Jumat, 09 Januari 2009

JADIKAN HARI INI LEBIH BAIK DARI KEMAREN

Oleh : Akhmad Asikin,S.Ag
Hari itu, sepotong episode masa lalu kembali hadir dalam benak Aisyah r.a. Ketika salah seorang sahabat memintanya berkisah tentang apa yang paling berkesan baginya dari Rasulullah SAW.
Aisyah tak kuasa menahan tangis. Air matanya mengalir deras. Lalu ia berkata, “Yang manakah dari sifat Rasulullah yang tidak mengesankan? Pada suatu malam beliau datang kepadaku. Lalu ia berbaring bersamaku di tempat tidur, hingga kulitnya menyentuh kulitku. Tiba-tiba beliau berkata, ‘Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah kepada Rabb-ku.’” Aku berkata, “Sungguh aku senang didekat engkau, tetapi aku mengutamakan keinginan engkau (untuk beribadah).
“Maka Rasulullah pun berdiri ke bak air, seraya berwudhu dengan tidak banyak menuangkan air. Kemudian berdiri shalat. Lalu menangis. Air matanya mengelir didadanya. Kemudian beliau ruku’ dan menangis, kemudian mengangkat kepala dan menangis. Tidak henti-hentinya beliau melakukan itu hingga Bilal mengumandangkan adzan (subuh). Maka aku berkata, apa yang menjadikan engkau menangis, sedang Allah telah mengampuni dosa engkau yang lalu dan yang akan datang?’ Rasulullah dengan lembut berkata, ‘Apakah tidak selayaknya menjadi hamba Allah yang selalu bersyukur?’”
Begitulah kisah Aisyah diatas, tidak sekedar ungkapan haru biru dan kerinduan seorang istri. Yang bertahun-tahun menemani suami tercintanya. Siang dan malam adalah hari-hari perjuangan bersama Rasulullah. Segalanya begitu indah, meski kadang terasa melelahkan. Ia memang kisah tentang keluarga Raslullah yang mulia. Tentang keagungan pribadi Rasulullah. Juga tentang kebahagiaan Aisyah mengisi hidupnya bersama manusia termulia, Rasulullah SAW. Tetapi lebih dari itu, kisah Aisyah, adalah serangkaian makna-makna tentang bagaimana Rasulullah menyiapi masa lalu dan masa yang akan datang. Sebuah pelajaran yang sangat mahal bagi siapapun yang ingin mengikuti peri hidupnya dan meniti jalan kemuliaannya.
Kata kuncinya ada pada pertanyaan Aisyah, yang mencoba menghubungkan tangis-tangis deras Rasulullah dengan ampunan Allah atas dosa Rasulullah yang lalu dan yang akan datang. Mengapa engkau wahai Rasulullah mesti menangis, padahal masa lalu engkau telah ditutup dengan ampunan Allah. Padahal masa depan telah diselimuti dengan ampunan Allah? Begitu kira-kira arti pertanyaan itu.
Tangis-tangis Rasulullah cermin yang bening bagi kita. Tempat kita menatap jujur baying-bayang wajah kita sendiri. Bila Rasulullah yang dosanya sudah diampuni masih terus menangis kepada Allah. Rasulullah yang masa lalunya telah bersih dan masa yang akan datang dijamin cemerlang, masih menghadap Allah dengan tangis-tangis yang panjang. Bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan diri kita yang jauh dari sempurna? Bahkan untuk mendekat ketitik sempurna punmasih sangat jauh? Bagaimana dengan kita, yang hari-harinya penuh dengan bercak hitam?
Tak ada yang menolak kenyataan, betapa kita sangat perlu untuk banyak menambal dan mereparasi masa lalu kita. Kessalahan masa lalu kita ibarat utang. Bila kita tidak membayarnya, atau Allah tidak mengampuninya, mak ia akan dibayar dengan hukuman, setidaknya diakhirat kelak. Cara membayar utang itu dengan memohon kepada Allah dan dengan memperbanyak beramal shalih. Itu akan menjadi penghapus sekaligus sebagai pembayarnya. Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114)

Sementara Rasulullah SAW. juga menjelaskan melalui sabdanya, “Bertakwalah kamu dimanapun kamu berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya. Dan bergaulah dengan manusisa secara baik.”
Membayar keburukan dengan kebaikan, ibarat melapisi sisi-sisi gelap kita dengan ornament-ornamen hidup dan hiasan diri yang indah. Atau seperti hujan yang turun mendinginkan bumi yang panas. Atau seperti pewarna dinding yang keindahannya melupakan keras dan kelamnya pasir serta bebatuan dibelakangnya. Seperti itulah kebaikan menghapus keburukan. Seperti itu pulalah ampunan Allah melebur kesalahan hamba-Nya.
Selain, itu tangis-tangis panjang Rasulullah ternyata juga tangs penghambaan sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Allah. Bahkan itu dilakukan dalam ibadah sunnah yang sangat tinggi nilainya, yaitu shalat malam. Itu sendiri juga bentuk lain dari rasa syukur. Rasulullah ingin menjadi hamba yang bersyukur, taas karunia Allah yang begitu banyak. Segala anugerah Allah, termasuk ampunan itu, tidak sedikitpun menjadikan Rasulullah merasa cukup. Ia masih ingin menangis dalam jenak-jenak penghamabaannya yang hening kepada Allah.
Sikap Rasulullah tersebut membebaskan pelajaran yang begitu berharga bagi kita. Bahwa segala sesuatu didunia initidak terjadi kecuali dengan izin Allah. Ini mengharuskan kita harus memahami dimensi lain dari tangis itu. Ia adalah tangisan tauhid. Sebuah kepasrahan, keyakinan, penyerahan diri sekaligus rasa terima kasih kepada Allah, Dzat yang telah mengangkatnya menjadi manusia pilihan. Allah berkehendak, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi. Allah SWT berfirman,
“Dan Dia (Allah) telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat menghindari nikamat Allah.” (QS. Ibrahim: 34)
Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53).
Karenanya, apa yang telah lewat dari seluruh perjalanan hidup kita, , harus kita pandang dengan bijak dan arif. Hidup ini terus berjalan, di atas rel perjuangan dan jalur kompetisi yang keras. Masa lalu tidak boleh menghanyutkan diri kita. Siapa yang hari kemarin lebih buruk, semestinya tidak putus asa dan tenggelam dalam kegalauwan duka. Sementara siapa yang hari kemarin lebih baik dari hari ini, jangan sampai bisa bernostalgia dengan masa lalu, tanpa mau bergerak dan mencoba memperbaiki diri.
Hidup ini pasti berakhir. Sepanjang apapun masa lalu kita. Dalam sisa umur yang entah masih berapa, tiada yang lebih indah dari merasakan manisnya iman. Dalam paduan rasa syukur dan permohonan ampunan. Seperti tangis-tangis Rasulullah itu. Seperti indahnya kenangan Aisyah itu.

Tidak ada komentar: