Kamis, 24 April 2008

WIDAD DAN INTIMA`

Secara bahasa, widad berarti cinta kasih timbal balik, ia satu rumpun kata dengan mawaddah (QS Ar-Rum [30]:21). Dalam kamus tarbawi da’awi dan haraki, kata yang satu rumpun dengan widad ini sangatlah terkenal. Misalnya adalah:

Firman Allah swt:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang."


Sabda Rasulullah saw:

"Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersimpati adalah seperti satu tubuh, jika ada satu organ yang sakit, maka organ-organ lainnya akan terbawa olehnya dalam bentuk susah tidur dan demam."

(HR Muttafaqun ‘alaih).

Mengingat betapa penting wuddun atau widad atau tawaddihim atau yang serumpun kata dengannya inilah, maka seorang tokoh da’wah di abad 20 yang masih sangat terkenal sampai sekarang, yaitu Hasan Al Banna mengatakan: Laa tufsiduu lil wuddi qodhiyyah. Maksudnya: Janganlah permasalahan, pertikaian, perselisihan dan semacamnya yang ada diantara sesama da’i, atau antara murabbi dan mutarabbi, atau antara qidayah dan junud atau antara syekh dan murid menjadi penyebab hancurnya cinta kasih yang ada diantara mereka. Sedangkan yang dimaksud intima’ adalah ketergabungan, dan atau juga menggabungkan diri.

Ikhwati fillah …

Memang, hubungan antara da’i satu dengan da’i lainnya, atau antara murabbi dan mutarabbi-nya, atau antara qiyadah dan junud, hendaklah dibangun diatas dasar widad (atau cinta kasih), bahkan hubungan antar sesama muslimpun haruslah dibangun atas dasar dan prinsip ini. Sebab itulah, dalam salah satu risalahnya, Hasan Al Banna menjelaskan bahwa lembaga tarbiyah hendaklah dibangun di atas tiga rukun (penopang), yaitu ta’aruf, tafahum dan takaful. Dalam penjelasannya, ia memaparkan bahwa yang dimaksud dengan ta’aruf adalah upaya saling mengenal antar sesama da’i, saling mencintai karena Allah, upaya merasakan nilai ukhuwwah yang benar dan sempurna, kesungguhan untuk tidak membuat keruh hubungan dan bermottokan atau bersyi’ar innamal mukminuuna ikhwah, wa’tashimu bihablillah, dan hadits muttafaq ‘alaih di atas.

Sementara yang dimaksud tafahum –sesuai dengan pemaparannya adalah istiqamah di atas manhaj Al Haqq, menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, muhasabatun-nafs, saling menasehati dengan berbagai aturan dan adab-adab menasehati dan yang terpenting adalah upaya untuk senantiasa mencintai saudaranya, menghormati dan mencintainya. Apa yang dijelaskan oleh Hasan Al Banna rahimahullah ini sejalan dengan pernyataan Imam Syafi’i rahimahullah, karena memang keduanya mengambil dari mata air yang sama, yaitu kitab Allah swt dan Sunnah Rasul-Nya. Imam Syafi’i berkata: Al-hurru man raa-’aa widaada lahzhatin, wantamaa li man afaadahu lafzhatan. Yang artinya manusia merdeka (bebas dari segala macam keterbudakan) adalah seseorang yang memuro’ati (memperhatikan, memelihara) widad orang lainnya, meskipun widad itu hanya sesaat, dan berintima’ kepada orang yang telah memberikan faidah kepadanya, meskipun hanya lafzhatan (satu kata). Dalam kamus da’awi, tarbawi dan haraki, pernyataan Imam Syafi’i ini perlu kita renungkan dalam-dalam, agar kita dapat menggali berbagai ‘ibrah yang terkandung di dalamnya.

Diantara ‘ibrah-ibrah itu adalah:

Pertama: Dalam kamus da’wah, tarbiyah dan harakah, ada empat istilah yang perlu kita camkan baik-baik, entah status kita sebagai murabbi ataupun mutarabbi, entah kita sebagai qiyadah ataupun junud. Empat kata itu adalah: widadmuro’atifadahintima’. Bila kita adalah murabbi, dan menginginkan adanya muro’at (perhatian, penjagaan, pemeliharaan, dan pembelaan, atau lebih luasnya bisa diartikan loyalitas, kesetiaan dan semacamnya) dari mutarabbi kita, maka terlebih dahulu, kita harus memberikan widad kepada para mutarabbi kita. Hal yang sama harus terjadi pula bila kita seorang qaid (pemimpin) yang mengharapkan mendapatkan muro’at dari junud kita.

Bila kita adalah murabbi, dan menginginkan adanya intima’ (ketergabungan, atau menggabungkan diri, atau dalam arti luas bisa bermakna dukungan) dari mutarabbi kita, maka terlebih dahulu, kita harus memberikan ifadah (hal-hal yang bermanfaat dan berfaedah) kepada para mutarabbi kita. Hal yang sama harus terjadi pula bila kita seorang qaid (pemimpin) yang mengharapkan mendapatkan intima’ dari junud kita.

Sebaliknya, bila kita adalah mutarabbi, maka hendaklah kita menyadari betapa banyak widad dan ifadah yang telah kita dapatkan dari murabbi kita, bukan hanya lahzhatin (seperti yang dikatakan Imam Syafi’i, yang artinya satu detik), akan tetapi sehari, bahkan sepekan, sebulan, setahun dan seterusnya, dalam hal ifadah, bukan hanya lafzhatin (seperti yang dikatakan Imam Syafi’i, yang artinya: satu kata), akan tetapi satu kalimat, bahkan satu buku, bahkan puluhan buku, maka sudah sewajarnyalah kita me-muro’at-i dan ber-intima’ kepada murabbi kita itu. Begitu halnya bila kita adalah junud terhadap qiyadah kita.

Kedua: Kadang-kadang, sebagian kita menganggap bahwa hubungan antara murabbi dan mutarabbi adalah hubungan materi semata (maksudnya: menyampaikan materi tarbiyah atau pembinaan). Namun, bila mau merenungkan pernyataan singkat Imam Syafi’i yang padat arti ini, kita mengetahui bahwa persepsi seperti ini (hubungan materi) adalah sesuatu yang salah, ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar materi, yaitu widad, maksudnya: sudah sejauh manakah sang murabbi memberikan widad-nya kepada sang mutarabbi, dan sudah seberapa besar sang mutarabbi merasakan widad dari murabbinya. Bukankah Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah kalian masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sehingga kalian saling mencintai, …" (HR Muslim). Perlu juga kita ketahui juga bahwa hubungan materi tidaklah identik seratus persen dengan hubungan ifadah, sebab, bisa saja seorang murabbi menyampaikan suatu materi, akan tetapi, bagi sang mutarabbi, ia merasa tidak mendapatkan faedah apa-apa dari materi itu, tidak mendapatkan sesuatu yang terasa betul sangat berguna bagi kehidupan agama sang mutarabbi, atau ma’asy (kehidupan duniawinya), atau akhir urusannya, bisa jadi karena materinya sudah kedaluwarsa, atau itu-itu saja tidak ada yang baru, atau mungkin terlalu hambar, kurang sedap, atau mungkin banyak kesalahan tulis dan ilmiahnya atau karena kemungkinan-kemungkinan lainnya yang menyebabkan hilangnya nilai faedah dari materi itu.

Ketiga: Perlu ditegaskan di sini, bahwa tujuan kita memberikan widad dan ifadah bukanlah agar kita mendapatkan muro’at dan intima’ tadi, akan tetapi, tujuan kita tetaplah harus ridha Allah swt, muro’at dan intima’ itu harus kita sikapi seperti ghanimah dalam peperangan, bila ada ya kita ambil, bila tidak ada, toh kita sudah mengikhlaskannya untuk Allah swt dan mengharapkan ganjaran di sisi-Nya di akhirat nanti, amiiiin.

Ikhwati fillah …

Marilah kita camkan dan kita renungkan kembali empat kata penting dalam kalimat Imam Syafi’i di atas, semoga kita termasuk orang-orang yang mampu memberikan widad kepada mutarabbi kita, bukan dengan tujuan ingin mendapatkan muro’at, akan tetapi karena Allah swt, dan semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa mampu memberikan ifadah kepada orang lain, bukan dengan tujuan mendapatkan intima’, akan tetapi karena ikhlas tulus untuk Allah swt, dan dalam rangka melaksanakan hadits Rasulullah saw: Sungguh, Allah swt memberikan hidayah kepada satu orang lantaran kamu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah (Muttafaqun ‘alaih).

Tidak ada komentar: