Selasa, 26 Agustus 2008

SABAR MUDAH DIUCAPAKN SUSAH DIPRAKTEKKAN

Sabar, kata yang sering kali kita dengar memang mudah dikatakan, tapi rasanya sulit dipraktikkan. Banyak orang enteng mengata-ngatai orang lain untuk bersikap sabar di saat sedang dibarakan oleh kemarahan atau ditimpa musibah.

Bagai cerita di sinetron-sinetron yang menayangkan bagaimana orang yang tengah dililit, misalnya kemiskinan, lalu si aktor pelaku utama digambarkan tak kuat menahannya, sehingga dia memilih melakukan perbuatan yang tidak terpuji demi mengeruk uang. Meski sulit dipraktikkan, manusia sepertinya sudah tertancap idealitas akan makna dan fungsi kesabaran.

Sampai-sampai, karena pengharapan (tafa’ul) yang tinggi, ada yang menamakan anaknya dengan sabar. Hal ini menyingkapkan bahwa ada keinginan atau cita-cita terpendam bagi manusia untuk menggapai sikap dan nilai-nilai adiluhung kesabaran. Dalam konteks yang lebih luas, coba kita gayutkan dengan kenyataan yang tengah terjadi di negeri kita. Saat ini, negeri kita sedang mengalami berbagai bencana.

Ada bencana alam seperti gempa, tsunami, atau banjir lumpur. Ada terpaan keadaan ekonomi yang belum menunjukkan perbaikan secara merata, kekerasan massa, kemarahan massal, anarkisme, atau politik saling sikut dan demam pergunjingan. Kenyataan ini boleh dikatakan sebagian akibat ekspresi dari adanya ketidaksabaran yang sifatnya masif untuk bergegas menyongsong kehidupan yang damai dan sejahtera.

Atau pula, wujud adanya ketidaksabaran dalam mengelola kekayaan alam dan kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara, sehingga justru menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan umum. Manusia dengan segala sifat-sifat kemanusiaannya memang sulit menghindari dari sifat amarah yang merupakan antitesis kesabaran. Karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya.

Pergaulan dan interaksi sosial tidak selamanya dilangsungkan dengan manis. Tetapi apa betul manusia tidak bisa menggapai kesabaran. Tentu saja, manusia bisa meraih sabar. Untuk mencapainya diperlukan pelatihan diri secara konsisten. Betapa pun, manusia memiliki sifat amarah dan keburukan lainnya, namun sifat sabar sesungguhnya juga menempel dari dalam dirinya.

Teladan manusia-manusia penyabar telah banyak diungkapkan dalam kisah-kisah yang terkandung dalam kitab suci atau juga kisah-kisah para sufi. Dan sebenarnya, sifat sabar bukanlah bersifat privat-elitis, melainkan sifat populis, yakni bisa diraih setiap manusia. Sabar mempunyai tingkatan (maqam) tersendiri. Ini menyangkut proses pelatihan untuk sampai pada idealitas sabar.

Tidak ada komentar: