Jumat, 09 Januari 2009

MENJADI MUSLIM IDEAL BISAKAH ?

Oleh : Akhmad Asikin,S.Ag

Inna ad-dina ‘inda Allahi al-Islam”. Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam.. (Q.S. 3:19). “Wa man yabtaghi ghairal islami diinan, fa lan yuqbala minhu, wa hua fil-akhirati minal-khasirin”. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi (Q.S. 3:85). Karenanya, “… udkhulu fis silmi kaaffah, wa laa tattabi’u khuthuwaatisy syaithan, innahu lakum ‘aduwwun mubiin”. Masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya (secara total) dan janganlah kamu turut langkah-langkah (mengikuti) syaitan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu (Q.S. 2:208).
Persoalannya, cukupkah bagi kita untuk menjadi muslim hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat ? Kalaulah syahadat itu adalah kunci surga, cukupkah bagi kita hanya memiliki kuncinya saja, tanpa keinginan untuk mempergunakannya, membuka pintu dan kemudian masuk ke dalam surga yang telah ada di hadapan kita ?
Jika kita mencari jawabnya pada al-Qur’an surat al-An’am (6) ayat ke-79, “Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathara as-samawati wal ardl hanifan, wa maa ana minal musyrikiin”. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku pada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Maka, syahadat telah menempatkan kita pada derajat kemusliman.

Hanya saja, karena kemusliman itu menuntut seseorang untuk membahasakan syahadat dalam bentuk pengabdian dan kepasrahan kepada Allah. “Qul, inna shalatii wa nusukii wa mahyaayaa wa mamaatii lillahi rabbil ‘alamin”. Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (Q.S. 6:162). Maka, untuk menjadi muslim, seseorang dituntut untuk selalu mendekatkan dan menggaransikan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT).
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW juga telah menjelaskan bahwa Islam itu, memiliki lima pilar utama, yakni : (i) syahadat, (ii) shalat, (iii) zakat, (iv) puasa ramadlan dan (v) haji. Karenanya, jika kita barulah bersyahadat saja. Kita barulah memenuhi satu unsur kemusliman. Masih ada empat unsur lagi yang harus kita penuhi untuk menjadi muslim yang standard. Selamat bagi saudara-saudara kita yang telah dan akan menunaikan ibadah haji ke baitullah guna memenuhi unsur kemusliman standard yang kelima.
Persoalan selanjutnya adalah, jika kita telah menjadi muslim yang standard. Apakah dengan sendirinya kita telah menjadi muslim yang baik ? Apakah kita telah dengan sendirinya menjadi muslim yang utama ?
Ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “ayyul Islam khairun ?”. Islam yang baik itu bagaimana ? Rasullah menjawab: “an tuth’imuth tha’am wa taqra’as salam ‘ala man ‘arafta wa man lam ta’rif”. Engkau memberi makan kepada orang-orang yang membutuhkan dan mengucapkan salam kepada setiap orang yang engkau jumpai, baik yang telah maupun yang belum engkau kenal. Ketika salah seorang sahabat yang lain bertanya Rasulullah : “Ayyul Islam afdlal ?” Islam yang utama itu bagaimana ? Rasulullah menjawab : “Man salimal muslimuuna min lisaanihi wa yadihi”. Yaitu, orang-orang yang menjaga keselamatan orang-orang Islam dari perkataan dan perbuatannya.
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah di atas, nampak jelas bagi kita bahwa, menjadi muslim itu tidak cukup hanya dengan pembenaran kita terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama Islam. Untuk menjadi muslim yang standard, di samping pengakuan kita terhadap ajaran agama Islam (syahadat), kita harus pula mewujudkan keyakinan kita tersebut dengan amal ibadah, menyembah dan mendekatkan diri kepada Allah. Kalaulah kita telah menjadi bagian dari umat Islam yang standard, tentunya kita boleh berbangga sebagai bagian dari kelompok orang-orang yang selamat di dunia dan di akhirat. Hanya saja, kemusliman standarf kita, ternyata tidak serta merta menjadikan kita sebagai muslim pilihan, muslim yang utama. Untuk mencapai derajat tersebut kita harus mampu memberikan kesejahteraan bagi orang lain, senantiasa ramah, tidak menjaga jarak dari dan dengan orang lain, serta menjaga dan memberi ketentraman bagi orang lain. Untuk mencapai derajat tersebut kita harus mampu membangun komunikasi yang intensif dan harmonis, baik dengan Allah (hablun min Allah) maupun dengan umat manusia (hablun min an-nas) dan alam semesta.
Bagaimana dengan kita, yang masih belum memenuhi kualifikasi muslim yang standard, karena belum menunaikan ibadah haji. Apakah kita juga bisa menjadi muslim pilihan, muslim yang utama ? Kalaulah kita belum menunaikan ibadah haji karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada diri kita, tentunya kita telah menjadi muslim yang standard, meskipun kita belum menunaikan rukun yang kelima. Karenanya kita pun harus dan mampu menjadi muslim pilihan, muslim yang utama pada kualitas tertinggi. Kalaulah kita belum menunaikan ibadah haji, bukan karena faktor keterbatasan yang ada pada diri kita, segeralah tunaikan rukun yang kelima tersebut, kemudian jadilah muslim yang utama. Mari kita pacu semangat kita untuk terus berproses menjadi ‘the best muslim’. Bi ‘aunillah. Wallahu A’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar: