Pertama, sadarilah nikmat hidup yang Allah berikan.
Rasulullah saw bersabda, "Ada dua ni’mat yang manusia sering tertipu karenanya, ni’mat sehat dan ni’mat waktu kosong.” (HR Bukhari). Seorang muslim akan tertipu selama ia tidak memanfaatkan nikmat sehat dan kelapangan rizkinya. Kesehatan dan waktu kosong ibarat modal dalam hidup, yang harus diinfakkan di jalan Aliah, untuk memperoleh keuntungan akhirat. Bila tidak, waktu akan melibasnya. Akibatnya, inisiatif beramal mati.

Ibnu Bathal mengomentari hadits Rasulullah di atas, “Ingat, kenapa Rasulullah mengatakan, kebanyakan manusia tertipu? Lantaran hanya sebagian kecil manusia saja yang tidak tertipu oleh dua nikmat itu. Ada di mana kita?” Ibnul Jauzi lebih jauh lagi menguraikan makna hadits itu. “Ada kalanya manusia sehat secara fisik, tapi ia tidak punya waktu luang karena kesibukannya mencari nafkah. Ada pula orang yang memiliki harta banyak dan tidak sibuk mencari nafkah, tapi tubuhnya sakit. Bila kedua penyakit itu berkumpul, dan orang itu ditimpa kemalasan dari berbuat ketaatan, kondisi itulah yang dikatakan tertipu.”


Kedua,peliharalah rasa percaya diri, cita-cita tinggi dan semangat kuat mengalahkan bisikan syaitan.
Untuk memiliki daya inisiatif yang kuat diperlukan rasa percaya diri. Tapi seringkali syaitan selalu mempengaruhi seseorang bahwa ia tak mampu melakukan apa-apa sehingga ia bersikap pasif. Syaitan juga membisikkan seseorang bahwa ia tidak mampu melakukan sesuatu dengan baik. Ia mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu masalah, bahwa ia tak berkepentingan atau tidak kompeten terhadap masalah itu. Syaitan juga menghampiri seseorang dan membisikkan bahwa suatu amal yang akan dilakukan itu bernilai riya, dan sebagainya. Sampai akhirnya, seseorang bisa melakukan uzlah (pengasingan) yang keliru, tidak bicara dengan alasan tawadhu’, sampai ia kehilangan kesempatan untuk berbuat baik, dan tertutup pintu kebaikan di hadapannya.

Bila syaitan gagal menjebak manusia dalam cara di atas, ia akan masuk melalui pintu pemberian skala prioritas beramal yang nisbi. Syaitan akan merancukan antara yang harus dilakukan dan sebuah keutamaan saja. Bisikan syaitan ini tentu diiringi dengan serentet alasan dan argumen. Karenanya, seorang muslim seharusnya memiliki neraca ilmu syari’at untuk menutup celah bisikan syai-tan dalam hal ini.

Rasa percaya diri akan menyokong cita-cita yang tinggi. Inilah yang dilakukan oleh para sahabat di antaranya Rabi’ah bin Ka’b Al-Aslami ketika ia ditanya oleh Rasulullah agar menyebutkan permintaannya. Rabi’ah segera menjawab, “Saya ingin menjadi pendampingmu di surga." Imam Ali ra pernah menguraikan harapannya, yaitu terkena pukulan pedang, puasa di tengah musim panas, dan memuliakan tamu. Sedangkan dimata Khalid bin Walid, bertempur di medan perang lebih ia sukai daripada bermalam denqan pengantin baru.

Ketiga, jangan menyepelekan amal meski sedikit.
Jangan juga memandang yang banyak itu itu berarti banyak. Sebab seringkali sesuatu yang kecil menjadi besar karena niat, dan banyak pula sesuatu yang besar menjadi kecil karena niat. Rasulullah saw pernah menyebutkan banyak pintu kebaikan. Termasuk kebaikan bila seseorang memberikan air dalam embernya kepada ember milik saudaranya, tersenyum di hadapan saudaranya, atau sekadar menemuinya dengan wajah yang baik.

Allah swt berfirman, “Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji zarah niscaya ia akan menerima pahalanya, dan barangsiapa yang melakukan keburukan sebesar biji zarah niscaya ia akan menerima balasannya.” (Qs. Az-Zalzalah: 7-8).

Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash ditanya tentang pahala sadaqah dua butir korma, ia mengatakan,"Allah menerima shadaqah (matsaqil) seperti biji zarah, dan itu artinya dalam dua buah korma ini terdapat matsaqil zarah yang amat banyak.” (Tafsir Qurthubi:20/152)

Seorang muslim tidak memandang kecil pekerjaan yang baik. Dari pandangan seperti inilah, ia terdorong untuk berkreasi dan berinisiatif dalam berbuat kebaikan. Seorang da’i tidak akan menyepelekan sekadar tersenyum kepada tetangga, memberi nasihat pada orang yang menemaninya ketika bekerja, mendengar ayat Al-Qur‘an dalam perjalanan mobil dan sebagainya.

Keempat, jangan menyia-nyiakan waktu.
Ibnu Mas’ud sangat membenci orang yang menyia-nyiakan waktu tanpa ada pekerjaan. "Aku sangat membenci orang yang tak mengerjakan apa-apa. Tidak amal akhirat, juga tidak amal dunia.” Para salafusshalih merasakan manfaat waktu hingga mereka menyadari begitu berharganya setiap detak jantung atau hirupan nafas mereka yang harus mereka gunakan untuk kebaikan. Setiap detik yang berlalu takkan kembali, apalagi hari-hari atau malam-malam. Iman syahid Hasan al-Banna mengatakan, “Waktu itu adalah kehidupan."

Ketika Abdullah bin Mubarak ditanya para sahabatnya, "Bukankah engkau telah melakukan shalat, tapi kenapa engkau tidak mau nongkrong bersama kami di sini?” Abdullah bin Mubarak menjawab, "Aku memilih duduk bersama para sahabat dan para tabi’in. Aku akan membaca kitab dan mencatat perkataan mereka. Sedangkan bila kududuk bersama kalian, apa yang bisa kuperbuat? Paling-paling kalian membicarakan orang lain." (Siyar a’lami an-Nubala, 2/348).

Allah swt berfirman, “Dan bila kalian selesai mengerjakan sesuatu maka kerjakanlah dengna sungguh urusan yang lain.” (Qs, Al-Insyirah: ) Maksudnya, menurut Ibnu Abbas, "Dan bila engkau selesai mengerjakan shalat maka bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a." Sedangkan Mujahid mengatakan, “Bila kalian selesai mengerjakan aktivitas duniamu maka isilah dengan ibadah shalat." (Al-Kasyaf, 4/267)

Kelima, perluas lingkup interaksi dengan banyak kalangan.
Jangan membatasi pergaulan dengan komunitas tertentu yang sempit dan sangat terbatas. Pergaulan yang sempit biasanya akan melahirkan pandangan dan wawasan yang sempit dalam menyikapi suatu masalah. Inilah hikmah dari banyak firman Allah yang menganjurkan umat-Nya untuk berpergian dan berjalan di muka bumi. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang denganya mereka dapat memahami dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada.”(QS. Al-Hajj: 46)

Ini rahasianya mengapa Rasulullah saw sejak kecil telah mendapat didikan memikul tanggung jawab berdagang dan berkeliling ke berbagai lokasi. Di sana beliau berinteraksi dengan banyak kelompok manusia hingga ketika dewasa beliau memiliki pandangan yang luas. Diriwayatkan, bahwa tempat main Khalid di masa kecil sampai ke wilayah Syam.

Keenam, biasakanlah berdiskusi dan membahas suatu masalah dengan banyak kalangan.
Seseorang akan banyak memetik pengalaman dan pelajaran berharga dari banyak orang. Rasulullah selalu melibatkan para sahabat untuk bermusyawarah sehingga mereka terbiasa menyerap banyak pendapat maupun melontarkan gagasannya kepada orang lain. Pola da’wah Rasul dengan para pembesar Quraisy maupun Yahudi banyak yang menggunakan sistem dialog dan diskusi.

Ketujuh, berdo’alah kepada Allah dengan merasa fakir di hadapan-Nya.
Perasaan lemah dan tak berdaya di hadapan Allah merupakan faktor yang efektif untuk memicu motivasi dan melahirkan banyak kreatifitas, seiring dengan tingkat kerendahannya di hadapan Allah dan seimbang dengan bagaimana ia rneminta pertolongan dari Allah. Inilah modal pertama dan paling besar bagi seorang da’i untuk tetap memiliki bashirah, ketajaman pandangan, yang melahirkan ide, inisiatif dan kreatifitas dalam beramal. Wallahu a’lam bi shawab.