38 ; 29)

Bacaan hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan al-Qur’an, pemahaman dan penghayatan disertai dengan Tadzakkur (mengingat) dan tadabbur (berfikir). Sungguh aneh jika ada pendengar yang berdecak kagum dengan mendengar bacaan seorang qari’ (pembaca al-Qur’an), berseru dengan kata; “Allah, Allah…” bergembira dan senyum simpul menghiasi bibirnya, padahal ayat yang dibaca sang qari’ adalah ayat ancaman. Itulah salah satu contoh mereka yang terpesona dengan bacaan.
Al-Qur’an mengecam mereka yang tidak menggunakan akal dan kalbunya untuk berpikir dan menghayati al-Qur’an.

Mereka itu dinilainya tertutup hatinya. Firman Allah;

Artinya; “Apakah mereka tidak memikirkan al-Qur’an, atau hati mereka telah terkunci ? (QS. Muhammad/47 : 24).

Janganlah sikap kita terhadap ayat-ayat Allah mencapai tingkat yang pernah dialami oleh umat-umat sebelum kita, yang antara lain dicatat oleh Allah swt. dengan firman-Nya ,

‘Diantara mereka ada yang ummiyyun yang tidak mengetahui al-Kitab kecuali amaniyy (berangan-angan)” (QS. Al-Baqarah/2 : 78)

Ibnu Abbas menafsirkan kata Ummiyyun dengan arti tidak mengetahui makna pesan-pesan kitab suci, walau-boleh jadi- mereka menghafalnya. Mereka hanya berangan-angan atau amaniyy dalam istilah ayat di atas, yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan “sekedar membacanya”. Keadaan yang demikian itulah yang disebutkan oleh al-Qur’an dengan seperti

“keledai yang memikul buku-buku (QS. Al-Jumu’ah/62 : 5),

atau “seperti penggembala yang memanggil binatang yang tak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, (maka sebab itulah) mereka tidak mengerti (QS. Al-Baqarah/2 : 171)

Al-Qur’an Surat al-Furqan ayat 30 menjelaskan bahwa di hari kemudian nanti, Rasul Muhammad saw. penerima al-Qur’an itu, akan mengadu kepada Allah. Beliau bersabda;

Artinya; “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku (umatku) telah menjadikan al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan” (QS. al-Furqan/25 : 30)

Menurut Ibnul Qoyyim, banyak hal yang dicakup oleh kata mahjuura yang diterjemahkan dengan sesuatu yang tidak diacuhkan, antara lain;

1. Tidak tekun mendengarkannya
2. Tidak mengindahkan halal haramnya, walau dipercaya dan dibaca
3. tidak menjadikannya rujukan dalam menetapkan hukum menyangkut prinsip-prinsip agama dan rinciannya
4. Tidak berupaya memikirkan dan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah swt. yang menurunkannya
5. Tidak menjadikannya obat bagi semua penyakit kejiwaan.

Semua yang disebutkan di atas tercakup dalam pengaduan nabi Muhammad saw.

Semoga kita tidak hanya memiliki mushaf al-Qur’an, tetapi juga pandai membaca, memahami, dan mengamalkan tuntunannya. Karena kita yakin, dan pasti enggan disamakan dengan keledai atau dengan binatang apapun. Semoga keengganan itu dapat kita buktikan dengan semangat mengamalkan al-Qur’an. Menjadikan al-Qur’an sebagai sumber motivasi; menjadikan al-Qur’an sebagai start of main and the rule of thingking.

Tidak ada komentar: