Jumat, 25 April 2008

INISIATIF

Segala perilaku kita adalah format kehendak kita. Demikianlah kita menjalani hidup. Begitu pula dalam melakoni ajaran agama kita. Amal shalih perilakunya, sedang niat yang ikhlas adalah kehendaknya. Amal shalih tanpa ikhlasnya niat akan sia-sia. Sebagaimana niat baik tanpa wujud amal hanya omong kosong belaka. Karenanya, tuntutan beramal shalih menjadi sama besarnya dengan tuntutan berkehendak. Tapi kehendak dan niatan-niatan itu tak selamanya segar. Kadang layu, bahkan mati. Itu sebabnya, inisiatif yang berkesinambungan menjadi syarat mutlak bagi kesegaran niatan-niatan dan amal-amal shalih itu.

Suatu hari, Allah menguji Bani Israil yang tinggal di tepian pantai. Mereka dilarang mencari ikan pada hari Sabtu. Tetapi justru pada hari Sabtu itu ikan banyak sekali. Apa yang tejadi? Penduduk desa itu terbagi menjadi tiga macam. Pertama, orang yang melanggar larangan itu, dengan cara memasang jala pada hari Jum’at lalu mengambilnya pada hari Ahad. Kedua, orang yang berinisiatif memperingatkan dan menasehati para pelanggar. Ketiga, orang yang diam saja, malah mencibir para pemberi nasehat itu.


Ketiga jenis orang itu semua mendapat balasan. Yang melanggar larangan oleh Allah dijadikan kera, sedang yang diam tidak berinisiatif menasehati diazab dengan azab pedih. Dan yang memberi peringatan saja yang diselamatkan Allah. (lihat QS,Al-A’raf: 163-166)

Kisah di atas adalah bukti bahwa hidupnya inisiatif sama artinya dengan ‘hidupnya kehi-dupan’. Sebaliknya, matinya inisiatif sama dengan ‘matinya kehidupan’. Banyak orang “hidup tapi mati" karena tak pandai mengambil inisatif. Saat banyak kesulitan menghadang, mereka hancur berkalang masalah. Sama juga ketika orang bergelimang nikmat, banyak yang jiwa inisiatifnya tumpul. Di awal krisis ekonomi yang menggoncang negeri ini, puluhan bahkan ratusan orang berantakan hidupnya.

Kegagalan orang-orang itu diawali dari kegagalan membangun jiwa mandiri. Sedang hilangnya kemandirian itu disebabkan oleh matinya daya inisiatif. Dalam Al-Qur’an, Surat Al-Maidah, 48, Allah SWT berfirman, “Maka berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kalian semua. Lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah kalian perselisihkan,” Ayat tersebut tidak saja bermakna perintah untuk beramal. Tapi juga menjelaskan bahwa setiap muslim harus punya semangat kemandirian yang tinggi. Sebab satu orang dengan orang lain adalah “kompetitor” dalam berama shalih. Artinya, jiwa kompetisi mestinya mendorong orang per orang untuk menguatkan semangat dan inisiatif beramalnya, agar lebih baik dari kompetitor yang lain, atau bahkan menjadi pemenangnya. Kemenangan itu adalah ketinggian takwa, yang menjadi “nilai kemuliaan” di mata Allah. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, adalah yang paling bertakwa di antara kamu.” Maka, penghargaan Islam terhadap inisiatif sangat tinggi. Sampai-sampai orang yang baru berniat berbuat baik pun sudah ditulis sebagai satu kebaikan.

Semangat inisiatif juga didasarkan pada kenyataan, bahwa orang tidak mungkin secara teknis selalu terikat dengan orang lain. Orang lain hanya bisa membantu, tapi bukan tempat menggantungkan diri. Kita tidak mungkin menyuruh orang lain bertanggung jawab atas baik-buruknya perilaku kita. Tetapi lebih dulu kita sendiri harus punya inisiatif yang baik serta punya kemandirian yang tinggi. Sebab, pada akhir-nya nanti, kita akan dikembalikan kepada Allah, lalu amal kita dihitung, setelah itu diberitahu tentang prestasi pribadi kita masing-masing, berikut balasannya: surga atau neraka.

Semangat kemandirian dalam beragama – yang dimotori inisiatif yang kuat – akan menjadi tameng handal dari godaan hidup. Seperti dijelaskan Allah Swt dalam firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”(Qs Al-Maidah: 105). Karenanva, seorang muslim yang sering meninggalkan perintah Islam, – seperti sholat wajib, puasa wajib, zakat wajib – harus segera berinisiatif mentaati perintah-perintah itu. Yang masih suka bermaksiat harus segera lari dari dosa-dosa. Sebab, setiap muslim nantinya akan dihisab sendiri-sendiri. Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah seseorang itu menanggung dosa orang lain."

Dalam surat Ali Imran, ayat 102, perintah untuk beramal secara pribadi mendahului perintah beramal secara kolektif. Kemandirian personal, mendahului kemandirian komunitas. “Hai orang-orang yang beriman, betaqwalah kepada Allah dengan, sebenar-benar taqwa dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” Status kematian orang serta kadar nilai kematiannya, tidak sama antara satu dengan lainnya. Maka, larangan mati kecuali sebagai muslim, mengharuskan setiap pribadi muslim "merancang" status kematiannya sendiri-sendiri. Dan itu, membutuhkan kemauan keras dan inisatif berkesinambungan untuk merintis amal-amal baru, sampai ketika ia mati, matinya sebagai muslim.

Baru setelah itu, ayat selanjutnya berbicara tentang amal-amal kolektif. “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah dan, jangan bercerai-berai.’ (QS. Ali Imran: 103).

Ayat ini menegaskan pentingnya persatuan kolektif, untuk menunaikan tugas-tugas besar yang tak bisa diselesaikan kecuali secara kolektif. Tapi sedikitpun tak menyiratkan arti bahwa baik buruk pribadi kita adalah tanggung jawab teman-teman kita.

Budaya inisiatif akan melahirkan orang-orang yang memulai terlebih dulu dari dirinya sendiri dalam beramal. Mencetak orang-orang yang mampu menggagas amal baik, meski tidak disuruh, atau tidak punya iklim lingkungan yang baik. Bukankah Allah SWT sebelum menyuruh hamba-hamba-Nya membaca shalawat kepada Rosululah, terlebih dulu memulainva dari Diri-Nya sendiri? “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya "(QS. Al-Ahzab: 58).

Lalu, apakah berarti kita harus egois? Merasa cukup bila diri kita sendiri sudah baik? Tidak. Sama sekali tidak, Perhatikan ayat selanjutnya, “ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran; 104).

Orang tidak boleh cukup puas bila dirinya baik, tapi selanjutnya ia harus berinisiatif mengajak orang lain untuk baik. Keshalihan pribadi harus menghasilkan keshalihan umat. Dalam bahasa yang lain, seorang muslim yang shalih, mestinya juga seorang da’i yang aktif. Jangan sampai orang shalih secara pribadi, tapi tak memberi manfaat bagi tetangganya, teman kuliah-nya, rekan kerjanya, atau orang-orang dekatnya. Sebaliknya, jangan juga orang sibuk menyuruh orang, mengajak orang, tapi dirinya sendiri tidak terurus. Ibadahnya belang-belang, amalan pribadinya tipis.

Inisatif dan kemandirian akan menjaga da’wah dari kemandegan. Khususnya kemandegan sistem. Dengan inisiatif dan kemandirian yang prima, mesin da’wah tetap berproduksi, meski para pendirinya sudah mati, karena ada generasi penerusnya. Itulah yang diperankan para ulama kita. Dalam dunia fiqih, misalnya, kalaulah tak ada inisiatif dalam bentuk ijtihad-ijtihad, mungkin kita sulit mencari hukum atas masalah-masalah yang dulu tak ada pada masa Rasul. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, telah berjasa besar melalui budaya inisiatif mereka. Hingga madzab-madzhab fiqih tidak saja menjadi disiplin ilmu yang luas, tapi juga pijakan hukum yang kokoh. Demikian juga dalam dunia da’wah, telah banyak tokoh-tokoh da’wah yang datang dan pergi. Mereka menjadi inisiator-inisiator yang berpengaruh. Allah sendiri menjanjikan bahwa pada setiap seratus tahun akan ada pembaharu bagi agama-Nya.

Seorang da’i yang sadar bahwa tugas dalam da’wahnya berat, harus terus mencari inisiatif bagaimana memilih prioritas yang jelas. Bagaimana terus memacu prestasi amalnya semaksimal mungkin. Apalagi pertumbuhan da’wah terus meningkat, baik dari segi populasi da’i dan obyek da’wahnya, maupun wilayah garapannya. Semua itu membutuhkan inisiatif dan kemandirian lebih. Sebab, daya jangkau organisasi-organisasi da’wah secara struktural bisa jadi sangat terbatas. Sementara permasalahan makin banyak dan kompleks.

Dalam mencari penghidupan di dunia pun, inisiatif dan kemandirian mutlak diperlukan. Karena hidup manusia itu dinamis, berubah, dan terus bergerak. Sementara dinamika, perubahan, dan pergerakan itu memerlukan peletup. Dan itulah fungsi inisiatif. Inisiatif adalah pemicu, sedang kreativitas menjadi pintu-pintu realisasinya. Sementara motivasi merupakan daya dorong dan penjaga staminanya. Maka, inisiatif bukan sekadar keperluan sesaat. Tapi kebutuhan manusia sepanjang hayat.

Seorang suami yang terkena PHK harus segera mencari inisiatif positif, bagaimana agar anak istrinya tak mati kelaparan. Seorang anak yang orang tuanya sangat sibuk, seharusnya punya inisiatif positif, bagaimana tetap bisa menjaga diri. Sekumpulan mahasiswa yang sering tak menemukan dosen hadir, mestinya punya inisiatif bagaimana tetap bisa menuntut ilmu. Seorang pedagang yang menghadapi melambungnya harga, selayaknya punya inisiatif, apakah ganti dagangan atau menyiasati strategi pemasaran. Begitu seterusnya dalam segala sisi hidup. Inisiatif ibarat pahlawan di tengah kecamuk perang. Atau seteguk air di hamparan padang pasir yang membakar.

Lebih jauh, saat menghadapi kesulitan baik dalam hidup, dalam menjalankan ajaran Islam, maupun dalam mengemban tugas da’wah, .seringkali kolektifitas atau kebersamaan itu buyar lantaran pribadi-pribadi orangnya mati inisiatif dan tak punya kemandirian. Maka, jangan biarkan inisiatif mati. Tumbuhkan dan tumbuhkan. Awali dari diri sendiri. Sekarang juga

Tidak ada komentar: