Berbicara tentang karakter keluarga, sejujurnya adalah berbicara tentang identitas. Dalam garis panjang keturunan, selalu ada sisi-sisi dimana seorang mengenang, mencintai, meneruskan, dan bahkan merasa punya tanggung jawab untuk menjaga garis itu. Tapi ini bukan sebuah garis darah, tapi garis kepribadian, jati diri, dan perilaku utama yang diusung.

Dalam praktiknya, ada bermacam garis-garis karakter yang diusung, diwariskan, atau dipertahankan oleh sebuah keluarga. Beberapa contoh yang dipaparkan berikut ini lebih merupakan bagaimana memahami konteks dan fungsi karakter keluarga bagi kehidupan. Tentu, masih banyak model-model lain dari sebuah karakter dan garis keturunan yang bertebaran sepanjang sejarah.


Karakter Keluarga dan Pencarian Akar

"Indentitas tidak bisa disekat-sekat. Anda tidak bisa membelahnya dari separuh, sepertiga, atau seberapa pun segmen terpisah. Aku tidak punya beberapa identitas: aku hanya punya satu, yang terdiri dari banyak komponen dalam sebuah paduan yang unik bagiku, sama halnya identitas orang lain, unik bagi mereka sebagai individu."

Ungkapan di atas ditulis oleh Amin Maalouf, seorang novelis dari Lebanon yang tinggal di Perancis, dalam bukunya In the Name of Identity yang kontroversial itu, untuk menjawab pertanyaan orang apakah dia separuh Perancis separuh Lebanon?

Amin Maalouf sepertinya ingin menjelaskan bahwa indentitas itu tidak bisa dilihat hanya dari sudut tertentu, yang mungkin umum diketahui orang. Akan tetapi, ia merasa bahwa ada beberapa komponen lain yang tidak bisa dinafikan keberadaan dan pengaruhnya pada diri seseorang, yang mungkin akan menjadikan orang itu tampak unik dan berbeda dari orang lain. Yang menjadikannya punya karakter tersendiri yang dia warisi dari leluhurnya. Ia menegaskan, "Aku lahir di Lebanon dan tinggal di sana sampai 27 tahun; bahwa Arab adalah bahasa ibuku; bahwa dalam terjemahan bahasa Arablah aku pertama kali membaca Dumas dan Dickens serta Gulliver’s Travels; bahwa di desaku lah, desa para leluhur, aku mengalami nikmatnya masa kecil dan mendengarkan dongeng-dongeng yang nantinya mengilhami novel-novelku. Bagaimana mungkin aku melupakan semua itu? Bagaimana mungkin aku mengesampingkannya? Di sisi lain, aku sudah tinggal di tanah Perancis selama 22 tahun. Aku tenggak air dan anggurnya, tiap hari tanganku menjamah bebatuan kunonya, aku tulis buku-buku dalam bahasanya. Tak akan lagi Perancis menjadi negeri asing bagiku."

Pengalaman dan penuturan di atas mungkin menarik untuk coba kita simak. Bahwa akar, yang tak lain adalah keluarga besar, atau suku, atau bangsa dimana kita berasal adalah sesuatu yang tak bisa terpisahkan dan tak mungkin terlupakan begitu saja, meskipun kita tidak lagi berada dalam lingkungan mereka karena terpisah oleh satu wilayah atau negara yang cukup jauh, atau karena rentang waktu yang begitu panjang.

Bagaimanapun, kerinduan kepada mereka pasti tetap bersemi di hati kita. Kebanggaan sebagai bagian dari mereka pasti ada. Kenangan-kenangan manis pun kadang terlintas. Karena dari sanalah identitas kita terbangun. Karakter-karakter yang menjadi ciri khusus mereka pun tumbuh baik dalam jiwa kita. Ketika Rasulullah saw terusir dari Makkah dan hijrah ke Madinah, beliau tidak pernah kembali lagi ke sana hingga terjadinya Fathu Makkah. Suatu hari, setelah sekian tahun tinggal di Madinah, seorang sahabat tiba dari Makkah. Beliau pun bertanya, "Bagaimana keadaan Makkah ketika kamu tinggalkan?"

Sahabat itu menjawab dengan menceritakan kebun-kebun kurma hijau yang sedang tumbuh indah. Tiba-tiba beliau berkata, "Cukup! Cukup!" Beliau tak kuasa menahan tangis karena cerita itu seolah mengembalikan kenangan-kenangan manis beliau bersama keluarga di kota kelahirannya itu.

Karakter Keluarga, Apresiasi Kekhususan dan Kebahagiaan Batin Yang Tidak Tergantikan

Allah swt yang telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tidak hanya membedakan mereka dari bahasa dan warna kulitnya. Tetapi mereka diberikan juga sesuatu yang lain, yang mungkin sangat spesifik seperti karakter, bakat, atau sifat turunan yang membuatnya unik, dapat melakukan sesuatu yang berarti yang tidak dilakukan orang lain. Dan ini adalah bukti dari kemahakuasaan Allah yang lain.

Kita bisa membaca dari sebuah analisa sejarah, mengapa Islam diturunkan kepada bangsa Arab. Al Buthy dalam Fiqhus Sirahnya menjelaskan hal ini, bahwa bangsa Arab hidup dengan tenang, jauh dari bentuk keguncangan ajaran dan pemikiran. Karena mereka tidak diberikan kemewahan dan peradaban seperti Persia, yang memungkinkan mereka kreatif dan pandai menciptakan kemerosotan-kemerosotan, filsafat keserbabolehan dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama. Mereka juga tidak diberikan kekuatan militer seperti Romawi, yang mendorong melakukan ekspansi ke negeri tetangga. Mereka tidak memiliki kemegahan filosofi dan dialektika seperti Yunani, yang menjerat menjadi bangsa mitos dan khurafat.

Yang mereka miliki adalah karakter-karakter positif alami, seperti bahan baku alami berkualitas sangat baik, yang belum diolah dengan bahan lain; masih menampakkan fitrah kemanusiaan dan kecenderungan yang sehat dan kuat, serta cenderung kepada kemanusiaan yang mulia, seperti setia, penolong, dermawan, rasa harga diri dan keterhormatan.

Jika mereka hidup dalam kegelapan dan kebodohan, itu karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang dapat membimbing ke jalan yang benar. Tetapi dengan datangnya Islam, karakter-karakter positif yang mereka miliki seperti menemukan kerannya. Dalam waktu yang tidak lama, bangsa Arab tiba-tiba menjelma menjadi kekuatan besar yang siap menaklukkan dunia. Di sini Islam berkembang mudah karena tidak perlu menghabiskan waktu untuk melawan kehebatan filsafat dan mitos, atau meruntuhkan sebuah kekuatan militer. Islam "hanya" perlu menyesuaikan ajaran-ajaran yang dibawanya dengan fitrah kemanusiaan bangsa Arab

Karakter-karakter positif di atas adalah milik bangsa Arab secara umum. Namun dalam lingkup yang lebih kecil, di dalam suku atau keluarga-keluarga tertentu, mereka masih menyimpan karakter-karakter lain yang lebih unik. Dan Rasulullah mengapresiasi potensi-potensi itu dengan memberikan tugas-tugas kebaikan yang lebih khusus sesuai karakter mereka. Hal ini bisa kita temukan dalam sebuah riwayat dari Abu Mahdzurah. Ia berkata, "Rasulullah saw telah memberikan kewenangan adzan kepada kami dan keturunan-keturunan kami; memberi minum para jamaah haji kepada anak keturunan Hasyim; dan penjaga pintu Ka’bah kepada anak keturunan Abdid Daar." (HR. Ahmad)

Jika kita cermati hadits ini, apa yang dilakukan Rasulullah saw itu tentu bukan karena beliau sekadar ingin membagi kebaikan semata, tetapi mungkin karena beliau melihat ada karakter berbeda yang dimiliki masing-masing keluarga. Maka beliau pun memberikan tugas sesuai dengan karakter yang mereka miliki.

Abu Mahdzurah yang berasal dari keluarga Al Jamahi mungkin memiliki karakter suara yang indah sehingga kewenangan adzan di Masjidil Haram diberikan kepada mereka. Keturunan Hasyim mungkin memiliki kedermawanan yang luar biasa sehingga diberikan kewenangan memberi minum kepada jamaah haji. Dan keluarga Abdid Daar diberikan hak menjaga dan memelihara Ka’bah karena mungkin mereka memiliki fisik yang kuat, amanah dan kesetiaan yang istimewa.

Tugas-tugas kebaikan yang mereka dapatkan selain sebagai apresiasi atas kekhususan mereka, juga memberikan kebahagiaan batin tak tergantikan. Kebaikan itu terus mereka wariskan kepada anak-anak mereka, sebagai sebuah kebanggaan dan kepuasan hati, serta keberartian diri kepada orang banyak. Satu bukti yang masih tersisa hingga detik ini, di lingkungan Masjid Nabawi sebuah keluarga mewarisi adzan dari waktu yang sudah cukup lama. Meskipun di antara keluarga ini bergelar doktor dan berprofesi sebagai dosen, namun begitu masuk waktu shalat tak ada rasa segan di hati untuk melantunkan adzan.

Ada lagi keluarga di sekitar Masjid Nabawi, yang setiap tahun setia menyediakan beraneka penganan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa di sepanjang Ramadhan. Bahkan biasanya berlanjut pada puasa enam hari di bulan Syawal. Penganan-penganan itu, jika dinilai secara harga.barangkali cukup mahal, padahal mereka bukanlah dari keluarga-keluarga kaya. Ketika ditanya bagaimana melakukan itu, mereka mengatakan, kami harus menabung; menyisihkan rejeki selama sebelas bulan. Lalu uang yang terkumpul, semua khusus dibelanjakan untuk memberikan ifthar kepada orang-orang yang berpuasa.

Subhanallah. Sebuah karakter kedermawanan luar biasa yang diwarisi secara turun temurun. Mereka melakukan itu tanpa beban, karena menemukan kepuasan batin tak tergantikan. Mungkin kisah-kisah tadi bisa kita jadikan sebuah inspirasi untuk coba mengenal karakter keluarga kita masing-masing. Bahwa keluarga kita juga memiliki karakter-karakter unik yang mungkin sekarang sudah mulai luntur. Dan tentu sangat baik jika kita berusaha menguatkannya kembali, sehingga orang-orang yang pernah merasakannya, mengingatkan mereka pada keluarga-keluarga kita terdahulu.

Karakter Keluarga dan Tokoh Utama yang Siap Berkorban

Karakter khusus yang sudah menjadi ciri atau identitas sebuah keluarga, tidak cukup hanya dirasakan atau dibanggakan sebagai "warisan" berharga. Potensi itu perlu dibangun, diasah, dan dikembangkan supaya tidak beku dan hilang sia-sia. Diperlukan sebuah martir untuk mendorong kekuatan itu agar dapat maksimal dan melahirkan manfaat yang besar. Peran itu bisa dilakukan oleh siapa saja dalam keluarga, tetapi tentu dibutuhkan seorang yang lebih mengerti dan konsisten dalam melakukannya.

Dalam banyak kisah sejarah, orang tua adalah kekuatan martir yang paling dahsyat, terutama seorang ibu. Menurut seorang pengamat SDM, perilaku menunda-nunda pekerjaan berkaitan erat dengan kebiasaan seseorang. Perilaku ini berhubungan dengan kebiasaan diri sewaktu masih dalam pengasuhan orang tua. "Mereka yang dibiasakan manja, serba mudah, dibesarkan tanpa tantangan hidup dan tak ada pendisiplinan, terutama terkait penyelesaian kewajiban akan terbawa menjadi kebiasaan."

Meskipun seorang anak lahir dari keluarga yang punya karakter kuat dan berdisiplin, namun ketika potensi itu tidak dibina dengan baik, maka yang akan tumbuh adalah seorang laki-laki lemah jiwa dan manja, bukan laki-laki kuat dan pemberani. Karena itulah barangkali ketika satu hari beberapa perempuan mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, "Ya Rasulullah. Kaum lelaki kembali dengan membawa pahala perjuangan di jalan Allah; sedang kami tidak mempunyai cara untuk dapat seperti mereka?" Beliau menjawab, "Jangan takut, tenanglah kalian! Mengurus rumah tangga kalian dengan sungguh-sungguh dapat mengejar pahala syahid di jalan Allah seperti mereka."

Seorang sahabiyah bernama Al Khansa melakukannya. Dengan kesabaran dan ketakwaannya yang mantap, dia mendidik anak-anaknya dengan baik. Pada saat terjadi perang Qadisyiah, dia datang bersama keempat anaknya untuk ikut bergabung bersama kaum muslimin. Mereka dibekali dorongan dan semangat dengan kata-kata yang menyala-nyala, "Wahai putra-putraku! Kalian masuk Islam dengan penuh kesadaran. Kalian berhijrah dengan penuh kerelaan. Demi Allah, tiada Tuhan selain Dia. Kalian adalah empat bersaudara dari satu ayah dan satu ibu. Aku tidak akan mencampuri kehormatan kalian, tetapi kalian telah mengetahui, apa yang dijanjikan bagi kaum Muslimin yang memerangi kaum kafir. Sadarilah! Kehidupan akherat lebih kekal dan lebih baik dari kehidupan dunia yang sementara ini. Bulatkan tekad dan kesabaran kalian. Bertakwalah kalian selalu agar apa yang kalian inginkan berhasil. Wahai putra-putraku! Jika kalian lihat api peperangan telah berkecamuk dan menjadi dahsyat, masuklah dengan semangat yang menyala-nyala. Di sanalah kalian akan menemukan kemuliaan dan kehormatan di alam abadi dan kekal."

Berbekal semangat yang dipompakan ibunya itu, keempat anak Al Khansa pun berangkat ke medan perang dengan iman dan keberanian. Tujuan mereka satu; mencari syahadah, dan itu pun diperolehnya. Mereka gugur dalam pertempuran. Sementara umat Islam memperoleh kemenangan, Al Khansa menerima kabar gugurnya keempat putranya. Tapi ia bersabar, bahkan kebanggaan tumbuh dihatinya melihat putra-putranya menjadi syuhada dalam pertempuran besar itu. Dia berkata, "Alhamdulillah! Allah telah mengutamakan dan memberikan karunia padaku dengan kematian anak-anakku sebagai syuhada. Aku mengharap semoga Allah mengumpulkan aku dengan mereka di dalam rahmat-Nya kelak."

Al Khansa adalah ibu yang berhasil mewariskan karakter pejuang kepada putra-putranya sehingga menjadi mujahid yang tangguh, rela mengorbankan miliknya yang paling berharga untuk kejayaan dan ketinggian Islam.

Masih banyak contoh lain para ibu yang berhasil menghantarkan putranya menjadi ilmuwan bahkan mujtahid. Diantaranya, Ibu Imam Abu Hanifah, Ibu Imam Syafi’i, Ibu Imam Ahmad bin Hambal dan Ibu Imam Bukhari. Keempat imam ini ditinggal wafat ayahnya sejak kecil. Ibunyalah yang memelihara dan mendampingi mereka hingga besar. Mereka memiliki daya hafal yang tinggi sejak kecil. Di usia mudanya, mereka sudah menguasai bahasa Arab dan seluk beluknya, hafal ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi, serta sangat gemar menuntut ilmu. Memang untuk menguasai banyak ilmu mereka belajar dari banyak guru. Belajar bahasa Arab ke beberapa orang guru, fikih ke beberapa orang guru, dan hadits Nabi ke beberapa orang guru. Tapi, ibu-ibu merekalah yang telah manjadi martir pelecut semangat, sehingga anak-anak mereka gemar menuntut ilmu dan tidak kenal lelah.

Karakter Keluarga; Tradisi Keilmuan dan Kesinambungan Spiritual

Di Mauritania, negara Islam yang terletak di pantai Atlantik di Afrika Barat ini, terdapat satu suku kecil bernama Syinqithy. Suku ini memiliki tradisi unik dan luar biasa yang tetap bertahan hingga kini, yaitu mereka membiasakan anak-anak kecil menghafalkan Al Qur’an, hadits, syair-syair, dan ilmu-ilmu agama. Tradisi ini menjadikan mereka terkenal sebagai penghafal yang tak tertandingi. Kemampuan mereka tidak hanya sanggup menghafalkan Al Qur’an secara utuh dan sempurna, namun kitab-kitab lain yang lebih tebal dan rumit bahasanya sekalipun juga mereka hafalkan. Sebagai contoh, karena mereka bermadzhab Maliki maka Al Muwaththa’, kitab hadits yang ditulis oleh Imam Malik yang menghimpun 1844 hadits, menjadi kitab kedua yang mesti dihafalkan setelah Al Qur’an.

Begitu besarnya perhatian mereka terhadap budaya menghafal ini, sehingga seseorang akan merasa tersisih dari lingkungannya jika tidak melakukannya. kannya. Misalnya, seorang anak laki-laki yang berusia 12 tahun tetapi belum hafal Al-Qur’an, ia akan dilarang keluar rumah karena menjadi aib bagi keluarga, dan anak itu dengan sendirinya akan malu bergaul bersama teman-teman sebayanya.

Tradisi menghafal ini tidak hanya ada di kampung halaman mereka di Afrika sana, tetapi di manapun berada hal itu tetap mereka lakukan. Orang-orang Syinqithy yang ada di Madinah, misalnya, meskipun suasana alam dan lingkungannya berbeda dengan kampung halamannya, namun mereka tetap mempertahankan tradisi itu.

Di salah satu sudut Masjid Nabawi mereka punya tempat tersendiri untuk berkumpul. Di tempat itu, ketika pagi hari mereka duduk mendengarkan hafalan anak-anaknya, baik hafalan Al Qur’an, hadits, ataupun bait-bait syi’ir. Setelah anak-anak selesai, mereka kemudian berkumpul dan terkadang berada di tempat itu hingga larut malam. Apa yang mereka perbincangkan? Seorang mahasiswa Indonesia yang penasaran coba urun dengar obrolan mereka. Dan ternyata, mereka bertukar syi’ir. Tentu bukan sembarang syi’ir, tetapi syi’ir yang berkaitan dengan ilmu, seperti matan aqidah, ushul fiqh, nahwu, dan sebagainya dari kitab-kitab klasik. Terkadang mereka saling menasehati dengan lantunan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits. Seorang membacakan, sementara yang lain menyimaknya dengan penghayatan sambil mengucurkan air mata. Sungguh tradisi luar biasa yang diwarisi dari orang-orang tua mereka, dan masih tetap mereka pertahankan hingga sekarang.

Begitulah tradisi mereka menyimpan ilmu. Otak yang Allah berikan, mereka jadikan laiknya komputer penyimpan data. Kapan pun mereka membutuhkan ilmu itu, secepat kilat mereka dapatkan. Ilmu mereka luas, spritual mereka terjaga.

Akhirnya, di tengah budaya hidup yang tak ramah, di tengah fanatisme suku dan darah biru yang palsu, di tengah kondisi rumah tangga dan keluarga yang tak punya identitas, kita semestinya menyadari siapa diri kita. Dalam makna yang lebih mendalam: seperti apa karakter keluarga besar kita? Atau: karakter seperti apa yang ingin dibangun di tengah keluarga kita kelak?

Jawabannya, mungkin akan sangat tergantung pada paradigma yang tertanam dibenak kita. Setidaknya kita meyakini bahwa paradigma yang dibesarkan dibawah naungan hidayah-Nya, akan merangsang tumbuhnya karakter kebaikan. Karena, seperti sabda Nabi, jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seseorang, pasti Allah akan memulainya dengan membuatnya paham akan agama Allah. Wallahu’alam.