Jumat, 09 Januari 2009

MEMBERI NAFKAH BAGI KELUARGA

Oleh : Akhmad Asikin,S.Ag
Sebagaimana diketahui bersama bahwa rezeki seseorang ini, meski dalam satu keluarga, belum tentu sama. Dalam satu keluarga dapat saja terjadi dimana rezeki / harta adik lebih banyak dari kakaknya, atau sebaliknya. Dia yang rezeki / hartanya lebih banyak adalah sangat wajar jika membantu keluarganya, atau orang lain, yang kurang dan layak dibantu. Bantuan tersebut dalam ajaran agama insya Allah akan dicatat sebagai sedekah, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw dalam satu hadis riwayat Bukhari-Muslim yang artinya :
“Apabila seseorang menafkahkan hartanya utnuk keperluan keluarganya hanya dengan mengharapkan pahala, maka hal itu akan tercatat sebagai sedekah baginya.”
Sebaliknya jika seseorang yang mempunyai harta yang lebih tetapi tidak mempeduli kan keluarganya atau orang lain yang membutuhkan, maka dia dianggap telah berdosa, sebagaimana disabdakan Baginda Rasul dalam HR. Abu Dawud dan lainnya yang artinya, “Seseorang itu cukup berdosa jika dia menyia-nyiakan orang yang harus diberi belanja.”
Kita harus yakin bahwa Allah swt akan mengganti berlipat setiap rezeki yang disedekahkan, dan malaikat pun berdoa untuk dia , “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya.”
Anak adalah “titipan” Allah kepada kedua orangtuanya, disamping itu anak juga, menurut Alquran, merupakan cobaan dari Allah swt untuk orangtuanya. Peranan orangtua sangat besar dalam menuju masa depan anaknya. Oleh karena itu kita diwajibkan untuk mendidiknya sesuai dengan ajaran Islam. Kesalahan dalam mendidik, kekurangperhatian terhadap anak, akan dapat merugikan masa depan si anak itu sendiri, dan merugikan orang tuanya. Sebaliknya, perhatian yang sungguh-sungguh orangtua kepada anaknya, dengan berlandaskan ajaran Islam, menjadikannya sebagai anak yang saleh, akan memberikan kebahagiaan baik untuk si anak maupun untuk kedua orangtuanya. Bukankah doa anak yang saleh terhadap orangtuanya merupakan amal yang akan diterima orangtuanya ketika berada di alam barzah?
“Cintailah anak-anak dan sayangilah mereka, dan apabila kalian berjanji kepada mereka penuhilah. Sesungguhnya mereka mempunyai pendapat bahwa engkau adalah yang memberi rezeki kepada mereka.”, demikian kita diingatkan dalam satu hadis riwayat Tohawi.
Sejumlah ayat dalam Kitab Suci Alquran mengingatkan kita bahwa musibah terjadi adalah karena ulah manusia. Kita diajarkan untuk berakhlak terpuji kapan pun dan dimanapun kita berada. Kita pun diingatkan juga untuk menjaga diri dari kejahatan setan dari golongan jin dan manusia; dengan selalu meminta perlindungan kepada Allah swt.
Beberapa cara menjaga diri diantaranya adalah: Bergaul sesama manusia dengan budi pekerti yang baik, dan beramal untuk bekal nanti sesudah mati. (HR.Turmudzi). Cara lain ialah dengan meninggalkan sesuatu yang tak bermanfaat, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw dalam HR. Turmudzi yang artinya :
Termasuk kesempurnaan Islam seseorang yaitu dia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya Dengan kian bebasnya arus informasi dan komunikasi saat ini yang tanpa kenal waktu, maka jika ingin selamat hidup di dunia dan di akhirat kelak, kita perlu selalu menjaga diri sendiri dan keluarga dengan berpedomankan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Dalam satu hadis juga diingatkan bahwa mereka yang mampu menjaga dirinya digolongkan kepada orang yang cerdik
Kelembutan yang dimaksudkan di sini adalah bersikap lembut dalam keluarga, bermasyarakat atau dalam pergaulan dengan sesama manusia meski berbeda agama / keyakinan. Kelembutan perlu dilakukan untuk saudara, sahabat, kaum mukmin, dan manusia yang bersikap baik. Bahkan terhadap hewan sekalipun kita diajarkan utnuk bersikap lembut dan kasih sayang.
Adapun kekerasan diperkenankan dalam Islam bila menghadapi para penguasa yang dengan jelas telah berlaku lalim / zalim, juga para penghina atau musuh agama.
Kelembutan adalah kebaikan. Makin banyak sikap kelembutan yang dilakukan, berarti makin banyak kebaikan yang dikerjakan, dan insya Allah akan memperoleh hikmah dari Allah swt.
“Barangsiapa tercegah dari kelembutan, maka dia telah tercegah dari seluruh kebaikan.”, dan , “Barangsiapa diberikan bagian dari kelembutan maka dia telah diberikan bagian dari kebaikan dunia dan akhirat.”, demikian sabda Rasulullah saw.
Malu adalah perasaan tidak enak hati ketika melakukan perbuatan, mengucap-kan perkataan yang melanggar norma-norma dalam masyarakat dan ajaran agama. Orang yang memiliki sifat malu berarti dia memahami bagaimana dia harus berbuat atau berkata yang tidak melanggar ajaran agama dan adat atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. “Malu itu termasuk bagian dari keimanan”, demikian sabda Rasulullah saw dalam HR. Bukhari.
Kita diajarkan untuk tidak hanya malu kepada manusia, tetapi juga tentunya malu yang paling bermanfaat, yaitu malu kepada Allah. Siapa yang malu kepada Allah, maka pengaruh nama Allah akan menguasai hatinya sehingga dia akan enggan melakukan dosa sekecil apapun, dan resah dengan dosa yang telah diperbuatnya. Dia pun akan selalu memohon ampunan, berzikir, dan bertobat.
Makanan dan minuman yang baik dan halal adalah rezeki yang diberikan Allah kepada kita, dan karenanya patut disyukuri apapun makanan adan minuman yang baik dan halal itu. Dengan mensyukurinya insya Allah rezeki kita akan ditambah-Nya, sebagaimana yang dijanjikan dalam satu firman-Nya.
Selanjutnya kita diajarkan untuk makan secara berjamaah atau bersama-sama. Diriwayatkan dari Abu Daud bahwa Wahsyi bin Harb berkata: “Sahabat Rasulullah saw mengadu, “Ya Rasulullah, kami makan dan merasa tidak kenyang.”
Jawab Nabi, “Mungkin kamu makan sendiri-sendiri.”
Jawab mereka, “Benar”. Bersabda Nabi saw, “Berkumpullah pada makananmu, dan bacalah bismillah, niscaya diberi berkat pada makanan itu.”
Dalam era kebebasan ini, disadari atau pun tidak, disengaja maupun tidak, sebagian orang terjebak melakukan kekejian dan perbuatan keji. Menghujat, merusak, memfitnah, menipu, mencuri, korupsi, merusak lingkungan, membunuh, adalah beberapa diantara kekejian dan perbuatan keji tersebut.
Islam tidak mengajarkan umatnya berperilaku keji, tetapi Islam justru mengajarkan kemulian akhlak.
Dalam satu hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Kekejian dan perbuatan keeji, sama sekali bukan dari ajaran Islam. Sesungguhnya orang yang terbaik keislamannya adalah yang terbaik budi pekertinya.”

Tidak ada komentar: