Jumat, 09 Januari 2009

Memohon Pertolongan Dengan Cara Sabar Dan Mendirikan Shalat

Oleh : Akhmad Asikin,S.Ag


“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu…” (QS. Al-Baqarah (2): 45)

Hakekatnya sabar itu terletak pada mengingat janji Allah yang akan memberi pahala kepada siapa saja yang sabar dan menahan diri dari kemauan hawa nafsu terhadap hal-hal yang diharamkan Allah. Juga mau mengamalkan berbagai bentuk taat yang dirasakan sangat berat bagi dirinya, dan mau mengingat bahwa setiap musibah yang menimpa dirinya atau orang lain adalah takdir Allah. Karenanya sikap sabar ini memerlukan taat dan patuh kepada perintah Allah. Kemudian memohon pertolongan di dalam menghadapi berbagai musibah melalui cara sabar, ialah dengan cara mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah, dengan mengekang hawa nafsu dari larangan-larangann tersebut. Bisa juga memohon pertolongan melaui shalat. Sebab, shalat mengandung hikmah yang besar, yakni dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Disamping itu orang yang mendirikan shalat akan merasa dekat di hadapan Allah dan selalu dalam pengawasan-Nya, baik lahir maupun batin. Lebih-lebih jika yang dilakukan adalah shalat fardhu (wajib) yang bisa dilakukan umat Islam sebanyak lima kali dalam sehari.

Dalam hal ini Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang menceritakan bahwa jika beliau tertimpa sesuatu yang mengejutkan, beliau akan melakukan shalat.

Juga diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abbas, bahwa beliau diberitahu tentang kematian putrinya, sedang ketika itu ia dalam perjalanan. Mendengar berita tersebut ia mengucapkan istirja (membaca Inna lil-laahi wa inna ilaihi Raji’uun). Kemudian ia berhenti sebentar, dan turun dari kendaraannya, lalu mendirikan shalat. Setelah itu ia meneruskan perjalanan sambil membaca ayat:


“…Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'” (QS. Al-Baqarah (2): 45)

Artinya sesungguhnya shalat itu terasa sangat berat kecuali bagi orang-orang yang takut kepada siksaan Allah. Shalat dirasakan tidak berat bagi mereka karena dilakukan penuh dengan mubnajat kepada Allah SWT. Sehingga shalat tidak dirasakan sebagai perbuatan yang melelahkan.

Karenanya Rasulullah SAW., bersabda, “Hatiku merasa tenteram bila sedang shalat.”

Hal ini ketika beliau sibuk dengan shalat, hatinya terasa tenteram. Dan kesibukan-kesibukan selain shalat, yakni kesibukan duniawi, dirasakan oleh beliau sebagai sangat berat.

Lebih-lebih, mereka selalu memperhatikan tabungan pahala yang akan diterima kelak di akhirat sebagai imbalan atas amal shalatnya. Sehingga tugas shalat itu sendiri semakin kelihatan ringan. Karenanya, pernah dikatakan kepada Ar-Rabi’ Ibnu Khaitsam yang melakukan shalat yang sangat lama, “Anda telah membuat capai diri Anda sendiri”. Ia menjawab, “Aku mengharap ketenangan dalam shalat”. Dikatakan lagi kepadanya, “Siapapun yang mengetahui apa kehendak dirinya, maka baginya akan mudah melaksanakan yang ia upayakan. Dan siapapun yang yakin balasan yang akan diterimanya, maka jelas ia akan semangat didalam melaksanakannya.”

Kemudian Allah menjelaskan sifat orang-orang yang khusyu’. Sifat-sifat itu sekaligus dapat mendekatkan diri kepada Allah, disamping akan melahirkan sikap taat dan tunduk kepada-Nya. Karenanya Allah berfirman:


“(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhan-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah (2): 46)

Maksudnya shalat itu dirasakan tidak berat bagi oang-orang yang khusyu’. Yaitu orang-orang yang meyakini akan bertemu dengan Tuhannya kelak dihari perhitungan. Mereka pun sadar akan kembali kepada Allah setelah dibangkitkan, kemudian diberi balasan setimapal sesuai dengan perbuatan selama didunia. Didalam ayat tersebut di pakai kata zhan (menyangka = menduga) sebagai sindiran bagi orang yang melakukan zhan (sangkaan) akan melihat pahala atas jerih payahnya di dalam shalat, maka ia akan merasa mudah didalam melaksanakannya.

Karenanya, maka ungkapan yang dipakai didalam ayat ini di gunakan kata-kata zhan, sehingga kecaman itu akan tampak lebih pedas. Jadi seakan-akan para rahib Yahudi yang memerintahkan orang-orang agar berbuat kebajikan, tetapi melupakan dirinya, berarti iman mereka terhadap kitab yangada padanya tidaklah sampai kepada derajat zhan yang bisa menuntun mereka agar lebih hati-hati dalam beramal.

Tidak ada komentar: