Dalam perkembangannya terkuaklah niat busuk Belanda dalam pendidikan ala politik etis itu. Motivasinya tidak lain hanyalah untuk mencetak pekerja-pekerja administratif di pabrik-pabrik yang dibangun untuk kerja paksa, karena untuk mendatangkan tenaga ahli dari Belanda memerlukan golden yang sangat tinggi.
Sekelumit petikan sejarah di atas setidaknya menggambarkan bagaimana sejarah pendidikan bangsa ini berlangsung. Kalau pendidikan ala politik etis bertujuan menjadikan generasi bangsa ini sebagai budak dan robot kapitalistik, maka pola pendidikan Barat saat ini bertujuan menciptakan agen-agen pengembang kapitalisme. Sejak berproses dalam dunia pendidikan mulai tingkat dasar hingga jenjang perkuliahan, kita hanya disuguhi dan dicekoki dengan pola pendidikan Barat, yakni, pola pendidikan yang hanya mencetak generasi materialistik, egois dan abai dengan moralitas.
Hakikat Pendidikan Islam
Proses penanaman ideologi kapitalisme dalam dunia pendidikan di Indonesia sudah berlangsung sangat lama semenjak Orba berkuasa di negeri ini, dan upaya tersebut telah berhasil membentuk mainstrem bangsa. Tidak bisa dimungkiri kebanyakan orangtua yang menyekolahkan anaknya selalu menginginkan anaknya itu mudah mendapatkan pekerjaan. Bahkan, parameter kesuksesannya adalah ketika sang anak mendapatkan pekerjaan yang mapan. Padahal dalam Islam tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan generasi bangsa. Kalau generasi bangsa tersebut cerdas maka Allah akan mengangkat derajat bangsa tersebut di atas bangsa-bangsa yang lain: “…niscaya Allah akan mengangkat beberapa derajat di antara kamu orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu…” (Q.s. Al-Mujadilah [58]: 11).
Pemikir Barat selalu mengatakan pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Maksudnya membiarkan manusia berkembang sesuai dengan kehendaknya masing-masing (how to be) atau setiap individu bebas menentukan keinginannya. Asas utama pendidikan Barat ini jelas mencitrakan kepentingan ego atau liberalisme. Sehingga, wajar jika di Barat masyarakatnya lebih menuntut “hak” ketimbang menunaikan “kewajiban” manusia satu dengan yang lainnya, dan HAM yang kita lihat sebenarnya berakar untuk mengukuhkan semangat liberalisme.
Pendidikan dalam Islam sangat berbeda dengan pandangan Barat. Dalam Islam kata pendidikan artinya mengendalikan diri, memelihara, menguasai dan membina. Yang dibina dari diri atau individu tentu saja adalah potensi kodrati yang dimiliki manusia.
Manusia secara kodrati dikaruniai tiga potensi, yakni akal (kognisi), indra (afeksi), dan nurani (hati). Hal ini diperjelas dalam Al-Qur’an surat An-Nahl [16]: 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” Tiga komponen itulah yang akan mempengaruhi perilaku manusia (psikomotorik), maka dalam pendidikan ketiga potensi tersebut harus dikembangkan secara seimbang. Apabila salah satu dari ketiga potensi itu tidak seimbang maka seseorang akan tumbuh secara tidak normal.
Pendidikan yang hanya menekankan pada pengoptimalan kognisi (IQ) akan mencetak manusia cerdas dan pintar namun berkepribadian buruk. Pendidikan yang hanya berorientasi pada pengembangan rasa atau afeksi (EQ) akan menghasilkan manusia yang berbudi pekerti namun cenderung pasif seperti robot dan menerima kondisi apa adanya (pasrah atau fatalistik). Sedangkan pendidikan yang hanya memfokuskan pada perbaikan nurani atau spiritualitas (SQ) akan menghasilkan hamba yang shalih namun tidak tanggap terhadap realitas dan kesenjangan sosial sehingga cenderung egois.
Di dunia Barat yang tingkat individualitas dan materialistiknya tinggi sebenarnya merupakan dampak dari pola pendidikan yang hanya mengembangkan kognisi belaka. Ciri khas pendidikan Barat ada dua, yakni konsepsi egoistik—sebagaimana yang disebutkan sebelumnya— yang mengajarkan bagaimana manusia menjadi (how to be) dan konsepsi materialistik yang mengajarkan bagaimana manusia bekerja (how to do). How to be mengajarkan manusia menjadi egois dan how to do mengajarkan manusia menjadi kapitalistik. Hal penting yang dilupakan Barat adalah mengajarkan bagaimana manusia hidup bersama dengan lainnya bersama-sama (how to live with others together).
Bila ditilik lebih jauh Islam lebih komprehensif, yakni, menginginkan pola pendidikan totalitas untuk menciptakan insan kamil, yakni, manusia yang memiliki akhlak dan prilaku yang baik, berpengetahuan, cerdas dan kreatif, serta peduli dengan yang lain. Dalam paradigma Qur’ani out put pendidikan itu selain meningkatkan kecerdasan juga menambah kepekaan sosial, sekaligus meningkatkan ketakwaan. Kata lainnya pendidikan itu mengembangkan keshalihan individual, sosial dan spiritual.
Problem Filosofi Pendidikan
Persepsi awal seseorang tentang pendidikan sangatlah berpengaruh pada proses pendidikan itu sendiri. Sudut pandang yang berbeda mengenai pendidikan akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda pula tentang pendidikan. Dalam pendidikan Barat, perbedaan persepsi tersebut akhirnya menghasilkan tiga aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi.
Nativisme berasal dari kata natives yang artinya pembawaan. Pengertian nativisme dalam kamus paedagogik diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebakatan. Aliran ini menyatakan bahwa, perkembangan manusia ditentukan oleh sifat-sifat bawaan sejak lahir. Untuk kali pertama, aliran ini dikembangkan oleh Schopenhaeuer, seorang filosof berkebangsaan Jerman. Ia beranggapan yang jahat tidak akan berubah menjadi baik karena pendidikan, paling tinggi hanya berhati-hati. Begitu pula sebaliknya, yang baik tidak akan berubah menjadi buruk karena teladan yang negatif. Jadi, baik dan buruknya manusia menjadi bawaan sejak lahir, taken for granted.
Empirisme berasal dari kata empiris yang artinya pengalaman. Penganut aliran ini beranggapan bahwa, pembawaan itu tidak ada, yang dimiliki seseorang adalah akibat dari pendidikan entah itu sifat baik dan buruk. Selanjutnya aliran ini berpandangan bahwa, pendidikan sangat berkuasa membentuk seseorang. Seorang anak menurut John Locke, dengan teori tabula rasa, diumpamakan seperti selembar kertas yang dapat ditulis menurut kehendak yang menulis. Jadi, baik dan buruknya anak itu disebabkan karena, faktor eksternal yang membentuknya. Apabila, lingkungannya baik maka anak tersebut akan menjadi baik. Begitu pula sebaliknya apabila, lingkungannya buruk maka anak itu akan menjadi buruk.
Aliran ini berpandangan bahwa, kedua komponen, baik itu internal (nativisme) dan eksternal (empirisme), sama-sama bekerja membentuk kepribadian seseorang. Jadi, proses perkembangan individu itu adalah hasil dari kerja sama dari bakat dan lingkungan yang membentuknya.
Berbeda dari aliran di atas, Islam memiliki pandangan dan konsepsi tersendiri tentang manusia. Dalam surat An-Nahl [16]: 78, dijelaskan bahwa manusia terlahir dalam keadaan suci (fitrah) dan tidak tahu apa pun, seperti kertas putih. Untuk pertama kali yang akan mempengaruhi bayi tersebut lingkungannya, dalam hal ini Hadits menyebut orang tuanyalah yang akan membentuk ia menjadi majusi, Nasrani dan muslim. Kemudian Allah mengajarkan manusia segala sesuatu yang tidak diketahui (Al-‘Alaq [98]: 5). Dengan tiga potensi dasar (akal, rasa dan nurani) manusia berproses untuk menjadi baik maupun buruk (asy-Syams [91]: 8-10).
Surat asy-Syams [91]: 8-10, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”, menjelaskan bahwa, baik dan buruk itu sudah digariskan oleh Allah. Tinggal bagaimana manusia bersikap. Ingin menyucikan diri atau tidak? Konteks pendidikan Islam adalah mengelola diri sehingga, yang tampak adalah fungsi ketakwaan. Jadi, dengan sendirinya dua aliran lainnya, empirisme dan nativisme runtuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar